Meskipun sudah meraih kemerdekaan dari Indonesia, kasus Timor Timur ternyata belum selesai. Sejumlah perwira TNI sudah diadili dan dijatuhi hukuman yang beragam. Namun, Pengadilan Timor Timur, pekan lalu, atas dukungan PBB, mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Jenderal TNI (Purn) Wiranto, atas kasus kerusuhan yang melanda Timtim pasca jajak pendapat. Wiranto selama ini memang masih lolos, dan berulangkali menjadi isu internasional, bahwa namanya masuk daftar cekal pemerintah AS. Setahun lalu, Februari 2003, Jaksa penuntut umum PBB di Timtim sudah menuduh Wiranto melakukan kejahatan kemanusiaan di Timtim.
Terlepas dari kasus Wiranto, dalam kasus Timtim secara umum, Indonesia memang sangat patut dikasihani. Setelah dipaksa melepaskan Timtim, Indonesia terus dikejar soal Timtim. Pada tanggal 7 Desember 1975 ? hanya beberapa jam setelah Presiden AS Gerald Ford dan Menlu Henry Kissinger meninggalkan Jakarta — Tentara Indonesia menyerbu Timtim. Laporan Legislative Report Service dari Parlemen Australia melaporkan jumlah korban sekitar 100.000 orang. Ketika itu tidak ada jenderal atau pejabat Indonesia yang dituntut Padahal, New York Times, (13 Desember 1975) menulis: ?Indonesia is guilty of naked aggresion in its military seizure of Portuguese Timor.?
Indonesia masuk ke Timtim atas restu AS, sebagai bagian dari politik ?pembendungan komunis? Barat. Meskipun kalangan NGO internasional dan Gereja Katolik tidak pernah mendukung integrasi Timtim ke Indonesia, tetapi AS tetap mendukung Indonesia, dan tidak pernah mempersoalkan berbagai kebijakan Indonesia di Timtim. Henry Kissinger ketika itu menyatakan, ?AS memahami posisi Indonesia.? Pada tanggal 12 Desember 1975, MU-PBB mengeluarkan resolusi 3485 yang memerintahkan Indonesia menarik tentaranya dari Timtim. Sebanyak 72 negara mendukung resolusi itu, 10 menentang, dan 43 abstain, termasuk AS.
Pasca Perang Dingin situasi berubah. Setelah komunis runtuh, tahun 1990, Barat tidak lagi melihat komunis sebagai ancaman utama. Maka, posisi AS terhadap masalah Timtim pun sedikit demi sedikit berubah. Posisi Indonesia sama dengan posisi Yugoslavia yang selama bertahun-tahun digunakan sebagai ?buffer-zone? untuk membendung pengaruh komunis dari Utara. Para era pasca Perang Dingin inilah, kita melihat peran penting tokoh Katolik Timtim, Uskup Belo, dalam membebaskan Timtim dari Indonesia. Belo dengan cerdiknya memainkan isu agama dalam dunia internasional. Bahwa, yang terjadi di Timtim, bukan hanya soal pelanggaran HAM, tetapi islamisasi oleh orang Islam Indonesia dan juga pemusnahan orang-orang Kristen.
Pasca Perang Dingin, media massa Barat, rajin menyorot ancaman dan bahaya Islam. Majalah The Economist edisi 4 April 1992 menyorot perkembangan Islam yang dipandangnya makin hebat kekuatannya. ?One anti-westernism is growing stronger,? tulis majalah tersebut mengawali artikelnya.
Majalah Time edisi 15 Juni 1992 menjadikan tema kebangkitan Islam sebagai topik utama, dengan judul cover yang mencolok, ?Islam: Should the World be Afraid?. Yang mereka maksud dengan paham anti-Barat tak lain adalah Islam. Ada tiga gejala yang disorot sebagai bukti menguatnya paham anti-Barat itu. Pertama, perkembangan kaum fundamentalis Islam di negera-negera Arab. Kedua, kebangkitan Islam di negara-negara bekas Uni Soviet. Dan ketiga, perkembangan bank Islam.
