Oleh: Musthafa Luthfi
MESIR yang mendapat julukan Ummud Dunya (ibu dunia) sebagai salah satu pusat sejarah tertua di muka bumi ini, dalam beberapa pekan terakhir ini sibuk menghadapi perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) multi calon yang kedua atau yang pertama dalam suasana keterbukaan dan demokratis. Pilpres pertama berlangsung pada 2005 yang diwarnai banyak kecurangan dan intimidasi sehingga hasilnya pun telah diketahui sebelum Pilpres berlangsung.
Persiapan Pilpers di negeri Piramida itu menjadi topik utama pemberitaan media massa setempat dan Arab pada umumnya sehingga untuk sementara waktu menggeser laporan suasana berdarah di Suriah. Bahkan sejumlah stasion TV terkemua Arab menyediakan waktu khusus untuk sebuah laporan khusus setiap hari terkait perkembangan persiapan Pilpres tersebut.
Hanya saja yang terasa menyedihkan akibat “hiruk pikuk“ menjelang Pilpres di negeri Sungai Nil itu adalah adanya kesan terkesampingkannya HUT tahunan isu sentral kaum Muslimin sedunia yakni Hari Nakbah (bencana) Palestina. Pada 14 Mei tahun ini tepat sudah 64 tahun pencaplokan tanah Palestina oleh Zionis Israel yang belum juga menemukan titik terang kapan akan berakhir meskipun dengan berdirinya dua negara merdeka (Israel-Palestina) sebagai penyelesaian sementara dalam suasana kondisi dunia Islam yang lemah.
Padahal pada HUT Nakbah ke-63 pada 2011 lalu yang diwarnai oleh orde perubahan di dunia Arab, peringatannya kembali berlangsung semarak. Hampir seluruh bangsa Arab, terutama di negara-negara yang berbatasan langsung dengan Palestina yakni Mesir, Libanon, Suriah dan Yordania, bangkit menggugah para pemimpinnya lewat unjukrasa damai agar lebih serius memperhatikan nasib Palestina yang di dalamnya terdapat tanah suci Umat Islam yang dikotori Zionis-Israel.
Media massa Arab pun menyiarkannya secara meluas bahkan sebagai salah satu berita utama sebelum hari H maupun beberapa hari setelah hari H. Paling tidak suasana peringatan HUT Nakbah saat itu adalah salah satu pengaruh positif dari orde perubahan di Arab karena dalam mengungkapkan aspirasi, media massa dan rakyat negeri-negeri kawasan tidak lagi merasa takut terhadap sejumlah rezim yang dikenal bersahabat kental dengan Israel dan sekutu-sekutunya.
Perhatian media dan publik pada umumnya yang demikian besar itu memang beralasan sebab Pilpres pertama yang dinilai berjalan secara jurdil itu bukan hanya menyibukkan warga Mesir saja, akan tetapi masyarakat dunia pada umumnya tak terkecuali Israel. Negeri zionis itu sangat berkepentingan agar pemenang Pilpres itu adalah tokoh yang masih bisa diajak “bekerjasama“ meskipun tidak sebaik rezim sebelumnya.
Selain alasan diatas, perubahan di Mesir juga sangat penting karena akan berpengaruh besar di dunia Arab mengingat negara ini adalah negara terbesar Arab dilihat dari jumlah penduduk dan kekuatannya militernya. Karenanya, publik Arab pada umumnya selalu menanti “kejutan-kejutan“ baru dari Ummud Dunya sejak berhasil melengserkan rezim Mubarak pada 11 Februari 2011, sebagai negeri Arab kedua setelah Tunis yang sukses memaksa rezim lama mundur.
Diantara kejutan baru yang muncul menjelang Pilpres yang dijadwalkan berlangsung untuk putaran pertama pada 23-24 Mei mendatang, adalah kemunculan dua Capres yang dinilai paling berpeluang memimpin Mesir pasca Mubarak yakni Amr Moussa dan Dr. Abdel Moneim Abul Futuh dalam sebuah acara debat Capres yang belum pernah terjadi di negeri itu dan dunia Arab pada umumnya. Karenanya kejutan menggembirakan tersebut pantas disebut sebagai peristiwa bersejarah.
