Oleh: Musthafa Luthfi
AKHIRNYA pengunjuk rasa pro Presiden Mohammad Mursy yang dima`zulkan (dilengserkan) militer lewat kudeta telah membuktikan bahwa upaya mereka untuk melanjutkan al-i`tisham (unjuk rasa menetap di suatu tempat) tidak bisa dihadapi penguasa baru dengan kekuatan senjata. Mereka sukses melanjutkan unjuk rasa menentang kudeta tersebut hingga sebulan lebih sejak pema`zulan berlangsung 3 Juli lalu.
Memang ada upaya militer untuk membubarkan mereka dengan paksa melalui kekuatan senjata yang menelan korban ratusan orang meninggal dari kubu pro Presiden Mursy seperti yang terjadi pada Sabtu (27/07/2013). Namun upaya tersebut justeru menambah semangat dan motivasi pendukung kubu al-syar`iyah (legitimasi pemerintahan sah), demikian sebutan bagi para pendukung Presiden Mursy, untuk terus memenuhi lapangan-lapangan utama di seantero Mesir terutama Rabi`ah al-Adawiyah dan Al-Nahdhah di Kairo.
Serangan aparat keamanan dan tentara tersebut sehari setelah penguasa militer, Jenderal Abdul Fatah Al-Sisi menyerukan para pendukungnya dari kubu liberal melakukan demo besar-besaran sebagai bentuk pemberian mandat kepada militer untuk membubarkan pengunjukrasa anti kudeta yang mereka sebut sebagai teroris. Menurut sejumlah versi setidaknya 120 orang tewas dan lebih seribu orang menderita luka pada peristiwa berdarah tersebut.
Seorang pakar Mesir, Fahmi Huweidi menggambarkan pembantaian tersebut dengan jumlah korban yang demikian besar dalam semalam sebagai yang terburuk sejak 200 tahun terakhir ini. Ia merujuk kepada peristiwa pembantaian para pangeran Dinasti Mamlouk pada 1811 oleh Mohammed Ali Pasha yang diundang ke gedung al-Qal`ah (benteng) dan mereka dibunuh semuanya.
“Meskipun para pangeran tersebut bukan dari warga Mesir, namun pembantaian itu telah masuk dalam daftar hitam sejarah Ali Pasha. Adapun pembantaian di Rab`ah al-Adawiyah dengan korban tewas lebih dari 100 orang, dan sebelumnya di depan komplek Garda Republik dengan korban lebih dari 50 orang adalah tindak kejahatan yang melibatkan penguasa,“ paparnya dalam artikel di harian al-Shorouk Mesir, Ahad (28/7/2013).
Menurut Huweidi, menyedihkan sahabat saya yang telah mengundurkan diri sebagai Wakil PM dalam kabinet Dr. Esham Sharaf dengan alasan tidak tahan melihat korban pengunjukrasa di depan stasioan TV pemerintah sebanyak 28 orang. Sementara sekarang ia memimpin kabinet (maksudnya PM Hazem el-Beblawi) tapi bersikap membisu dengan jumlah korban yang besar dalam pembantaian di Rab`ah dan Garda Republik serta hampir setiap hari terjadi korban di penjuru Mesir.
“Adapun sahabat-sahabat yang lain yang telah kebagian jabatan menteri, saya tidak mengerti bagaimana perasaan nurani mereka yang juga ikut membisu melihat demikian banyak korban dengan genangan darah mereka. Bukan waktunya untuk berbicara siapa yang salah dan siapa yang benar karena suara yang paling tinggi saat ini adalah bagaimana menghentikan pembunuhan dan kegilaan saat ini,“ tandasnya lagi.
Modus serangan menjelang fajar di lapangan Rab`ah tersebut mirip dengan serangan serupa terhadap pendukung Mursy di depan kompleks Garda Republik Kairo sebelumnya saat massa sedang shalat subuh, menewaskan lebih dari 50 orang. Sejauh ini belum dilakukan penyelidikan serius terhadap otak serangan dimaksud sementara yang muncul di permukaan adalah saling menyalahkan antara dua kubu yang bertikai sebagai penyebab pembantaian itu.