Bisa dipahami, pada saat itu, isu Islamisasi dan ancaman terhadap kaum Kristen di Timtim yang dikampanyekan oleh Uskup Belo mendapat sambutan luas. Dalam beberapa kali kesempatan mengikuti perjalanan jurnalistik ke luar negeri, antara tahun 1996-1997, saya melihat bagaimana masalah Islamisasi di Timtim itu beberapa kali diangkat oleh wartawan Barat dalam acara jumpa pers dengan pejabat-pejabat pemerintah RI.
Yang lebih menarik, menurut Uskup Belo, Islamisasi di Timtim, difasilitasi oleh ABRI. Bertahun-tahun Uskup Belo berkampanye di luar negeri bahwa di Timtim terjadi Islamisasi. Padahal, fakta bicara lain. Yang terjadi di masa integrasi Timtim dengan Indonesia adalah Katolikisasi, bukan Islamisasi. Tahun 1972, orang Katolik Timtim hanya 187.540 dari jumlah penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang Katolik menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994, umat Islam di Timtim hanya 3,1 persen. Jadi dalam tempo 22 tahun di bawah Indonesia, jumlah orang Katolik Timtim meningkat 356,3%. Padahal, Portugis saja, selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim. Melihat pertambahan penduduk Katolik yang sangat fantastis itu, Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi Konferensi para Uskup Asia yang berpusat di Bangkok, menyatakan, ?Gereja Katolik di Timtim berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain mana pun di dunia.?
Namun, ironinya, Belo tak henti-hentinya menyebarkan isu terjadinya Islamisasisasi di Timtim, sehingga dalam tahun 1995 dan 1996 terjadi pengusiran besar-besaran warga Muslim dari Timtim. Tentang sikap Belo dan Barat ini, Prof. Bilver Singh, pakar politik Universitas Nasional Singapura mencatat: ?Dalam kerangka itu, yang tampak adalah berlangsungnya apa yang dikatakan ?Sindrom Perang Salib Lama?, di mana banyak negara Barat dan kelompok Kristen berupaya untuk membuat gambar negatif mengenai kebijakan Indonesia terhadap Timtim?Tuduhan-tuduhan jahat ini didorong oleh ketakutan, meski tak berdasar, bahwa benteng Kristen dan Katolik di Timtim akan dikepung oleh gerombolan-gerombolan Jawa Islam.?
Pasca jajak pendapat, Uskup Belo terus menekan Indonesia. Ia menyebut, kerusuhan pasca jajak pendapat itu sebagai ?genocide? dan setingkat dengan pembasmian etnis di Bosnia-Herzegovina dan Rwanda. Belo menyebut TNI sebagai pihak paling bertanggung jawab terhadap kasus itu. TNI, katanya, menaruh dendam karena gagal mempertahankan Timtim. ?Karena dendam itulah Timtim dibikin kacau tak karu-karuan,? kata Belo, dari tempat persembunyiannya di Lisabon.
Saat itu pun, Belo sudah menuntut agar persoalan itu di bawa ke mahkamah internasional. Suara Belo tentang Timtim ketika itu juga mendapat dukungan dari Vatikan. Siaran pers Vatikan pertengahan September 1999 memuat hal-hal yang dikampanyekan Belo, termasuk soal genocide atas bangsa Timtim.
Dan setelah Timtim merdeka, Sang Uskup juga terus berkampanye agar masalah Timtim di bawa ke mahkamah internasional. Pada 4 September 2002, Belo meminta dukungan internasional untuk menggelar pengadilan internasional bagi pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Permintaan itu diungkapkan Belo dalam surat yang dikirim ke pemerintah Timtim.
Surat Uskup Dili ini –selain dikirimkan ke pemerintah Timtim ? juga diedarkan dan dibacakan ke seluruh jamaah gereja Katolik sediosis Dili. Sejak tahun 1990-an, peran Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo dalam pemisahan Timtim dari Negara Kesatuan RI memang sangat besar. Namun, pemerintah RI belum pernah berani menindak Sang Uskup, sampai Timtim dipaksa lepas dari Indonesia. Tahun 1996, Belo menggoncang politik Indionesia dalam wawancaranya di Majalah der Spiegel edisi 14 Oktober 1996. Kepada majalah Jerman itu, Belo menyatakan, ?Tentara Indonesia telah merampas kemerdekaan dan menghancurkan kebudayaan kami, juga memperlakukan kami seperti anjing kudisan. