Oleh: Musthafa Luthfi
MEMASUKI minggu kedua, Deklarasi (Dekrit) Konstitusi Mesir yang menimbulkan kecaman luas kalangan oposisi dan parpol-parpol liberal di Negeri Lembah Nil itu, belum menunjukkan tanda-tanda akan segera mencapai al-infiraaj al-silmi (penyelesaian damai) yang diterima semua pihak. Kubu liberal, mencoba menekan Presiden Mohammad Mursy dengan mengerahkan massa dan unjukrasa i`tisham (berdiam) di lapangan el-Tahrir.
Di lain pihak, Istana Kepresidenan, juga belum menunjukkan isyarat akan mengubah sebagian dari isi dekrit tersebut yang diumumkan Kamis (22/11/2012) lalu terutama yang berkaitan dengan independensi lembaga yudikatif. Sebagaimana diketahui, Presiden Mursy sebelumnya pernah mengoreksi keputusannya ketika mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk mengganti Jaksa Agung, Abdul Majid Mahmoud.
Saat itu, Mahmoud yang menjabat Jaksa Agung sejak zaman rezim Mubarak diputusakan untuk dijadikan duta besar Mesir untuk Vatikan, namun mendapat tentangan dari kalangan oposisi serta sejumlah pakar hukum dan konstitusi sehingga Presiden Mursy dengan lapang dada mencabut Keppres tersebut. Langkah Mursy tersebut sebenarnya untuk mengakomodir tuntutan kubu revolusi yang menaruh curiga atas keputusan Mahmoud terkait pengadilan mantan Presiden Mubarak dan kroni-kroninya.
“Senjata” massa yang dikedepankan oposisi liberal dikhawatirkan memancing pengerahan massa tandingan dari kubu pendukung Mursy yang disebut lebih besar dari kubu liberal mengingat pengaruh Al-Ikhwanul Al-Muslimun (IM) telah mengakar sejak lama. Telah beberapa kali para tokoh pendukung keputusan Mursy menunda pengerahan massa tandingan sebagai upaya untuk menghindari eskalasi yang dapat dimanfaatkan oleh sisa-sisa rezim sebelumnya.
Bila senjata massa tersebut tetap dipertahankan kubu oposisi liberal, dipastikan kubu pendukung Presiden juga mau tidak mau akhirnya melakukan unjuk kekuatan massa. Hingga tulisan ini diturunkan, sudah puluhan ribu pendukung Mursy di luar daerah melakukan unjukrasa secara spontan dan mereka menyalahkan keputusan penundaan unjukrasa milyuniyah (jutaan) pendukung Presiden di Kairo yang dianggap sebagai penyebab sikap bersikeras kubu liberal.
Dalam suasana era perubahan saat ini di Mesir, pengerahan massa dari dua kubu yang saling berbeda pendapat semacam itu sah-sah saja dan mendapat jaminan konstitusi. Hanya yang dikhawatirkan suasana itu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kontra revolusi untuk memancing di air keruh dengan mengadudomba kedua kubu sehingga menjurus kepada bentrokan fisik dan bersenjata yang nantinya sulit diatasi.
Penyelesaian ideal yang diinginkan kubu oposisi adalah pencabutan deklarasi konstitusi tersebut karena dianggap sebagai bom yang menyebabkan ledakan unjukrasa besar. Sedangkan sudut pandang Presiden dan pendukungnya, deklarasi tersebut sangat diperlukan untuk menciptakan stabilitas, mengawal revolusi, mengakomodir tuntutan keluarga korban yang gugur selama masa revolusi menuntut hengkangnya rezim Mubarak dan sebagai upaya reformasi lembaga yudikatif serta menciptakannya menjadi lembaga independen.
Bila melihat teks dekrit terakhir itu yang berisi enam pasal, hampir sejalan dengan dengan tuntutan kubu revolusi hanya pasal kedua dan kelima kemungkinan besar yang menuai kecaman kelompok oposisi dan sebagian hakim. Pasal kedua intinya berisi “seluruh dekrit dan keputusan Presiden sejak menjabat pada 30 Juni 2012 dianggap final hingga konstitusi baru berlaku dan terpilihnya parlemen serta tidak bisa diganggugugat”.
Sedangkan pasal kelima intinya berisi “Tidak dibenarkan bagi badan yudikatif manapun membubarkan Majelis Syoura dan Badan Penyusun Konsitusi yang ditugaskan menyusun rancangan konstitusi”. Adapun pasal ketiga yang terkait penggantian Jaksa Agung yang sebelumnya menjabat seumur hidup, mendapat penentangan dari sebagian hakim dan pengacara, namun sebagian besar dari mereka mendukung pasal ini.
Sedangkan pasal lainnya menjadi kesepakatan bersama, yakni mencakup peninjauan ulang seluruh perumusan aturan sebelumnya dalam mengungkap kasus pembantaian para revousioner dan yang mengalami luka-luka berdasarkan keputusan lembaga investigasi yang telah hampir menyelesaikan tugasnya, memberikan subsidi dan santunan kepada para korban revolusi yang mengalami cacat seumur hidup. Sebagaimana deklarasi konstitusi tersebut juga menetapkan wewenang presiden untuk menetapkan undang-undang apapun untuk melindungi revolusi.