Dengan berlangsungnya acara debat Capres pada Kamis (12/05/2012) lalu itu yang disiarkan oleh sejumlah stasion TV setempat dan Arab, negeri Lembah Nil itu telah mengukir sejarah baru yang tradisi ini kemungkinan besar akan diikuti oleh negara-negara Arab lainnya yang berbentuk republik. Tak berlebihan bila koran sekaliber Le Figaro, Prancis menyebutkan sebagai debat politis bersejarah dan sulit dibayangkan akan terjadi bila rezim Mubarak masih berkuasa.
Performa kedua tokoh yang menurut jajak pendapat berada pada posisi paling tinggi sebagai calon pemimpin Mesir mendatang terkesan memukau karena masing-masing nampak memiliki keberanian, rasa percaya diri yang tinggi dan kemampuan untuk mengekang emosi. Sifat-sifat tersebut memang yang harus dimiliki seorang pemimpin apalagi sekaliber Mesir yang menjadi salah satu negara penentu di kawasan.
Karena itu, tidak berlebihan bila kembalinya Mesir sebagai sumber inspirasi bagi kemajuan negara Arab sebagai mana halnya ketika menjadi motor penggerak ketika memimpin perang melawan Israel sebelum perjanjian Camp David 1979, terus ditunggu-tunggu. Tak berlebihan bila penantian ini sejalan dengan ungkapan populer yang berbunyi la budda min mashr wain thaalal intizhar (maksudnya tetap mengharapkan Mesir meskipun cukup lama menunggu).
Catatan
Sebagai catatan umum terkait Pilpres Mesir, sejak lengsernya rezim lama, tidak akan ada lagi Presiden Mesir yang menjabat seumur hidup atau menjabat hingga umur terlalu sepuh. Sesuai hasil referendum amandemen konsitusi yang diikuti oleh sekitar 18,5 juta pemilih Mesir pada 19 Maret 2011, sekitar 77 % dari mereka menyetujui amandemen dimaksud yang antara lain berisi masa jabatan Presiden selama empat tahun dan bisa dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan saja.
Adapun catatan khusus dari debat Capres tersebut antara lain terkait dengan masa lalu dari dua Capres yang hingga saat ini masih menduduki dua peringkat teratas sesuai hasil jajak pendapat, yang bisa menjadi catatan merah mereka. Amr Moussa misalnya adalah salah satu pilar dari rezim lama yang cukup lama menjabat sebagai Menlu Mesir dan pada masa kepemimpinanan sebagai Sekjen Liga Arab, kondisis dunia Arab semakin terpuruk.
Sementara Abul Futuh memiliki latar belakang gerakan al-Ikhwanul al-Muslimun (IM) yang kerap dijadikan “senjata“ oleh para pesaingnya dengan memojokkannya sebagai tokoh yang hanya mewakili kepentingan gerakan tersebut ketimbang kepentingan bangsa Mesir. Walaupun yang bersangkutan telah mengundurkan diri dari gerakan itu saat mencalonkan diri, namun tetap saja dinilai sebagai alat perjuangan kepentingan IM.
Namun dibandingkan dengan Abul Futuh, catatan merah Amr Moussa tampaknya lebih banyak di mata publik Mesir. Sebut saja misalnya sikapnya saat menjadi Sekjen Liga Arab yang tampak ragu-ragu mengikuti reaksi PM Turki, Recep Tayyip Erdogan yang meninggalkan tempat sebagai protes atas bualan Presiden Israel, Simon Peres terkait pembantaian di Gaza, pada saat pertemuan tahunan ekonomi dunia di Davos, Swiss pada 2009.
Sementara kelemahan Abul Futuh menurut pesaingnya adalah tidak memiliki pengalaman politik dibandingkan Moussa yang menjabat delapan tahun sebagai Menlu dan sebelumnya sebagai salah satu diplomat terkemuka Mesir saat bertugas di PBB. Namun kelemahan dimaksud, kelihatannya tidak akan terlalu berdampak terhadap opini publik Mesir dibandingkan dengan catatan merah Moussa.
Terlepas dari sejauh mana catatan merah itu akan mempengaruhi perolehan suara masing-masing calon pada putaran pertama tanggal 23 dan 24 Mei mendatang, yang jelas yang paling menarik perhatian penulis adalah pandangan kedua Capres terkait masa depan hubungan Mesir dengan Israel dibawah naungan perjanjian Camp David. Pasalnya perjanjian itu telah memperkedil peran Mesir selama lebih dari tiga dekade belakangan ini.
Yang menggembirakan dari kedua Capres tersebut adalah pandangan mereka yang hampir sama terkait masa depan perjanjian tersebut yakni perlunya dilakukan revisi yang sesuai dengan kepentingan Mesir. Kedua Capres sepakat bahwa perjanjian tersebut sangat merugikan Mesir sehingga tidak bisa lagi dijadikan dasar hubungan dengan Israel.
Sebagai contoh, negeri Lembah Nil itu tidak bisa bebas melaksanakan kedaulatannya secara penuh di wilayah semenanjung Sinai karena sesuai perjanjian Camp David tidak boleh menempatkan militernya. Bila terjadi serangan dari luar (dapat dipastikan dari Israel), wilayah semenanjung itu tidak akan bisa dipertahankan.
Demikian juga dengan pakta pertahanan bersama Arab yang menjadi salah satu piagam Liga Arab, selama ini juga mandul akibat perjanjian damai dengan Israel tersebut. Israel berhasil memanfaatkannya untuk melakukan invasi beberapa kali di Libanon dan pembantaian biadab di Palestina tanpa harus khawatir terhadap reaksi militer dari Mesir.
Hanya ada perbedaan istilah saja dari kedua Capres tersebut saat menyebut Israel. Abul Futuh tanpa ragu-ragu menyebutnya sebagai aduw (musuh), sementara Moussa hanya cukup menyebutnya sebagai khasm (lawan/saingan). Dalam bahasa Arab jelas kedua istilah tersebut sangat berbeda, karena aduw maksudnya musuh sejati dari pihak yang tidak seakidah, sementara khasm adalah lebih dititikberatkan pada lawan yang tidak seide tapi masih satu akidah seperti lawan politik, lawan berdebat dan lainnya.
Kubu Islam
Catatan menarik lainnya terkait Pilpres di negeri Piramida itu adalah munculnya persaingan kuat dan tak terduga di dalam kubu Islamis yang sebagian besar diwakili oleh IM dan Salafy. Bahkan seorang peniliti Mesir, Khalil el-Enani menyebut adanya perpecahan dan konflik serius antara IM dengan Salafy.
“Konflik dan persaingan ketat sekarang ini terjadi antara dua kekuatan utama kubu Islamis yakni IM dan al-Dakwah al-Salafyyah. Konflik ini mencakup persaingan untuk menguasai negara dan masyarakat,” paparnya dalam tulisannya di harian al-Watan, Oman, Rabu (16/05/2012).
Menurut, akademisi Mesir di Universitas Durham Inggris itu, persaingan kedua kubu Islamis terbesar itu memang belum sampai menjurus kepada benturan, namun sudah memunculkan kekhawatiran di masing-masing pihak. “IM selama ini melihat Salafy sebagai pengikutnya karena selain tidak memiliki pengalaman politik juga dianggap sebagai pendukung kuat IM menghadapi kubu sekuler dan liberal,“ tambahnya.
Memang dari hasil pemilu legislatif belum lama ini sudah terlihat bahwa Salafy tidak ingin berada dibawah naungan IM sehingga mengusung parpol sendiri yakni Partai an-Nur yang hasilnya sangat mencengangkan IM sebelum parpol lainnya. Partai an-Nur berhasil meraih suara terbanyak kedua setelah Partai Keadilan dan Pembangunan yang berafiliasi ke IM.
Setelah Capres dari kubu Salafy, Hazem Solah Abu Ismail didiskualifikasi, dukungan mayoritas Salafy hampir dipastikan dialihkan ke Abul Futuh menghadapi calon dari IM, Dr. Mohammed Mursi. Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan faktor Salafy sangay menentukan dalam persaingan Capres di negeri Lembah Nil itu yang semakin ketat dan sulit memastikan siapa akan menjadi Presdiden pertama pasca Mubarak.
Hanya yang perlu digarisbawahi bahwa siapapun Presiden Mesir mendatang, kebijakan negeri itu terhadap Israel hampir dipastikan akan berubah apalagi dengan semakin kuatnya parlemen yang mayoritas dikuasi kubu Islamis. Karenanya, tidak berlebihan bila Pilpres Mesir kali ini bukan hanya menyibukkan warga Mesir sendiri akan tetapi mendapat perhatian besar masyarakat internasional pada umumnya.*/Sana`a, 28 J. Thani 1433 H
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman