SATU ketika berlalu di hadapan Rasul Shalallaahu ‘Alahi Wasallam satu jenazah yang dipikul sekian orang. Beliau bersabda: “Mustarihun auw mustarahun minhu,” yakni dia memperoleh ketenangan atau yang lain mendapat ketenangan darinya. Para sahabat menanyakan maksud kedua kata itu. Nabi menerangkan, seorang mukmin memperoleh ketenangan dari keletihan hidup dan gangguannya guna meraih rahmat Allah, sedang orang durhaka, maka hamba-hamba Allah, negeri, demikian juga pohon dan tumbuh-tumbuhan, selamat dari gangguannya.” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Abu Qatadah).
Di sisi lain, berulang kali al-Qur’an menekankan bahwa kehidupan ukhrawi jauh lebih bahagia dan sempurna daripada kehidupan duniawi. Dan tidak ada jalan menuju kebahagiaan itu, kecuali melalui kematian.
Kematian, walau kelihatannya seperti kepunahan, pada hakikatnya kelahiran kedua. Ia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur. Anak-anak ayam yang terkurung dalam telur tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya, kecuali jika kulit telur — tempat tinggalnya– menetas dan ia berhasil meninggalkannya. Agaknya itulah salah satu sebab mengapa kematian dinamai oleh al-Qur’an ‘wafat’, yang secara harfiah berarti kesempurnaan atau penahanan, yakni jalan untuk meraih kesempurnaan hidup.
Kematian juga akibat penahanan Allah terhadap nafs, sehingga tidak dapat kembali lagi ke tubuh tempatnya semula.
Konon, ketika malaikat maut datang mencabut ruh Nabi Ibrahim as., yang dikenal dengan nama Khalil Allah (Kekasih Allah), beliau berkata: “Adakah Kekasih mencabut ruh kekasih-Nya?”
Malaikat itu diilhami Allah menjawab: “Adakah Kekasih enggan menemui kekasihNya?” Nabi Ibrahim as. dengan senang hati dicabut ruhnya. Walau pun riwayat ini tidak dapat dinilai shahih, paling tidak ini mengisyaratkan betapa kematian dapat menjadi nikmat besar bagi yang mati.
Akhirnya, kalaupun kematian merenggut dari manusia sesuatu, yang jelas tidak semua yang ada pada manusia mampu direnggutnya. Memang badannya binasa, dunia tempat tinggalnya, serta keluarga dan handai taulannya ditinggalkan. Tetapi nafs atau ruhnya, masih tetap ada. Kepribadiannya sebagai manusia tetap utuh, dan ini jauh lebih berharga dari jasmaninya.
Di sisi lain, apa yang ditinggalkan, baik sanak keluarga, handai taulan, kediaman dan harta benda, semua dapat diperoleh gantinya di alam sana. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad mengajarkan doa untuk yang wafat, antara lain: “Gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya (di dunia), keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dan pasangannya.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, melalui Auf bin Malik).*/M. Quraish Shihab, seperti tertuang dalam bukunya Perjalanan Menuju Keabadian.