oleh: Shalih Hasyim
Amanah Ketiga : Mendakwakan Islam
KEWAJIBAN ketiga adalah ad-dakwatu ilallah (mengajak orang lain kepada agama Allah SWT). Tidaklah cukup bila diri seorang muslim itu shalih. Islam menghendaki bahwa seorang itu tidak cukup hanya sholih linafsihi (sholih untuk dirinya) saja, melainkan juga menjadikan orang lain shalih seperti dirinya (sholih lighoirihi). Manusia paling baik adalah yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain (al-Hadits). Oleh karena itu ia memikul tugas dakwah untuk memperbaiki orang lain. Baik secara fardiyah maupun jamaah.
Umar bin Khathab pernah berdoa : Aku berlindung kepada Allah SWT dari kuatnya orang jahat yang berkuasa dan lemahnya orang shalih (al-Hadts).
Kondisi tersebut terjadi ketika seorang muslim melalaikan tanggungjawab social. Yaitu, amar bil makruf dan nahi ‘anil mungkar. Jika keadaan ini terus dibiarkan, masyarakat akan terjangkiti penyakit ruhani. Perbuatan yang dikenali hati (makruf), kejujuran, kelembutan dll akan menjadi diingkari, dan menjadi asing. Dan kemungkaran (perbuatan yang diingkari hati), misalnya kebohongan dll menjadi dikenal.
Bumi ini akan dihuni oleh manusia yang kotor hati nuraninya. Kepercayaan kepada Allah SWT dicemari dengan pemujaan kepada berhala dan benda-benda alam. Ekonomi masyarakatnya telah dikotori dengan penindasan yang kuat (the have) terhadap yang lemah (grass root), kesewenang-wenangan yang kaya dan berada terhadap yang tidak beruntung, dan keserakahan yang berharta kepada yang melarat. Kebudayaan mereka dinistai dengan kerendahan akhlak penghinaan wanita, perbudakan sesama manusia dan pemujaan hawa nafsu. Peradilan mereka adalah peradilan rimba – yang kuat selalu benar, yang lemah selalu salah -. Hukum mereka bagaikan gegraji. Tumpul untuk kalangan elitis (qiyadah) dan tajam untuk kaum dhu’afa (junud). Agama mereka adalah agama yang kaya dengan upacara, serimonial, tetapi miskin aplikasi.
Maka dalam surat Al-‘Ashr mensyaratkan keselamatan seseorang dari kerugian itu ialah dengan berpesan kepada orang lain untuk menetapi kebenaran dan kesabaran.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr (103) : 1-3).
Karena itu kita wajib mempekerjakan diri kita untuk kebenaran dan setelah itu kita teguhkan untuk selalu bersabar. Karena itulah antara saling berpesan untuk menetapi kebenaran dan berpesan untuk kesabaran dirangkaiakan. Sebagaimana yang dipesankan oleh Luqman al-Hakim kepada anaknya (agar melaksanakan amr bil makruf dan nahi ‘anil mungkar), katanya :
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman (31) : 17).
Jadi, berdakwah itu memerlukan kesabaran. Karena perjalanan dakwah itu curam, licin dan mendaki. Bagaikan memanjat pohon pinang yang berminyak. Mendidik manusia di waktu kecil bagaikan mengukir di atas air. Mendidik manusia ketika dewasa laksana mengukir diatas batu. Perhatikan karakter sosok pengukir. Ia tekun, teliti, tidak tergesa-gesa, berorientasi pada kualitas dan bukan kuantitas, mengedepankan proses, bukan hasil. Dan yang paling menonjol pada diri pengukir adalah sifat sabar.
Berdakwah merupakan amanah yang berat dan melarat, mewarisi pekerjaan para nabi dan rasul, khususnya pada zaman kita ini. Karena demikian banyak manusia yang berpaling, materialistis dan hedonis dan menjauh dari agama.
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzzammil (73) : 5).
Maka, dakwah merupakan perkataan yang berat dan tugas yang tidak sederhan dan tidak mudah. Kitalah yang mewarisi perkataan yang berbobot itu. Kalau keadaan zaman kita seperti ini, maka tugas dan beban kita semakin berat, karena berpalingnya manusia dari agama, tipisnya keyakinan mereka, tercurahkannya perhatian (pikiran dan hati) mereka terhadap kehidupan dunia, menjauhi dan membelakangi akhirat, banyaknya penghambat kebaikan, dan banyaknya bujukan dan rayuan kepada kejelekan.
Jadi, para penyeru di jalan Allah SWT harus mempersiapakn mental untuk menghadapi kondisi yang paling buruk. Akan dijumpai hambatan dan rintangan yang menghadang di hadapan kita, hingga masuk ke rumah. Boleh jadi bapak kita, sudara-saudara kita, teman-teman kita, orang-orang terdekat kita, akan menghalangi kita seraya berkata, Apakah engkau ingin ditangkap? Apakah engkau ingin tinggal di hotel prodeo seperti Nabi Yusuf? Apakah engkau mencari mati? Apakah engkau akan dibegitukan dan dibeginikan? Apakah engkau akan dicap (diberi stigma negatif), teroris, radikal dan Islam garis keras serta fundamental.
Kalau juru dakwah itu seorang perempuan, maka dia akan ditertawakan dan direndahkan karena dia mengenakan pakaian sesuai dengan tuntunan syariat. Pada tahun-tahun terdahulu kita melihat para pemudi memakai jilbab di kepalanya, menutup leher dan dadanya, dan mengenakan pakaian yang panjang. Tetapi sekarang kita lihat mereka melepaskan semua atribut keislaman itu dan mereka mengenakan pakaian yang minim ala turis domestik, buka-bukaan. Memakai pakaian tembus pandang. Juru dakwah wanita menderita tekanan yang berat dari keluarganya, kerabatnya, ibunya, bibinya, anak-anak perempuan bibi dari pihak ayah maupun dari jurusan ibu. Mereka mentertawakan dan melecehkan pakaian syar’i yang menutup aurat untuk memelihara kehormatan dirinya itu.
Tentu, wanita yang beriman dengan keyakinan yang kuat tidak akan menghiraukan semua itu, bahkan ia akan terus menunaikan hak-hak Allah dan berjalan pada batas-batas-Nya. Tetapi, apabila imannya lemah, maka ia akan mengikuti seruan-seruan yang merusak itu. Pada zaman kita ini banyak sekali tipu daya dan unsure-unsur yang dapat memalingkan manusia dari menjalankan syariat Allah SWT. Karena itu dalam salah satu haditsnya Rasulullah SAW bersabda :
يَأْتي على الناس زَمَانٌ الصَابرُ عَلَى ديْنه كاَ لْقاَبض عَلىَ الْجَمَر
“Akan datang pada manusia suatu zaman yang pada hari itu orang yang berpegang pada agamanya bagaikan memegang bara api.” (HR. Tirmidzi).
Melakukan amal shalih pada hari-hari yang penuh fitnah tersebut akan memperoleh pahala seperti lima puluh orang sahabat Nabi. Ketika ada sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Seperti lima puluh orang dari kami atau mereka” ?. Beliau menjawab : Dari kamu, karena kamu dalam melakukan kebaikan masih mendapatkan banyak pendukung dan pembantu…….”
Karena itu sudah lazim kita membulatkan tekad untuk berpegang teguh, komitmen (iltizam) terhadap nilai-nilai Islam dan menyeru orang lain kepadanya sekalipun ada tantangan dan tekanan keluarga, masyarakat, tekanan politik yang datang dari segala penjuru.
Kita wajib menghadapi semua itu dengan penuh ketabahan dan keteguhan serta kekuatan, karena tidak ada dakwah yang tidak menghadapi tantangan. Setiap dakwah ada yang memusuhi dan menentangnya.
“Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia) [agar mendustakan Nabi]. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al Anam (6) : 112)
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (QS. Al Furqan (31).
Zaman sekarang ini seperti kata orang adalah zaman ideologi baru. Apabila Komunisme mempunyai pendukung setia dan pembela, Yahudi memiliki pendukung dan pembela. Freemasonry memiliki pendukung dan pembela, Bahaiyah dan Qadaniyah juga memiliki pembela dan pendukung, maka apakah tidak ada yang menjadi pembela dan pendukung Islam seperti zaman generasi awal?
Menurut tabiatnya, Islam adalah “din intisyar” (agama yang memiliki karakter untuk berkembang, menyebar), dan “din dakwah” (agama dakwah).
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?.” (QS. Fushshilat (41) : 33).
Karena itulah kewajiban pemuda Islam pada masa sekarang ini ialah memantapkan dirinya untuk berdakwah ke jalan Allah Subhanahu Wata’ala. Sungguh tidak ada tugas yang lebih agung dan lebih mulia daripada tugas dakwah Islam, karena dakwah ini merupakan tugas dakwah para Nabi. Dan dengan melakukan dakwah ini akan menjadikannya berpegang teguh pada tali kebenaran, tali yang kokoh dan kuat.*/bersambung bagian empat
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus Jawa Tengah