Oleh: Musthafa Luthfi
HAMPIR semua pihak tidak ada yang meratapi kematian bekas penguasa mutlak Libya, Muammar Qadhafi kecuali segelintir orang, termasuk sejumlah tokoh berpredikat ulama yang pernah mendapt bantuan keuangan cukup banyak dari mantan diktator itu. Meskipun demikian, kita harus bersikap adil menyikapi saat-saat terakhir menjelang ajal menjemput karena kematiannya masih misteri dan terkesan rekayasa dikarenakan ia sebenarnya dapat ditangkap hidup-hidup untuk dimejahijaukan secara adil.
Tentunya kematian bekas penguasa Libya selama 42 tahun lebih itu, Kamis (20/10/2011), menimbulkan kesan bahwa revolusi rakyat Libya yang meletus pada pertengahan Februari lalu itu, berakhir kurang elok. Kematiannya itu, terkesan disengaja sehingga banyak hal yang seharusnya terungkap dari mulut sang mantan diktator itu dan penting diketahui oleh publik Libya khususnya dan publik dunia umumnya besar kemungkinannya tidak akan pernah terungkap.
Bukan hanya jumlah aset sesungguhnya milik rakyat Libya yang disalahgunakan oleh rezim Qadhafi dan disimpan di sejumlah bank di Barat saja, yang penting diungkap, akan tetapi masih banyak rahasia lain yang mungkin lebih penting untuk diketahui publik. Sebut saja misalnya, kerjasama aparat keamanan sejumlah negara Barat dengan rezim Qadhafi dalam menindas, menyiksa dan membunuh tokoh-tokoh oposisi Libya.
Kejadian sesungguhnya dan asal muasal revolusi damai yang berubah menjadi berdarah di negeri penghasil minyak terbesar ketiga di benoa Afrika itu, juga sangat penting diungkapkan termasuk juga misteri kekuasaan Qadhafi selama ini terutama terkait persekutuannya dengan Barat selama memimpin negerinya dengan tangan besi, agar rakyat Libya di belakang hari tidak bisa dengan mudah menelan informasi dusta tentang “partisipasi hebat” Barat dalam pembebasan mereka dari tirani Qadhafi.
Bila semua misteri itu tak terungkap tentunya nyawa lebih dari 20 ribu warga Libya yang gugur sejak revolusi meletus akan sia-sia belaka dan perubahan pun dikhawatirkan hanya perubahan kekuasaan semata tanpa banyak membawa manfaat bagi rakyat, lebih-lebih lagi bila kue (kekayaan) negerinya terutama minyak bakal dibagi banyak pihak di luar negeri yang merasa berjasa membantu “membumihanguskan“ negeri mereka dan melapangkan jalan “menghabisi“ sang diktator.
Pada ahad (23/10/2011) lalu, Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya secara resmi telah mengumumkan pembebasan negeri itu dari rezim Qadhafi. Ibarat kata pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelangan“, kegembiraan atas pembebasan dari rezim lama tercoreng oleh aksi yang terlalu didorong oleh aksi balas dendam tersebut, termasuk perlakuan atas mayat sang mantan dikator yang dipajang untuk umum di salah satu mall di kota Misrata.
Kota Misrata memang menjadi saksi utama keganasan brigade-brigade Qadhafi selama masa revolusi berdarah di Libya sehingga saat bekas orang kuat itu ditangkap hidup-hidup di salah satu lubang comberan di kota Sirte, seperti tikus yang sedang bersembunyi, mengingatkan publik negeri itu dan publik dunia pada umumnya kepada pidato Qadhafi sebelumnya yang menyebut rakyatnya jirdzaan (tikus). Penduduk kota Misrata yang dekat dari ibu kota Tripoli dihujani bom dan dibantai bagaikan tikus yang tidak berharga.
Barangkali itulah alasan utama mengapa jasad sang diktator yang kematiannya sampai saat ini masih menjadi misteri itu sengaja dilarikan ke kota tersebut agar dapat disaksikan oleh warga setempat. Cara-cara yang tidak Islami seperti itu sangat disayangkan karena bisa menjadi kontraproduktif di mata publik Muslim seluruh dunia dan akan tetap dicatat sebagai cacat abadi revolusi di negeri asal pahlawan besar Omar Mukhtar itu.
“Tidak ada yang menafikan perlakuan buas sang mantan dikator terhadap rakyatnya. Dia dikenal sebagai penjahat haus darah yang tidak segan-segan menyiksa dan membunuh rakyatnya yang tidak dijalan dengannya. Tapi hal ini tidak bisa menjadi dalih untuk memperlakukannya seperti ia memperlakukan rakyatnya, untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa NTC memang beda dengan rezim lama,“ antara lain kesimpulan beberapa komentar sejumlah analis Arab yang merasa terkejut dengan aksi tersebut.
Cara-cara yang tidak Islami dalam memperlakukan jasad tersebut dikhawatirkan akan menjadi inspirasi balas dendam para pengikut setianya di belakangan hari atau bahkan dari kelompok manapun yang tidak terpuaskan dalam pembagian kekuasaan mendatang. Terlebih lagi bila penguasa baru nanti ternyata lebih mengedepankan kepentingan Barat daripada aspirasi rakyatnya.
Membisu
Anehnya, Barat membisu melihat perlakuan yang menurut takaran mereka melanggar hak asasi manusia (HAM) itu. Tidak terdengar kecaman dari para pemimpin Barat tentang aksi oknum-oknum padahal selama ini bahkan hingga sekarang mereka tidak henti-hentinya “menceramahi“ negera-negara timur terutama dunia Arab dan Islam tentang HAM dan pentingnya penegakan hukum alias supremasi hukum.
Bayangkan saja, bagaimana reaksi mereka seandainya gerakan Hamas di Gaza terpaksa membunuh sandera tentara Israel, Gilad Shalit (yang telah dibebaskan pada 18 Ooktober lalu sebagai bagian dari barter tahanan Palestina) selanjutnya dipertontonkan bagi publik Gaza. Dipastikan, reaksi mereka tidak hanya sebatas kecaman bahkan akan semakin menjadi dalih untuk terus memenjarakan warga Gaza dan mendorong tentara zionis Israel untuk melakukan pembantaian baru sebagai balas dendam dengan mengatasnamakan mempertahankan diri.
“Karena itu, sejak semula kita memang meragukan campur tangan NATO di Libya bukan karena kita tidak ingin melindungi warga sipil dari kebuasan rezim Qadhafi tapi karena kita sadar bahwa intervensi ini bukan karena alasan kemanusiaan akan tetapi didasari kolonisasi dan kepentingan mereka sendiri lainnya,“ papar Abdul Bari Atwan, salah satu analis Arab yang mukim di London mengomentari kematian mantan diktator Libya itu.
Terlepas dari sikap Barat itu, banyak pihak tetap mengkhawatirkan bahwa karena “nila setitik“ itu akan berdampak panjang ke depan sebab aksi balas dendam bakal sulit terelakkan. Memang Qadhafi telah ditelan bumi dan mempertangungjawabkan segala penyelewengannya selama berkuasa lebih dari 42 tahun di alam ghaib, namun cara-cara memperlakukannya menjelang kematian dan saat telah menjadi jasad akan terus diingat.
Dikhawatirkan bahwa masih cukup banyak dari loyalisnya terutama kalangan sukunya yang akan melakukan perlawanan bawah tanah setelah ini. Apalagi nanti terbukti tokoh-tokoh baru Libya hanya mengendarai (memanfaatkan) kaula muda pejuang sejati untuk kebebasan dari sang diktator ternyata tidak lebih dari tokoh boneka untuk kepentingan Barat.
Pertumpahan darah bila demikian halnya, besar kemungkinan akan meletus lagi meskipun secara seporadis dan bisa saja berlangsung dalam jangka waktu lama yang dapat menimbulkan kehancuran dahsyat. Lihatlah pelajaran penting dari kasus Irak yang hingga hengkangnya pendudukan sekutu yang dijadwalkan pada akhir 2011 ini, tanda-tanda negeri itu akan stabil masih belum meyakinkan.