Intinya, dekrit terbaru ini masih bersifat debatable (bahan perdebatan) yang hingga saat ini belum menemukan titik temu yang diterima semua pihak sehingga perlu dilakukan usaha penengah. Salah satu upaya penengah yang diharapkan dapat mendudukkan para tokoh Mesir untuk mencapai kompromi adalah Lembaga Al-Azhar yang sebelumnya juga telah melakukan inisiatif mempertemukan tokoh-tokoh Mesir yang mengundurkan diri dari Badan Penyusun Konstitusi.
Keberhasilan anggota Badan Penyusun Konstitusi merampungkan rancangan konstitusi dan disetujui secara aklamasi pada Jum`at (30/11/2012), sedianya diharapkan dapat menurunkan tensi eskalasi di negeri Piramida itu. Tapi lagi-lagi, menjadi salah satu penyulut unjukrasa lebih besar dari kubu oposisi yang juga menentang rancangan ini yang akan segera diputuskan Presiden untuk diajukan sebagai referendum rakyat Mesir.
Menggelikan
Meskipun pemerintah Mesir termasuk Presiden Mursy beberapa kali menegaskan bahwa unjukrasa menentang dekrit tersebut tidak akan memicu kekerasan dan perpecahan karena dilakukan oleh kelompok minoritas, namun tetap perlu diwaspadai sebab eskalasi yang terus memuncak dapat menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat.
Apalagi, banyak tokoh penentang dekrit tersebut mengkait-kaitkannya dengan keputusan sepihak IM sehingga berusaha mencari-cari kesalahan Presiden Mursy seolah-olah dekrit itu hanya mementingkan kelompoknya bukan kepentingan seluruh rakyat dengan berbagai golongannya. Meskipun Mursy menyebut dekrit itu keputusan penyelamatan revolusi, namun oleh kelompok oposisi dan lawan politik Mursy termasuk loyalis status-quo dianggap sebagai keputusan “Al-Ikhwan yang inkonstitusional”.
Berbagai hujatan dan tuduhan terhadap gerakan itu semakin marak disuarakan di lapangan al-Tahrir termasuk “kudeta Al-Ikahwan“, tuduhan Mesir akan dijadikan negara agama ala Iran oleh Al-Ikhwan serta berbagai tuduhan lainnya yang apabila tidak segera diatasi dengan bijaksana dapat memancing amarah kubu yang dipojokkan yang secara kebetulan sebagai peraih mayoritas dalam pemilu parlemen yang telah dibubarkan Mahkamah Konstitusi.
Namun yang menggelikan dari sejumlah tokoh liberal yang dikenal luas selama ini sebagai salah satu bagian dari rezim lama dan menikmati sekian banyak fasilitas pada masa itu yaitu klaim yang menyebut dirinya dan pendukungnya sebagai kubu revolusi dan Al-Ikhwan dianggap bukan dari kubu revolusi. Tokoh-tokoh seperti ini, termasuk diantaranya sejumlah artis yang dikenal dekat dengan istana pada masa Mubarak telah muncul sebagai pahlawan-pahlawan kesiangan.
Mereka memanfaatkan sejumlah media massa Arab yang dikenal selama ini bersebrangan dengan Al-Ikhwan sebagai corong untuk membesar-besarkan klaim tersebut agar mendapat pengakuan publik bahwa pihaknya lah sebagai “pahlawan sejati” revolusi Mesir yang sukses melengserkan rezim Mubarak itu. Mereka seolah-olah melupakan sejarah bahwa pihak lain sebenarnya telah berjuang lebih 60 tahun untuk berusaha keluar dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan madani yang demokratis.
Apakah mereka lupa bila banyak tokoh dari Partai Kebebasan dan Keadilan, yang memenangi pemilu legislatif dan Pilpres jurdil pertama di negeri Nil ini sudah “kenyang” keluar masuk penjara pada masa rezim lama. Sebaliknya, banyak dari tokoh yang mengklaim dirinya sebagai sebagai kubu revolusi sejati itu “kenyang” dengan berbagai fasilitas dari rezim lama sebagai imbalan atas dukungan mereka baik langsung maupun tidak langsung.
Sikap para “pahlawan kesiangan” yang masih menyimpan sentiment kepada kelompok Al-Ikhwan ini sangat berbahaya karena mereka tidak sadar bahwa kebencian mereka terhadap gerakan ini berdampak terhadap kemungkinan Mesir secara keseluruhan terperangkap dalam kekacauan umum. Padahal sangat besar perbedaan antara benci dengan pemerintahan Al-Ikhwan yang sukses menuju kursi Presiden lewan Pilpres demokratis dengan kebencian terhadap Mesir.
Para pahlawan kesiangan ini perlu diwaspadai karena dapat sebagai pemicu kehancuran negeri Lembah Nil itu dari dalam sebab dikhawatirkan sengaja menanam benih perpecahan nasional di negeri terbesar Arab itu. Kita tidak menyalahkan oposisi menentang dekrit tersebut sesuai sudut pandang mereka yang dijamin oleh undang-undang dalam suasana perubahan dewasa ini.
Namun yang sangat disayangkan, mereka tidak waspada bila penentangan terhadap dekrit tersebut sebagai sarana yang dapat dimanfaatkan pahlawan-pahlawan kesiangan itu untuk menghancurkan revolusi. Selain itu, penentangan tersebut tidak mereka sadari dapat menjadi sarana konspirasi untuk menguburkan kembali revolusi sehingga memunculkan kembali rezim yang tunduk mutlak kepada AS dan Israel.
Senjata massa yang diselewengkan dari tujuan semula sebagai mimbar kebebasan berpendapat menjadi alat memecahbelah persatuan nasional seharusnya segera ditanggalkan untuk diganti dengan dialog konstuktif. Mesir saat ini butuh stabilitas dan hidup harmonis antara semua golongan serta kekuatan-kekuatan politik agar tercipti masa transisi yang lebih aman menuju target utama yakni pengembangan ekonomi serta memulihkan kembali sarana-sarana kekuatan untuk menjadi salah satu negara besar dan menentukan di kawasan seperti halnya China, Rusia atau Turki.
Tokoh bijaksana
Pembatalan beberapa kali unjukrasa milyuniyah yang sedianya diorganisir oleh Partai Kebebasan dan Keadilan merupakan langkah sangat penting untuk menghindari eskalasi yang dapat menjurus kepada pertumpahan darah antara dua kubu yang saling beda pendapat terkait dekrit tersebut. Pembatalan itu sebagai cerminan sikap rekonsiliasi yang seharusnya disambut baik oleh kubu liberal dengan langkah yang sama agar selanjutnya menfokuskan pemecahan polemik tersebut secara langsung di meja perundingan.
Meskipun semua mengakui bahwa dekrit tersebut sebagai penyebab krisis kali ini, namun semua pihak tanpa terkecuali harus bekerjasama untuk menghindari situasi yang dapat menjurus kepada perpecahan lebih dalam dan pertumpahan darah. Mesir dalam kondisi yang sangat berbahaya ini butuh tokoh-tokoh bijak termasuk di kalangan oposisi.
Namun hingga berulang kali pembatalan sepihak unjukrasa jutaan orang dilakukan oleh kubu pro Presiden sebagai langkah yang sangat penting itu, selalu tidak direspon sama sekali oleh tokoh-tokoh oposisi. Mereka bersikeras menetapkan prasyarat pencabutan dekrit konstitusi sebelum berunding dengan Presiden, sehingga kubu pro Presiden akhirnya mengerahkan massa tandingan pada Sabtu (01/12/2012) di depan Universitas Kairo dan berbagai lapangan di provinsi-provinsi lainnya.
Ratusan ribu pendukung Presiden Mursy dari kubu Islamis dan Nasionalis mengusung slogan “syar’iyah dan syariah” (pemerintahan sah dan syariah) memenuhi maidaan al-nahdah (lapangan kebangkitan). Di lain pihak, pengunjukrasa oposisi di lapangan al-Tahrir mengancam untuk melanjutkan demo dan melakukan eskalasi hingga deklarasi konstitusi dicabut.
Tentunya pemandangan tersebut sangat mengkhawatirkan karena menempatkan Mesir di persimpangan jalan yang sangat berbahaya yang setiap saat bisa meledak menjadi bentrokan berdarah. Para tokoh bijaksana dari kedua kubu dituntut untuk segera menghentikan eskalasi tersebut bila tidak ingin “kecolongan“ pihak-pihak tertentu baik kubu kontra revolusi di dalam negeri maupun konspirasi asing yang ingin memancing di air keruh.
Tampaknya tepat yang dikemukakan sejumlah analis Arab bahwa seandainya memang Presiden Mursy keliru mengeluarkan dekrit tersebut, maka semua pihak harus bertangungjawab.
“Kewajiban juga bagi para tokoh bijak di kubu oposisi untuk mengulurkan tangga agar dapat turun dari pohon, bukan dibiarkan menggantung di atas pohon yang dapat memicu destabilitas nasional,” papar sejumlah pengamat.
Intinya semua pihak bertangungjawab melindungi revolusi dari kemungkinan konspirasi para pahlawan kesiangan yang tidak akan ragu-ragu bekerjasama dengan sisa-sisa rezim lama dan pihak asing yang memang sangat khawatir bila negeri terbesar Arab itu dipimpin oleh kubu Islamis yang dipilih secara demokratis. Apalagi Mesir adalah tolok ukur keberhasilan “musim semi Arab”, kekacauan di Negeri Nil itu dipastikan akan berdapak ke seluruh negara Arab.*/Sana`a, 17 Muharram 1434 H
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman