PADA 2 Nopember 1817 keluarlah Janji Balfour dari Menlu Inggris saat itu, Arthur James Balfour sekitar setahun setelah kesepakatan Sikes-Picot yang membagi-bagi wilayah kekuasan Dinasti Otsmaniyah (Ottoman) di dunia Arab antara Inggris dan Perancis. Janji Balfour tersebut, sebagaimana diketahui, bertujuan untuk mewujudkan mimpi-mimpi Zionis untuk membangun negara Yahudi di atas wilayah Arab.
Rencana ini juga bertepatan dengan korespondensi intensif antara Sharif Hussein di Yordania dengan MacMahon di Inggris yang menjanjikan membangun negara kesatuan Arab yang merdeka di timur termasuk Palestina. Janji MacMahon ini sebagai “balas jasa” atas pemberontakan Arab terhadap kekuasaan Otsmaniyah. Janji yang satu ini akhirnya bernasib janji tinggal janji.
Selama sekitar 31 tahun hingga terbentuknya negara Israel pada 15 Mei 1948, Zionis melakukan persiapan dengan segala cara untuk mewujudkan mimpi berdirinya negeri Zionis di tanah Arab sesuai janji Balfour tersebut. Pembantaian brutal dan pengusiran terhadap warga Palestina berjalan seiring dengan upaya politis intensif untuk membujuk negara-negara besar.
Tragedi “holocaust” (yang saat ini makin banyak yang meragukannya) yang dilakukan oleh penguasa Jerman Adolf Hitler atas warga Yahudi berhasil dijadikan bahan kampanye yang selain menjadi “senjata” penyerang, juga sebagai senjata pematah terhadap pihak-pihak yang mencoba menghalangi usaha mendirikan negeri Yahudi di bumi Palestina milik bangsa Arab.
Tidak ada yang baru dari paparan sejarah di atas, namun yang perlu diingatkan lagi bagi bangsa Arab khususnya dan bangsa Muslim umumnya saat ini adalah bagaimana kaum Yahudi yang dimotori Zionis mampu memadukan antara upaya politis dengan kekuatan senjata guna mencapai tujuannya. Entahlah jika dunia Arab sudah melupakan tentang kenyataan sejarah itu atau pura-pura melupakannya.
Lalu pada 24 September 2010 keluarlah “Janji Obama” yang berseberangan dengan Janji Balfour yang disebutkan sebelumnya, namun tidak bertujuan untuk mencabut janji Balfour yang disampaikan mantan Menlu Inggris tersebut yang telah terwujud sejak 1948. Namun tujuan utamanya adalah membangun sesuatu wujud baru disampingnya yang bernama negara Palestina.
Presiden AS, Barack Obama yang menyampaikan janji tentang pentingnya berdirinya negara Palestina merdeka, tidak seperti janji pendahulu-pendahulunya semisal Bill Clinton atau George Bush junior yang hanya di Gedung Putih atau acara-acara terbatas, tapi dia menyampaikan janji itu di hadapan Majelis Umum PBB yang ibaratnya seperti “Parlemen Dunia.”
Saat menyampaikan janji tersebut semua anggota hadir, kecuali delegasi Israel yang meninggalkan sidang dengan alasan ritual agama. Padahal sejatinya delegasi negeri Zionis itu sangat mafhum akan “bahaya” janji Obama ini bila benar-benar diwujudkan secara serius oleh AS dan negara-negara Barat lainnya.
Tidak cukup sekedar janji, namun Obama menyatakan berdirinya negeri Palestina dalam jangka setahun ke depan dan akan menjadi anggota baru PBB yang mendapat tepuk tangan meriah peserta. Bahkan ia menandaskan bahwa jaminan keamanan Israel tergantung berdirinya negara bangsa Palestina untuk hidup secara terhormat.
Seruan Obama tersebut pertama ditujukan kepada Israel tentunya dan kedua ditujukan ke bangsa AS sendiri dan ketiga ke negara-negara sahabat sekutu terdekatnya di Eropa untuk melakukan langkah implementasi bagi berdirinya negara Palestina merdeka dalam setahun ke depan.
Hanya dari pidato tersebut ada lagi embel-embelnya yang dapat dijadikan dalih oleh Zionis Israel nantinya. Obama mengatakan “komitmen ini yang mungkin dilaksanakan dalam setahun ke depan asalkan semua pihak berkomitmen untuk mewujudkan tujuan ini terutama Palestina dan Israel.”