Libya dengan wilayah yang demikian luas sekitar 1,8 juta km2 (terbesar keempat di Afrika) dan penduduk yang sangat sedikit (sekitar 7 juta jiwa) tentunya tidak akan sulit bagi kelompok-kelompok yang ingin balas dendam atas kematian Qadhafi yang mengenaskan untuk melakukan aksinya. Inilah sebenarnya yang diinginkan Barat dan zionis agar setiap negeri yang telah mengalami revolusi rakyat terus berada dalam lingkaran setan kekerasan. Lihatlah Mesir pun dicoba diganggu lewat kerusuhan SARA, akan tetapi sejauh ini tidak berhasil.
Lalu siapa yang paling mengeruk keuntungan setelah ini? Jawabannya sangat mudah dan tidak perlu mencari kunci jawaban seperti ujian sekolah bahkan hampir semua orang pasti jawabnya serempak yaitu Barat terutama negara-negara yang terlibat langsung dalam serangan NATO. Tidak diragukan lagi bahwa tidak ada yang gratis, selain biaya perang harus ditanggung NTC nanti, juga berbagai macam pembagian “kue“ harus dilakukan sejalan dengan kepentingan Barat.
Diperkirakan lebih dari dari 160 milyar aset Libya yang disimpan di berbagai bank Barat dibekukan sementara hasil minyak negeri ini setiap tahun sekitar 50 milyar. Pemerintah Inggris misalnya dilaporkan telah memutuskan untuk mengambil alih fasilitas minyak Libya sehubungan rencana British Petroleum yang mengumumkan rencana untuk melanjutkan operasi di negara kaya minyak Afrika Utara itu.
Ketika para pejuang oposisi Libya mengambil alih Tripoli, ibukota Libya , negara -negara adidaya di dunia sudah bersiap-siap pula mengambil alih hegemoni atas negara Afrika itu dengan mengamankan kontrak. Mereka menggunakan dalih membangun kembali Libya sehingga perekonomian negara itu, akan kembali bergantung pada kekuatan hegemonik.
Sebelum awal revolusi di Libya pada bulan Februari, Libya menghasilkan sekitar 1 ,6 juta barel per hari. Libya merupakan negara produsen minyak terbesar ketujuh belas di dunia dan terbesar ketiga di Afrika. Namun, setelah enam bulan perang , produksi minyak negara itu berkurang drastis menjadi hanya 100 .000 barel per hari. Para ahli ekonomi dunia sudah memperhitungkan, dalam beberapa waktu tidak lama lagi, Britis Petroleum bisa mengeruk 1 juta barel per hari dalam beberapa bulan, sehubungan dengan rencana mereka untuk kembali ke Libya ketika situasi sudah memungkinkan.
Itu baru Inggris belum lagi negara-negara Barat lainnya seperti AS, Italia, Perancis dan negara Eropa lain yang aktif terlibat dalam serangan NATO. Sementara Rusia dan Cina serta negara-negara lainnya termasuk sejumlah negara Islam yang pernah menandatangani kontrak minyak dengan rezim lama kemungkinan bakal gigit jari.
Memang benar, aset berlimpah dari sektor minyak yang dimiliki Libya dapat mempercepat mengatasi banyak masalah pasca kejatuhan rezim lama. Akan tetapi kekayaan yang berlimpah ini tidak akan efektif sebagai jaminan stabilitas akan segera pulih apabila tidak dibarengi restorasi persatuan nasional dengan segera agar koeksistensi seluruh kabilah/suku dan daerah-daerah kembali normal serta jauh dari logika pemenang dan penyundang.
Bila semua aset itu atau sebagian besarnya justeru jatuh ke tangan negara-negara besar yang merasa berjasa membantu menjatuhkan rezim lama, kita khawatir seperti disebutkan sebelumnya, dapat terjadi perpecahan dan terperangkap dalam perang saudara meskipun Qadhafi telah tewas. Indikasi kekhawatiran ini sebenarnya sudah tampak seperti penguasaan senjata yang tak terkontrol, persaingan antara kubu Islamis dengan liberalis, persaingan antara wilayah barat dan timur. Kekhawatiran ini, juga sering terlontar dari ucapan sejumlah pemimpin NTC.
Sedikit menghibur
Pemandangan terakhir revolusi Libya yang terkesan kurang elok yang menyebabkan banyak publik sedih dan rasa was-was akan masa depan negeri Libya penghasil minyak terbesar ketiga di Afrika itu, sedikit terhibur dengan sukses pemilu perdana di Tunisia pasca kejatuhan diktator Zainal Abidin Ben Ali. Sukses pemilu Tunisia itu mengisyaratkan bahwa tuntutan perubahan di Arab bukanlah sekedar reaksi spontanitas akibat kondisi sosial ekonomi yang sangat buruk seperti yang selalu dikedepankan para analis Barat.
Pemilu di negeri zaitun itu menunjukkan bahwa tuntutan perubahan adalah opsi strategis melawan kelaliman dan korupsi yang mewarnai hampir seluruh negara-negara kawasan. Pemilu yang berlangsung Ahad (23/10) menunjukkan bahwa rakyat negeri ini tidak sudi kembali ke belakang (zaman pemerintahan otoriter) bahkan mengejutkan banyak pengamat yang sebelumnya memprediksikan hanya akan diikuti paling banyak 50 % saja dari total warga yang berhak memilih, akan tetapi terbukti sekitar 90 % angka partisipasi rakyat negeri perpenduduk sekitar 11 juta jiwa itu.
“Tunis sekarang menjadi perhatian karena sebagai contoh tekad rakyat yang menginginkan perubahan secara damai dimana dada telanjang berhasil mengalahkan gas air mana dan peluru hidup. Sekarang lebih memukau lagi karena mereka berbondong-bondong menyerbu TPS-TPS untuk membuktikan bahwa tuntutan perubahan bukanlah sesuatu kebetulan tapi pilihan rakyat dari semua kalangan,“ tulis sebuah koran Arab, Selasa (25/10/2011).
Tentunya publik Arab berharap sukses pemilu di Tunisia itu berpengaruh positif terhadap negara-negara Arab lainnya baik yang sudah sukses membukukan perubahan maupun yang masih dalam proses. Sementara menunggu pemilu perdana di Mesir pasca kejatuhan rezim Mubarak dan juga pemulihan di Libya, pemilu Tunisia membersitkan harapan akan suksesnya “musim semi“ di Arab yang akan membawa perubahan lebih baik bagi bangsa-bangsa kawasan.
Harapan seluruh bangsa Arab juga adalah sukses pemilu di Tunisia itu menjadi pembuka yang baik (faith kheir) bagi pemilu-pemilu jurdil lainnya di Mesir, Libya dan negara-negara Arab lain sehingga tercapai reformasi sesungguhnya yakni memberikan kesempatan bagi rakyat di kawasan untuk memilih wakil-wakil mereka sehingga tercapai program yang mendatangkan kesejahteraan dan memperkokoh stabilitas. Ma`assalamah (selamat tinggal) kediktatoran yang selama ini menyebabkan bangsa Arab terpuruk, itulah pesan dari pemilu itu.
Ada satu catatan penting lagi yang perlu dicermati bahwa jika bangsa di kawasan ini diberikan kebebasan memilih wakil-wakil dan program dari partai-partai peserta pemilu, tampaknya mayoritas akan memilih program yang berlandaskan ajaran agama yang mereka anut. Meskipun golongan terpelajar yang mengerti tentang ajaran Islam sesungguhnya, sebenarnya tidak banyak, namun penulis melihat bahwa alasan mayoritas bakal memilih program-program Islamis dikarenakan mereka telah membuktikan kegagalan konsep sosialisme dan kapitalisme selama ini yang hanya membawa kesengsaraan.
Karenanya, bukan suatu kejutan bila program partai Al-Nahdah Tunisia (Islamis) akhirnya mendapat suara terbanyak pada pemilu jurdil pertama di Tunisia itu yakni sekitar 30 % sesuai pengumuman hasil akhir Senin (24/10). Besar kemungkinan partai-partai yang mengusung program yang berlandaskan Islam di negara Arab lainnya, juga akan mendapat suara terbanyak nanti. Tentunya suara terbanyak itu bukanlah sekedar kemenangan akan tetapi sekaligus tantangan untuk membuktikan di lapangan tentang pengejawantahan konsep Islamis yang dapat membawa kesejahteraan bagi rakyat dan kejayaan bangsa Arab.*/Sana`a, 28 Zukqaidah 1432 H
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di San’ah, Yaman