PERJALANAN penulis kali ini dari Yaman, yang dikenal dengan negeri Sheba, ke Mesir yang dikenal pula dengan negeri Piramida atau Lembah Nil, bukan untuk liburan atau kunjungan biasa, namun salah satu bentuk pengabdian kepada adik saya tercinta, Dr. Musthafa Habibie, MA yang telah mendahului saya menuju Sang Kahliq Yang Maha Pengasih Penyayang.
Hujan sepanjang hari hingga menjelang keberangkatan pada dini hari, menyiram ibu kota Sana`a, Yaman. Seolah-olah air mata yang demikian deras mengiringi keberangkatan saya ke kota Kairo ditemani istri dan anak paling bungsu untuk melepas adikku tercinta ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Di Kairo, yang dikenal dengan sebutan kota seribu menara itu, adik tercinta melepaskan diri dari hiruk pikuk dan glamour dunia fana ini dengan keadaan tenang menuju haribaan Yang Maha Kuasa. Berita kepergiannya begitu mendadak, tapi salah seorang teman akrabnya warga Mesir, Ustaz Ashraf yang seangkatan dengannya saat menimba ilmu di Fakultas Usuluddin jurusan Hadis menceritakan bahwa tanda-tanda akan segera menghadap Allah sudah terasa sejak 2 minggu sebelum meninggal.
“Menjelang kepergiannya, saya sering ngobrol dengan Ustaz Habibie (demikian ia biasa memanggil adik saya) di mana ia sering menyinggung tentang sudah dekatnya ajal yang akan segera menjemput meskipun secara fisik ia dalam keadaan sehat. Paling tidak itulah salah satu pertama husnul khatimah, di samping mayatnya pun nampak seperti tertidur biasa,” katanya saat memberi ta`ziah selepas shalat jenazah yang saya imami.
Keterangan yang sama juga disampaikan oleh banyak teman almarhum dan mahasiswa di Kairo yang kenal akrab dengannya sambil menjelaskan bahwa almarhum adalah sosok yang memiliki jiwa membantu yang luar biasa yang sulit didapati dalam kehidupan post modern masa kini. Mereka hampir serempak berucap bahwa almarhum insya Allah dapat predikat Husnul Khatimah (akhir hayat yang baik).
Dengan air mata yang meleleh tanpa sadar, saya hanya bisa mengamini sambil mengingat sabda Rasulullah yang maksudnya “ketika usungan jenazah melewati para sahabat lalu mereka memuji kebaikan jenazah tersebut kemudian Nabi SAW bersabda: wajiblah, kemudian lewat jenazah lainnya lalu mereka menyebut keburukannya lalu Nabi bersabda: wajiblah. Sahabat Umar bertanya: apa maksud wajibah, lalu Rasulullah SAW bersabda: ini yang kalian sebut kebaikannya maka wajiblah baginya surga, dan ini yang kalian sebutkan keburukannya maka wajiblah baginya neraka karena kalian adalah para saksi Allah di muka bumi (HR Bukhari).”
Banyaknya rekan almarhum baik sahabat karib maupun sahabat biasa yang menyampaikan pujian kebaikan itu, tentu saya berharap dan berdoa dengan penuh kepasrahan hati kepada Yang Maha Pengampun agar adikku tercinta masuk golongan pertama hadis tersebut. Dalam kehidupan keseharian, memang banyak teladan yang ditinggalkan almarhum yang perlu saya contoh, terutama dalam pergaulan sesama hamba Allah dan jiwa penolongnya yang tanpa pandang bulu baik itu teman karib maupun teman-teman yang sering menyakitinya.
Kedatangan untuk mengurus jenazah itu di negeri Lembah Nil berlangsung menjelang puasa Ramadhan sehingga suasana puasa demikian kentara terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau materi seperti ramainya pusat-pusat belanja. Iklan-iklan sana-sini mewarnai pinggir-pinggir jalan dan gedung-gedung pencakar langit terutama iklan sinetron-sinetron terbaru yang biasa ditayangkan mulai bulan Ramadhan.
Rasanya tidak ada yang berubah dari tahun ke tahun sejak puluhan tahun belakangan ini di mana Nafahaat Ramadhaniyah (bau puasa) sudah dimonopoli oleh hal-hal yang bersifat materi, bahkan hiburan ketimbang nafahaat rohaniyah (yang bersifat rohani). Kaum muslimin di dunia Arab, dan bahkan mungkin dunia Islam umumnya menyambut meriah dengan tradisi baru yang tidak dikenal sebelumnya oleh para salaf saleh ataupun kaum muslimin, sebelum masa internet dan saluran TV satelit.
Tradisi lainnya yang hampir menyeluruh di seluruh dunia Islam adalah meningkatnya kebiasaan komsumtifisme yang terkesan berlebihan. Stasiun-stasiun TV satelit menjadi sarana iklan besar-besaran bagi produk makanan menjelang bulan Ramadhan tiba. Yang mungkin aktivitas yang agak beda dan mendatangkan banyak manfaat yang penulis rekam di kota Kairo adalah multaqa al-fikri (temu pemikiran) dengan menghadirkan banyak pakar muslim terkemuka untuk menyampaikan ceramah pencerahan bagi kaum muslimin.
Acara yang berlangsung setiap malam seusai shalat Tarawih itu, biasanya berlangsung di dalam kemah besar berisi 500-1000 orang. Yang terkenal di kota Kairo adalah multaqa yang diadakan di depan Masjid Husein dan Masjid Al-Azhar. Selainnya, nafahaat Ramadhan dimonopoli dengan hal-hal yang berbau keduniaan dan makin jauh dari tujuan puasa yang antara lain untuk menggembleng jiwa kaum muslimin menuju peningkatan ketakwaan.
Karena itu, biasanya sebelum Ramadhan tiba, bau puasa demikian terasa di negara-negara Arab dengan maraknya iklan-iklan sinetron terbaru dan menarik yang siap ditayangkan, terutama di malam Ramadhan hingga menjelang sahur agar mata siap melek sepanjang malam, sehingga seolah-olah waktu ditukar, malam menjadi siang dan siang menjadi malam (karena harus tidur pulas hingga siang hari).
Demikianlah, tradisi yang makin sulit untuk dihilangkan, bahkan cenderung makin “meriah” yang menyebabkan tujuan puasa tersebut makin sulit tercapai. Puasa akhirnya tak lebih sebatas menahan lapar dan dahaga, seperti anak sekolah dasar kelas satu atau dua yang sedang belajar berpuasa.
Saksi sejarah
Dalam perjalanan dari bandara ke rumah duka, yang menarik perhatian penulis sekaligus sedikit menghibur hati yang sedang sedih, walaupun ikhlas menerima keputusan terbaik dari Yang Maha Kuasa, adalah bermunculannya fanus atau jamaknya fawanis Ramadhan, yakni lampu tradisional abad pertengahan yang biasa menghiasi rumah-rumah di Arab khususnya di kota Kairo pada malam Ramadhan di abad pertengahan.
Toko-toko kerajinan hingga super market menjual fawanis tersebut. Harganya pun bervariasai mulai dari yang paling murah hingga yang mahal yang mencapai harga 100 hingga 200 dolar per buah. Dalam beberapa tahun belakangan ini banyak fawanis buatan Cina yang dijual lebih murah namun akhirnya kurang diminati lagi karena cepat rusak sehingga buatan lokal kembali memenuhi pasaran.
Bila dulu fanus dari nyala api berbahan bakar dari bahan-bahan minyak tradisional, seperti minyak zaitun sekarang ini telah dimodifikasi sehingga dapat dipasang balon listrik yang dijadikan hiasan rumah selama bulan puasa. Paling tidak itulah salah satu peninggalan yang masih diabadikan selama bulan puasa di kota negeri seribu menara itu dan beberapa negeri Arab lainnya.
Yang menarik perhatian penulis meskipun sudah cukup akrab dengan lampu tradisional itu, khususnya selama tinggal di kota Kairo sekitar tujuh tahun, bukanlah harga fanus tersebut. Tapi di balik kisah fanus itu yang menjadi saksi sejarah yang tersisa dari masa keemasan Islam di abad pertengahan.
Di tengah hiruk pikuknya suasana puasa yang diwarnai oleh pemutaran puluhan sinetron terbaru, yang sebagian bahkan diputar pada waktu-waktu yang semestinya dimanfaatkan untuk shalat tarawih, fanus ini membersitkan kenangan indah. Di antara sinteron yang banyak menyedot pemirsa pada bulan puasa ini yang bertemakan kritik sosial adalah Zahrah wa Azwajuha Al-Khamsah (Zahrah dan kelima suaminya), Ma Ash`ab al-Kalam (sulitnya berbicara) tentang kritik sosial di kawasan Teluk, Bab Al-Harah (pintu gang) edisi kelima.
Yang bertemakan komedi berisi kritikan sosial, juga antara lain yang terus bertahan selama 17 tahun adalah Tash Matash dari Saudi edisi ke-17, kemudian Baini Wa Bainak (antara aku dan kamu) edisi kelima. Sedangkan bertemakan sejarah Islam antara lain Al-Qaqaaq Amru At-Tamimi, Al-Jama`ah (tentang Ikhawnul Muslimin) dan Ma Malakat Aimanuk (budak-budakmu) dan masih banyak lagi sinteron lainnya terutama yang diproduksi Mesir, Suriah dan Libanon serta Kuwait.
TV alarabiya setiap hari mengkhususkan paket acaranya tentang komentar sinetron-sinetron terbaru tersebut yang berisi komentar dan kritik dari kalangan krotikus seni dan film. Tapi banyak pihak menilai paket khusus ini justeru sebagai bentuk promosi bagi sinetron-sinetron tersebut.
Bagi yang jeli dengan masih dipertahankan fanus-fanus Ramadhan tersebut seharusnya dapat menyadarkan kembali akan kekeliruan dalam menyambut bulan suci tersebut. Kekeliruan itu makin memperlebar kesenjangan jarak antara kaum muslimin dengan ajaran agamanya yang membuat umat Muhammad dewasa ini terus terpuruk akibat kesenjangan tersebut.
Fanus-fanus itu mengesankan bahwa meskipun kaum muslimin masa lampau dengan potensi yang tidak sehebat potensi saat ini, mampu menjadi pemimpin umat-umat di dunia dengan berbekal senjata utama yakni iman dan pelaksanaan syariat secara kaffah (totalitas).
Fanus-fanus Ramadhan ini seolah-olah menjadi saksi sejarah bahwa ketika kaum muslimin jauh dari senjata iman dan syariat agamanya, meskipun memiliki potensi yang sangat dahsyat, akan tetap sebagai umat yang terpuruk. Perumpaan yang sangat tepat seperti yang diprediksi Nabi SAW yakni umat bagaikan buih yang terombang ambing oleh ombak dan menjadi bulan-bulan umat-umat lainnya, bukan karena sedikit atau kelemahan potensi yang dimiliki tapi karena kelemahan iman akibat cinta dunia yang sangat berlebihan.
Kejutan Iran
Di tengah kesedihan melihat suasana Ramadhan akhir-akhir ini yang kebetulan berbarengan dengan kesedihan dengan kepulangan adik tercinta ke haribaan Ilahi pada Ramadhan tahun ini, sepulangnya dari Kairo sambil melepas lelah, penulis sempat memutar salah satu stasion TV Arab untuk mendengar berita terkini, setelah cukup lama selama di Kairo kurang berminat nonton berita yang isinya hanya membuat hati makin terasa teriris melihat kondisi umat Islam.
Salah satu berita yang cukup menghibur adalah tentang kemampuan Iran yang meskipun dalam status diembargo internasional namun mampu melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh banyak negara Islam lainnya yang tidak dalam status diembargo. Sejumlah media Arab menyebutnya “mufaja`ah Iraniyah askariyah” (kejuatan militer dari Iran), menyusul peresmian pesawat jet tanpa awak yang dinamakan Karar, sebutan bagi Imam Ali r.a.
Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, Ahad (22/8), meresmikan salah satu prestasi terbaru di bidang militer tersebut yang mampu terbang dan dilaporkan dapat membom sasaran-sasaran pada kecepatan tinggi. Kantor berita Fars mengutip pernyataan Menteri Pertahanan Ahmad Vahidi menyebutkan bahwa pesawat itu memiliki jangkauan terbang hingga 1.000 km.
Peresmian Karar itu dilakukan beberapa hari setelah Iran meresmikan empat kapal selam mini baru klas Gahdir buatan dalam negeri. Dengan bobot mati 120 ton, kapal selam “siluman” itu ditujukan untuk operasi-operasi di perairan dangkal, terutama di Teluk. Selain itu juga rudal antiradar tanpa sayap sirip yang tidak bisa diendus radar yang memiliki kecepatan tinggi yang disebut qiyam.
Ketua Badan Industri Penerbangan Kementerian Pertahanan Republik Islam Iran, Brigjen Sayid Mehdi Farahi menyatakan, “Rudal balistik Qiyam dapat diluncurkan dengan menggunakan berbagai launcher khusus dan proses persiapannya telah dilakukan secepat mungkin. Menyinggung ujicoba sukses rudal balistik Qiyam, Brigjen Farahi menegaskan bahwa produksi rudal ini membawa Iran memasuki tahap baru produksi rudal balistik.
Negeri Mullah itu dalam beberapa pekan ke depan diperkirakan akan melakukan serangkaian pengumuman militer bertepatan dengan peringatan “pekan pemerintah”, satu periode yang dimanfaatkan untuk mengumumkan prestasi-prestasi menonjol. Dalam periode ini Iran juga diperkirakan akan menguji coba generasi ketiga rudal Fateh 110 (Penakluk). Iran sebelummnya memamerkan satu versi Fateh 110 yang memiliki jangkauan tembakan 150 sampai 200 km.
Mungkin banyak pihak yang menilai bahwa serangkaian pengumuman prestasi bidang militer dan pertahanan itu adalah sebagai bagian dari perang urat syaraf untuk menyebarkan ketakutan di kalangan musuh (khususnya AS dan Israel) dan ancaman serangan balik dahsyat bila instalasi atomnya diserang yang sampai saat ini belum ada bukti dimanfaatkan untuk memproduksi bom atom seperti dituduhkan Barat.
Bila demikian adanya, tidak ada yang salah sebab perang urat syaraf adalah salah satu bagian dari perang yang memiliki pengaruh besar apalagi dalam menghadapi perang urat syaraf serupa yang akhir-akhir ini sering dilontarkan pula oleh AS dan Israel terhadap negeri Persia itu.
Catatan lainnya tentang prestasi militer Iran tersebut adalah, bisa saja kualitas produksinya tidak sehebat produksi negara-negara maju di bidang persenjataan, namun paling tidak dapat sebagai senjata penangkis menghadapi serangan luar. Sebenarnya keampuhan senjata Iran itu telah dibuktikan saat perang musim panas di Libanon pada 2006 ketika pejuang-pejuang Hizbullah mampu menghancurkan puluhan tank Merkava yang menjadi kebanggan Israel yang disebut paling unggul di dunia disamping penghancuran kapal perang negeri zionis itu di pantai Libanon.
Yang perlu dicatat untuk negara-negara Islam menyangkut “mufaja`ah askariyah Iraniyah” itu adalah ambisi negeri Mullah ini untuk memiliki kemampuan militer dan teknologi tercanggih lainnya seperti teknologi luar angkasa (yang telah dimulai sejak 2008), merupakan ambisi yang sah-sah saja selama digunakan untuk membela diri dari ancaman luar terutama AS dan Israel. Syukur-syukur bila suatu saat nanti dijadikan kartu penekan guna membela isu sentral umat Islam yakni isu Palestina.
Memang tidak dipungkiri adanya kekhawatiran negara-negara jiran atas upaya keras negeri Persia itu untuk mengembangkan kemampuan militer yang dinilai bukan hanya sebatas defensif tapi dapat menjadi kekuatan agresif. Namun untuk menghadapi kekhawatiran tersebut seyogyanya tidak dilakukan dengan cara mengundang pasukan asing untuk menyerang Iran, tapi saharusnya dengan melakukan langkah yang sama seperti Iran hingga suatu saat ini semua negeri kawasan itu berswasembada dalam persenjataan dan teknologi mutakhir agar diperhitungkan secara internasional sebagai salah satu kekuatan penentu.
Indahnya solidaritas
Prestasi demi prestasi yang dicapai Iran tersebut baik di bidang swasembada persenjataan mutakhir maupun teknologi antariksa diharapkan dapat mendorong tercapainya solidaritas dunia Islam yang sejatinya memiliki potensi besar baik di bidang sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
Sebagai penutup tulisan sederhana ini, kenangan lain yang tidak mungkin terlupakan selama hayat penulis adalah contoh kecil indahnya solidaritas yang telah diteladi masyarakat Indonesia yang tinggal di kota seribu menara Kairo. Mulai dari Duta Besar hingga rekan-rekan mahasiswa telah memperlihatkan solidaritas tinggi dalam proses pengurusan jenazah almarhum adik saya hingga pemulangannya bersama keluarga ke tanah air.
Di bawah pimpinan Dubes RI di Kairo, Bapak AM Fakhir yang kebetulan adalah senior saya di Pondok Modern Gontor, dibantu seluruh Staf KBRI Kairo di antaranya PF Protkons, Bapak Abdullah, PF Politik, Bapak Burhan, PF Konsuler, Bapak Tomas Siregar (meskipun namanya Tomas tapi beliau dikenal sebagai seorang muslim yang taat), Atase Pendidikan, Bapak Dr. Sangidu, dan hampir seluruh staf lainnya seperti Pak Djoko, Mang Hilman, Pak Subah, Pak Najib dan lainnya yang tidak sempat saya sebut semua, proses pemulangan jenazah berjalan cepat dan lancar.
Tidak lupa pula kerjasama dari Sekolah Indonesia Kairo (SIK) tempat almarhum mengajar yang dipimpin oleh Kepala Sekolah, Bapak Kamarullah, dibantu para guru lainnya seperti Bapak Fauzan, Bapak Suharto, Bapak Wied dan lainnya disamping rekan mahasiswa seperti Ustaz Taisir yang tidak bisa saya sebut namanya semuanya.
Solidaritas yang luar biasa tersebut sangat menghibur penulis saat keberangkatan almarhum dan keluarga menuju tanah air. Hampir dipastikan bahwa penulis sebagai keluarga yang ditinggalkan tidak akan pernah bisa membalas budi baik tersebut sehingga yang paling pantas sebagai imbalannya adalah doa dengan ucapan Jazakumullah Khairal Jazaa (Allahlah yang akan membalas dengan sebaik-baik balasan).
Kepada almarhum, saya melepasnya dengan ikhlas dengan harapan semoga saksi-saksi dari masyarakat Indonesia di Kairo tentang kebaikan almarhum akan melancarkan perjalan panjang menuju haribaan Sang Pencipta menuju surga sebagaimana firman-Nya “Hai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku (QS. Al-Fajar ayat 27-30).” [Sana`a, 15 Ramadhan 1431 H/hidayatullah.com]
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang berdomisili di Yaman