Perundingan langsung
Untuk mengetahui sejauh mana janji Obama itu dapat diterapkan di lapangan perlu bercermin pada perundingan langsuang Israel-Palestina yang dimulai pada awal September ini di Washington yang kemudian dilanjutkan pada pertengahan bulan yang sama di Sharm El-Sheikh, Mesir setelah dua tahun beku akibat pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan para pemipin Zionis.
Perundingan Palestina-Israel secara langsung dihidupkan lagi di Washington mulai 2 September lalu yang kebetulan bertepatan dengan 10 malam terakhir Ramadhan sehingga mayoritas kaum Muslimin tidak terlalu memperhatikan. Dari hasil pengamatan penulis, baik kalangan analis maupun publik Arab sepertinya serentak berpandangan bahwa perundingan itu telah gagal sebelum dimulai. Bagaikan bayi yang akan lahir, telah mati saat masih menjadi janin.
Pasalnya seperti dikemukakan banyak pengamat Arab, perundingan tersebut bertujuan menekan satu pihak saja, maksudnya Palestina guna memberikan konsesi demi konsesi yang diminta pihak lainnya (Zionis Israel) sehingga perundingan ini lebih tepat disebut perundingan istislaam (menyerah/tunduk) kepada kehendak Zionis.
Bila “sukses” atau dengan kata lain bila janji Obama itu akhirnya benar-benar terwujud, maka hal itu artinya semua konsesi yang diminta Israel telah dipenuhi. Bila gagal, artinya perunding Palestina yang diwakili otoritas yang tidak mendapat dukungan mayoritas faksi Palestina masih bingung memenuhi kehendak negeri Zionis itu.
Dari sekian banyak konsesi dalam daftar tuntutan Israel hampir semuanya bakal dipenuhi, kecuali dua konsesi yang akan tertunda jawabannya yakni mengakui Israel sebagai negara Yahudi dan status kota Al-Quds seluruhnya sebagai ibu kota Israel. Mantan PM Israel, Ehud Olmert dalam suatu seminar belum lama ini memang menyinggung perlunya memberikan sebagian Al-Quds buat Palestina, tapi tidak menyebutkan bagian timur Yerusalem yang sesuai ketentuan hukum internasional adalah tanah pendudukan.
Perundingan damai yang adil dan menyeluruh menurut pandangan manusia (hukum internasional) adalah kembalinya tanah Palestina plus kota Al-Quds bagian timur termasuk Masjidil Al-Aqsha yang diduduki pada perang 1967 dan tanah Arab lainnya, serta kembalinya pengungsi Palestina sebagai imbalan pengakuan eksistensi negeri Zionis itu. Tentunya bagi kaum Muslimin yang berada dalam kondisi lemah, itulah hasil minimal yang bisa dicapai untuk sementara waktu.
Namun itu pun masih jauh panggang dari api, selama negeri Zionis itu tetap mengedepankan syarat-syarat yang mustahil seperti pengakuan Israel sebagai negara Yahudi yang artinya warga Arab yang merupakan 25 persen dari penduduknya bakal diusir, lalu pencaplokan semua kota Al-Quds sebagai ibu kota negeri itu. Belum lagi perluasan pemukiman (baca: pencaplokan) Yahudi di tanah Palestina di Tepi Barat.
“Singkatnya, tidak ada sedikit pun perubahan sikap dari pihak Israel yang akan membuka jalan untuk tercapainya perdamaian yang dimaksud. Tidak ada pula perkembangan sikap dari pihak-pihak lainnya yang terkait dalam perundingan itu yang membuat kita yakin akan ada peluang baru untuk berdamai,” papar Dr. Mohamed Naji Emayerah, seorang analis Arab.
Bagi pemerintah Israel sendiri, terlaksananya perundingan langsung setelah sekitar dua tahun terhenti merupakan prestasi besar karena dapat memoles kembali wajahnya akibat citra buruk di mata masyarakat internasional disebabkan pembantaian biadab atas warga Gaza pada 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009, dan serangan atas armada kemanusiaan bulan Juni lalu.
Intinya perundingan dalam bentuk apapun baik langsung maupun tidak langsung atau dalam kerangka bilateral Palestina-Israel maupun multilateral Arab-Israel-regional-internasional, tidak akan pernah dicapai suatu kemajuan seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, selama kriteria kemajuan hanyalah ditentukan oleh Israel.