Anehnya hampir semua media cetak, online dan TV terkemuka setempat serta Arab umumnya seakan-akan menutup mata terhadap pembantaian tersebut, tidak terlihat reaksi besar-besaran sebagaimana saat jatuh beberapa korban tewas akibat unjuk rasa menentang Presiden Mursy sebelum kudeta. TV Aljazeera yang berusaha memberikan laporan cukup berimbang menjadi sasaran kemarahan tokoh-tokoh liberal dan menuduhnya pro Al-Ikhwan.
Para pengamat independen setempat menilai bahwa tidak ada dasar hukum dan etika serta apapun dalih termasuk mendapat mandat dari sebagian rakyat untuk membunuh pengunjukrasa damai. “Kita tidak mengerti dan paham bila ada yang disebut mandat untuk membunuh puluhan pengunjukrasa damai yang dapat berakibat pertumpahan darah sesama satu bangsa,“ papar mereka.
Taqweid
Oleh karena itu sebagian pihak menyebut tafweid (mandat) yang diklaim oleh pemerintahan sementara untuk menjastifikasi aksi kekerasan menghadapi pendemo damai pro legitimasi Presiden Mursy diplesetkan dengan kata taqweid (penghancuran/penyingkiran) kubu tertentu yang tidak sependapat. Sebagian pihak menyebutnya sebagai upaya untuk menyingkirkan kubu lain yang telah sukses memenangkan pemilu demokratis pertama dalam sejarah modern Mesir.
Tentunya hal ini juga bertentangan dengan prinsip demokrasi yang diusung oleh kubu liberal sekuler pendukung militer untuk melengserkan Presiden terpilih. Karena itu, meskipun jumlah mereka tidak banyak dan suara mereka tidak laku oleh media massa terkemuka setempat, beberapa tokoh liberal telah berbalik menentang aksi militer tersebut yang dianggap tidak sejalan dengan tujuan revolusi 25 Januari 2011.
Mandat yang dimaksud militer juga ibarat pedang bermata dua karena di satu sisi dimaksudkan untuk menyingkirkan kubu lain agar pemeritahan transisi hasil kudeta dapat melaksanakan tugasnya, namun di sisi lain akan mengobarkan saling kebencian di antara sesama bangsa. “Mandat seperti ini jauh lebih berbahaya dari kudeta yang telah terjadi karena akan merusak kedamaian sesama satu bangsa menuju perangkap perang saudara,“ kata sejumlah pengamat.
Banyak pihak pula yang mengkhawatirkan, bila kubu Islamis yang memenangkan Pilpres demokratis akhirnya tersingkirkan akan meningkatkan kekerasan dan ekstrimisme sebab aksi kekerasan hanya akan melahirkan reaksi kekerasan serupa sebagai jalan pintas balas dendam. Karena keberhasilan kubu Islamis dalam pemilu Mesir sebagai bagian dari Musim Semi Arab telah menyadarkan banyak tokoh pengusung kekerasan untuk menerima alih kekuasan damai lewat kotak suara sehingga dapat memperlemah pengaruh al-Qaeda dan bila kubu ini tersingkir maka pengaruhnya akan kembali kuat.
Tidak dapat dipungkiri pula bahwa “mandat“ tersebut telah menjerumuskan militer ke dalam konflik internal dan benar-benar telah menyebabkan rakyat negeri Lembah Nil tersebut terpecah dua. Kondisi ini apabila tetap berlangsung tanpa ada upaya untuk mengubahnya tentunya akan memperlemah peran angkatan bersenjata Mesir sebagai perisai menghadapi musuh asing puluhan tahun ke depan karena akan menfokuskan diri pada konflik dalam negeri.
Sebagaimana diketahui, angkatan bersenjata negeri itu adalah yang paling disegani oleh musuh zionisme meskipun selama tiga dekade lebih pada era rezim Mubarak berhasil “disekap“. Dengan jatuhnya rezim Mubarak, angkatan bersenjata Mesir kembali menghantui negeri zionis tersebut karena tentara Mesir memang terkuat di Arab secara kuantitas maupun kualitas yang dapat mengimbangi pasukan Israel.
