SA’ID bin Al-Musayyab memiliki tiga karakter, yang masing-masing dan karakternya itu lebih baik dari dunia dan segala isinya.
Pertama, menjaga agar tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam dalam shalat berjamaah. Beliau tidak pernah tertinggal darinya selama 60 tahun.
Kedua, selalu memakan makanan yang halal. Setiap makanan yang akan masuk ke mulutnya, beliau ketahui terlebih dahulu dari mana sumbernya.
Ketiga, tegas dan konsisten dalam hal kebenaran walaupun hal itu akan membuat dirinya dibenci dan dicaci-maki serta dimusuhi oleh orang lain.
Sa’id bin al-Musayyab menutup mulut dari semua senda gurau, berhenti dari semua hura-hura, dan zuhud terhadap semua yang fana.
Beliau memperdalam agama dan mengenal Tuhan alam semesta, maka beliau pun menafkahkan semua waktu untuk mencari keridhaan Tuhan dan ketaatan kepada Sang Pencipta. Ketika beliau mengenal Tuhannya, beliau pun menanggalkan manusia dan meninggalkan semua makhluk.
Orang-orang kafir menawarinya harta, namun beliau menampiknya. Mereka mengancamnya dengan pedang, namun beliau tak menggubrisnya. Mereka membujuknya dengan segala cara, namun beliau tetap bersikukuh dengan pendiriannya.
Beliau memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran, sampai kematian begitu dekat dengan jiwanya. Beliau berdiri untuk shalat pada malam hari, sampai punggungnya bongkok dan tulangnya lemah.
Dari fajar sampai zhuhur beliau duduk menghadap kiblat di masjid, membaca Al-Qur’an, bertasbih, berpikir, mengajar, dan memberikan fatwa.
Beliau disakiti di jalan Allah, namun tidak bergeming; diteror dalam menjalankan kebenaran, namun tidak gentar; dibujuk dengan kesenangan dunia, namun tidak tergoda.
Para pelukisnya mengatakan, beliau menganggap nyawanya laksana lalat, kehendak Allah lebih penting baginya daripada kehendaknya sendiri. Yang dimilikinya hanyalah bekal untuk akhirat, dan cita-citanya adalah memberi manfaat kepada hamba-hamba-Nya.
Penglihatannya melemah, namun beliau tidak meninggalkan shalat jamaah, di saat malam sangat gelap sekalipun, karena beliau telah mengetahui hadits, “Sampaikan berita gembira kepada orang orang yang berjalan di malam gelap dengan cahaya yang sempurna pada hari Kiamat.” (Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi).
Beliau berjualan minyak agar wajahnya terjaga dari meminta-minta, agar kehormatan dirinya terpelihara dari mengemis, dan agar beliau tidak bergantung kepada orang lain.
Sa’id bin al-Musayyab: Khadzanah Muhammad, ketika fitrah yang lurus diregukkan kepada hamba yang shaleh.
Sa’id bin al-Musayyab: Kedisiplinan jalan hidup, penjagaan agama, dan peningkatan diri dengan amal shaleh.
Ilmu menurutnya adalah nash yang sahih, atsar dari salaf, dan pemahaman dalil. Kezuhudan menurutnya adalah penanggalan kemarahan dan keangkuhan pada saat meminta.
Beliau mengiringi ilmu dengan amal, takut dengan harapan, pengharapan dengan kekhawatiran, dan tawadhu dengan kehormatan diri. Dan dengan selalu membentengi diri dengan tauhid yang murni, zikir yang abadi, kesucian yang kontinyu, dan amal kebajikan yang terus menerus, setan sepertinya tidak mendapatkan jalan lagi menuju dirinya.
Penglihatan beliau hilang karena terlalu sering menangis, lalu orang-orang ingin mengajaknya pesiar ke Wadi al-Aqiq agar beliau terhibur oleh pemandangan yang hijau. Namun beliau menolaknya dengan berkata, “Tidak. Jika aku pergi ke sana, aku akan ketinggalan shalat jamaah.”
Mata kananku menangis, lalu kubilang “Jangan bodoh, dulu kau bijaksana”
Kedua mataku malah menangis bersama-sama
Beliau dapat menakwil mimpi, karena beliau jujur saat terjaga. Beliau berfatwa kepada manusia tentang urusan-urusan mereka di siang hari, dan menafsirkan apa yang mereka lihat dalam mimpi-mimpi di malam hari.*/Dr. A’id ‘Abdullah al-Qarni, dari bukunya Silakan Terpesona. [Tulisan selanjutnya]