Lalu kira-kira apa konsensi yang akan diberikan Israel. Baiklah kita cermati apa yang disampaikan Olmert dalam seminar yang diprakarsai Inisiatif Jenewa belum lama ini. Menyangkut Al-Quds, Israel hanya akan memberikan secuil tanah saja, tanah Arab lainnya seperti Golan Suriah mungkin dapat dikembalikan dengan syarat tertentu seperti pengembalian Sinai ke Mesir tahun 1978.
Lalu tentang pengungsi Palestina, menurut Olmert, boleh kembali ke Israel sekitar 20-an ribu orang, sisanya dinaturalisasikan di negara-negara tempat mereka mengungsi, termasuk rencana naturalisasi 100 ribu warga Palestina jadi warga AS. “Inilah penyelesaian adil yang penuh cacat menurut Olmert yang tidak mungkin diterima orang Arab dan Muslim yang berakal,“ tulis Dr. Fayez Solah Abu Shamalah, analis Arab dalam kolomnya di harian Arabonline 22 September lalu.
Letupan baru
Yang membuat penyelesaian isu Palestina masih sulit tercapai apalagi kemerdekaan secara berdaulat penuh, adalah kondisi dunia Islam, lebih-lebih negara-negara sekitar negeri Zionis itu. Letupan demi letupan pasti dimanfaatkan Tel Aviv untuk mengalihkan perhatian publik Arab khususnya dan publik Muslim umumnya dari isu sentral mereka yakni isu Palestina.
Letupan terbaru yang bisa dimanfaatkan adalah munculnya ketegangan Sunni-Syiah di Teluk ke permukaan pada 19 September lalu setelah selama ini selalu dapat diredam hingga tidak muncul ke media massa. Konflik antargolongan yang sebenarnya sudah lama mewarnai negeri-negeri kaya minyak itu terutama antara Sunni dan Syiah selalu dapat disembunyikan.
Tapi akhirnya sulit lagi direndam karena sudah sangat melukai salah satu golongan lain dalam hal ini Sunni oleh ulah segelintir pakar Syiah yang tidak bertangungjawab. Pemerintah Kuwait akhirnya mencabut kewarganegaraan seorang aktivis Syiah bernama Yasser Al-Habib yang sekarang mukim di London karena terlalu berlebihan menghina figur yang dimuliakan kaum Sunni.
Seminggu sebelum keputusan Kuwait itu, Bahrain juga melakukan langkah serupa akibat ulah aktivis Syiah lainnya bernama Al-Sayid Ali Al-Sistani. Al-Habib menghina Umul Mu`minin Aisyah r.a. dan dua khalifah yakni Abu Bakr r.a. dan Umar Bin Khattab r.a. yang menimbulkan kemurkaan rakyat Kuwait.
Saat perang musim panas 2006 antara Israel dan Hizbullah, negeri Zionis itu berusaha memanfaatkan konflik Sunni-Syiah untuk mendapat sokongan dunia Arab yang mayoritas Sunni untuk menghancurkan Hizbullah. Syukur usaha tersebut gagal karena sebagian besar dunia Arab memandang bahwa Israel tetap sebagai musuh sejati.
Kali ini, negeri Zionis itu dipastikan akan memanfaatkan konflik antara golongan yang mulai mencuat keras di Teluk itu untuk membidik Iran yang Syiah. Dengan mengkampanyekan Iran ingin mensyiahkan Sunni di Arab atau balas dendam Persia atas Arab, Tel Aviv berharap agar fokus perhatian dunia Arab tercurah ke isu baru itu sehingga masalah Palestina bisa menjadi nomor dua atau nomor kesekian.
Meskipun letupan di Teluk tersebut tidak terlalu mendapat perhatian publik Arab di luar Teluk, namun negeri Zionis itu akan tetap memanfaatkan setiap konflik yang ada sekecil apapun untuk terus memperkuat posisinya di Palestina terutama terkait perluasan pencaplokan tanah Palestina dan rencana negara Palestina merdeka sesuai dengan kehendak hatinya.
Bagi bangsa Palestina dan Umat Islam umumnya, jalan menuju Al-Quds memang masih panjang walaupun telah diumumkan rencana kemerdekaan Palestina setahun ke depan sejak perundingan langsung kali ini dimulai. Janji Obama ini bisa saja bernasib seperti janji MacMahon atau bila merdeka pun, kemerdekaan tanpa kedaulatan dan banyak lagi tentek bengek lainnya yang diatur Israel yang membuat Palestina masih sangat sulit lepas dari penjajahan Zionis sesungguhnya. [Sana`a, 17 Syawal 1431 H/hidayatullah.com]
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang berdomisili di Yaman