Pancasila adalah simbol persatuan, bukan alat penindasan, kata Alamsyah Ratu Perwiranegara, jadi jangan dijadikan alat untuk menekan/memukul kelompok agama, khususnya Islam
Hidayatullah.com | DALAM majalah Harmonis No. 202 (X/15 April 1980), ada berita menarik terkait Menteri Alamsyah Perwiranegara dengan judul “Pancasila Jangan Dijadikan Alat Pemukul”. Bahkan, ada ungkapan : “Tanpa Pengorbanan Umat Islam, Pancasila Tidak Ada di Indonesia”.
Haji Alamsyah Ratu Perwiranegara, seorang tokoh penting dalam sejarah Indonesia, terutama dalam perannya sebagai Menteri Agama, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga semangat persatuan dan kebersamaan yang menjadi fondasi berdirinya bangsa ini.
Dalam sebuah pertemuan di Masjid Agung “Muhajirin” Depok (April 1980), dalam rangka menyongsong Abad Ke-XV Hijriyah, beliau menegaskan bahwa tanpa bantuan dan pengorbanan umat Islam, Pancasila tidak akan pernah ada di Indonesia.
Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Alamsyah mengingatkan kembali sejarah penting ketika setelah proklamasi kemerdekaan, beberapa tokoh Islam seperti K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo secara sukarela menghapus kata-kata “dengan mewajibkan melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya” yang termaktub dalam Piagam Jakarta, dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi menjaga persatuan bangsa.
Pengorbanan besar ini, menurut Alamsyah, adalah hadiah terbesar dari umat Islam bagi lahirnya Pancasila dan kemerdekaan Indonesia.
Alamsyah, dengan tegas, menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada pertentangan antara Pancasila dan Islam, serta dengan agama-agama lainnya. Oleh karena itu, ia mengecam keras pihak-pihak yang mencoba menjadikan Pancasila sebagai alat untuk memukul umat Islam.
Bagi Alamsyah, Pancasila adalah landasan bersama yang harus dihormati dan dijaga, bukan sebagai senjata untuk menekan atau mendiskriminasi kelompok tertentu.
Islam, sebagai agama yang bersifat universal, telah diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ untuk menertibkan agama-agama sebelumnya. Oleh sebab itu, Alamsyah menekankan pentingnya umat Islam merasa bangga dengan agama yang dianutnya.
“Jangan takut dan jangan pula malu,” ujarnya. Lebih jauh, ia menambahkan bahwa di Indonesia, Islam telah menjadi agama mayoritas yang dianut oleh Presiden, para Menteri, Gubernur, Bupati, hingga masyarakat luas.
Meskipun demikian, Alamsyah tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa umat Islam sering kali dituntut untuk menunjukkan toleransi yang lebih tinggi, bahkan hingga mengakui keberadaan nabi-nabi dan kitab suci agama lain.
Sayangnya, hal ini tidak selalu dibalas dengan pengakuan yang sama terhadap Nabi Muhammad ﷺ dan Al-Quran sebagai kitab suci. Namun, demi menjaga kesatuan bangsa dan kelancaran pembangunan, Alamsyah mendorong umat Islam untuk tetap melenyapkan kecurigaan dan aktif membantu pemerintah.
Dalam kesempatan yang sama, Alamsyah juga mengecam golongan yang mempropagandakan agama lain di tengah-tengah masyarakat Islam, yang menurutnya dapat mengancam kerukunan antarumat beragama yang telah terbina dengan baik.
Ia menekankan bahwa kerukunan antar umat beragama adalah salah satu pilar penting dalam menjaga kestabilan dan keharmonisan sosial di Indonesia.
Di akhir pidatonya, H. Alamsyah menyampaikan harapannya agar umat Islam di Indonesia tidak hanya menjadi “Islam turunan,” tetapi benar-benar memahami dan mengamalkan ajaran agamanya.
Hal ini menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa umat Islam tetap menjadi pilar utama dalam membangun bangsa yang berlandaskan pada Pancasila, tanpa harus mengorbankan keyakinan dan prinsip-prinsip keagamaan mereka.
Melalui pidatonya yang penuh semangat ini, H. Alamsyah Ratu Perwiranegara tidak hanya mengingatkan kita akan pentingnya sejarah pengorbanan umat Islam dalam pembentukan bangsa ini, tetapi juga mengajak kita untuk tetap menjaga nilai-nilai persatuan, toleransi, dan kebersamaan yang telah menjadi bagian integral dari Pancasila.
Pancasila bukanlah alat untuk menindas atau memecah belah, melainkan dasar yang mempersatukan kita sebagai bangsa yang beragam, namun tetap satu dalam tujuan.
Dari berita majalah Harmonis ini, ada 5 poin penting yang bisa diambil: Pertama, Pengorbanan Umat Islam dalam Pembentukan Pancasila: Pancasila sebagai dasar negara lahir dari pengorbanan besar umat Islam, yang dengan rela menghapus bagian penting dari Piagam Jakarta demi menjaga persatuan bangsa.
Kedua, Keselarasan Pancasila dengan Islam: Tidak ada pertentangan antara Pancasila dan ajaran Islam. Pancasila harus dilihat sebagai landasan bersama yang menghormati semua agama di Indonesia.
Ketiga, Pancasila sebagai Simbol Persatuan, Bukan Alat Penindasan: Alamsyah menegaskan bahwa Pancasila tidak boleh dijadikan alat untuk menekan atau memukul kelompok agama, khususnya umat Islam, melainkan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan.
Keempat, Pentingnya Toleransi dan Pengakuan Saling Menghargai: Meskipun umat Islam menunjukkan toleransi tinggi dengan mengakui agama dan nabi lain, hal ini harus diimbangi dengan sikap saling menghargai dari semua pihak untuk menjaga kerukunan antarumat beragama.
Kelima, Peran Aktif Umat Islam dalam Membangun Bangsa: Umat Islam dituntut untuk terus aktif berperan dalam pembangunan nasional, memahami dan mengamalkan ajaran agama mereka dengan baik sebagai wujud kontribusi terhadap negara.
Dalam konteks Indonesia saat ini, pesan H. Alamsyah Ratu Perwiranegara tetap sangat relevan. Pancasila, yang dirumuskan dengan semangat kebersamaan dan pengorbanan, harus terus dijaga sebagai dasar yang mempersatukan bangsa.
Menggunakannya sebagai alat pemukul terhadap kelompok yang berbeda pandangan hanya akan merusak semangat persatuan yang menjadi inti dari Pancasila itu sendiri. Pada era yang penuh tantangan ini, penting bagi kita untuk menjaga agar Pancasila tetap menjadi simbol yang menghormati keberagaman, bukan senjata untuk menindas yang tidak sepaham.*/Mahmud Budi Setiawan