Karenanya tidak berlebihan bila banyak petinggi veteran Israel seperti mantan Kastaf Angkatan Bersenjata, Jenderal Dan Halutz yang sekarang telah beralih fungsi sebagai pengamat strategis tidak dapat menutupi ungkapan rasa gembira luar biasa dengan perkembangan yang terjadi di negeri Piramida itu pasca kudeta militer. Yang terpenting bagi negeri Yahudi itu bukan sekedar kejatuhan Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM) tapi terperangkapnya militer Mesir dalam konflik internal.
Mereka milihat bahwa terperangkapnya militer dalam konflik tersebut akan memperlemahnya untuk jangka waktu yang lama dan tentunya hal ini akan berpihak kepada kepentingan startegis Israel ke depan. “Tentara Mesir yang masih sangat diperhitungkan Israel, namun dengan kondisi seperti saat ini akan semakin lemah di tangan Al-Sisi setelah ditarik ikut terlibat dalam konflik internal,“ papar sejumlah mantan jenderal Israel itu yang disiarkan Radio Tentara Israel, Rabu (31/7/2013).
Realita sangat berbahaya ini telah diungkap oleh sejumlah mantan jenderal Israel yang memang sangat berharap kudeta tersebut bukan hanya sebatas pelengseran Presiden dari kubu IM, tapi sebagai upaya pelemahan Mesir. Pelemahan yang dimaksud adalah pelemahan militer untuk jangka waktu lama sebagai akibat intervensi dalam masalah politik.
“Tidak pernah terbayang dalam mimpi sekalipun mliter Mesir akan terlibat dalam konflik politik seperti ini. Tentunya hal ini akan menyebabkan tidak akan ada perubahan perimbangan kekuatan militer antara kami dan Arab untuk jangka panjang kedepan sebab fokus utama militer Mesir ke depan adalah memperkuat kemampuan untuk mengendalikan situasi dalam negeri,“ papar Reuven Bdehtsor, seorang pensiunan Jenderal Israel.
Meskipun demikian Presiden Israel, Simon Peres yang menyebut terpilihnya Mursy sebagai Pilpres demokratis tetap menyimpan rasa khawatir bila kudeta tersebut akhirnya tidak mencapai sasaran yang diinginkan apalagi gagal total. Karenanya PM Benjamin Netanyahu dilaporkan terus bergerilya untuk mendesak dunia internasional agar memberikan dukungan politis dan finansial kepada pemerintahan sementara hasil kudeta militer.
Kekhawatiran tersebut dilandasi oleh kegigihan para pendukung legitimasi Presiden Mursy untuk tidak hengkang dari tempat unjukrasa bahkan gelombang unjukrasa di seantero Mesir yang menentang kudeta dilaporkan terus meningkat. Para pendukung legitimasi misalnya Kamis (1/8/2013) menolak seruan Kementerian Dalam Negeri untuk mengakhiri unjukrasa di dua lapangan utama kota Kairo (Rab`ah dan al-Nahdah).
Intervensi
Melihat perkembangan yang masih mendebarkan hingga sebulan lebih pasca kudeta yang dapat mengarah kepada situasi yang makin parah, banyak tokoh bijak (hukamaa) Mesir yang akhirnya melakukan intervensi mencarikan solusi jalan tengah dengan mengedepankan beberapa inisitiatif. Solusi jalan tengah tersebut sebagai upaya mencapai win-win solution sehingga tidak ada pihak yang merasa dipecundangi.
Pasalnya sebagian besar pihak baik di dalam dan luar negeri melihat bahwa solusi situasi saat ini tidak mungkin hanya dilakukan dengan cara membubarkan para pendukung Presiden Mursy kemudian menyingkirkan IM dari arena politik. Solusi politis merupakan jalan terbaik yang tidak hanya diupayakan tokoh-tokoh dalam negeri, juga sejumlah pemimpin dunia yang berkepentingan Mesir tetap stabil terutama dari Uni Eropa.
Di antara inisiatif dari tokoh dalam negeri yang sempat beredar meskipun belum mendapatkan respon dari kedua kubu adalah inisiatif yang diajukan mantan Capres, Dr. Salim Al-Awa dan Hakim Agung, Tareq Al-Bashri serta sejumlah tokoh yang dikenal dekat dengan kubu Islamis. Inisiatif tersebut diantaranya berisi lima poin sebagai solusi jalan tengah.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Yang pertama adalah kembalinya Mursy sebagai Presiden simbolis dengan memberikan wewenang penuh kepada PM baru sesuai dengan pasal 141 dan 142 konstitusi tahun 2012. Sedangkan penentuan PM harus lewat kompromi seluruh kekuatan politik yang tugas utamanya adalah untuk mendekatkan sudut pandang semua faksi lewat dialog politik.
Yang kedua adalah, pemerintahan sementara yang dipimpin PM hasil kompromi tersebut harus melaksanakan pemilu legislatif selambat-lambatnya dua bulan setelah dilantik. Sedangkan poin ketiga berisi pembentukan kabinet permanen sesuai hasil pemilu legislatif dan poin keempat adalah segera melakukan persiapan untuk pelaksanaan pilpres serta poin kelima adalah dimulainya amandemen konstitusi 2012 yang sebelumnya masih menjadi perdebatan.
Namun sejumlah pengamat independen setempat seperti dilaporkan al-Masry al-Youm, Selasa (30/7/2013) mengusulkan perlunya terlebih dahulu menemukan tokoh yang akan didaulat menjadi PM. Mereka juga mengusulkan agar Pilpres lebih dahulu dilaksanakan sebelum pemilu parlemen. “Berbagai skenario dalam beberapa hari ke depan tetap terbuka,“ ujar sejumlah pengamat lainnya.
Di lain pihak, pihak-pihak internasional mulai melakukan upaya penengah bagi tercapainya solusi politis di negeri Al-Azhar itu karena tidak ingin melihat terulang kembali perang saudara berkepanjangan seperti yang terjadi di Suriah. Tentunya, upaya tersebut bukan sebagai bentuk penyelamatan terhadap rakyat Mesir, namun lebih mengedepankan kepentingan masing-masing melihat kapasitas negeri ini sebagai salah satu negara besar di kawasan.
Untuk sekian kalinya, Barat lebih berperan dalam upaya penengah tersebut sementara Arab kembali dikesampingkan yang barangkali sebab utamanya adalah negara-negara terkemuka Arab ditengarai lebih condong berpihak kepada kubu tertentu sehingga sulit diterima sebagai penengah. Kedua kubu tampaknya mengakui secara implisit usaha penengah tersebut setelah jalan kekerasan yang coba dikedepankan militer tidak mampu mengakhiri unjukrasa pro Presiden Mursy.
Sudah beberapa kali aparat kepolisian urung melakukan pembubaran massa pendukung legitimasi Mursy terutama di Rab`ah dan Al-Nahdah secara paksa sesuai instruksi pemerintahan transisi. Sikap kepolisian tersebut, kelihatannya belajar dari persitiwa berdarah sebelumnya yang justru semakin memotivasi massa anti kudeta untuk lebih meningkatkan jumlah mereka di serbagai lapangan di seluruh negeri.
Melihat situasi yang masih tidak menentu tersebut tidak menutup kemungkinan dalam beberapa hari ke depan setelah Idul Fitri, akan lebih gencar lagi upaya penengah dari dalam dan luar negeri hingga muncul solusi jalan tengah yang dapat diterima semua pihak. Karena yang terpenting menurut para tokoh bijak dan mayoritas bangsa Mesir adalah penghentian pertumpahan darah dan pulihnya situasi serta tidak lupa pula mereka menolak kemunduran demokrasi akibat campur tangan militer sebab dapat memunculkan kembali penguasa diktator seperti rezim sebelumnya.*/Sana`a, 27 Ramadhan 1434 H
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman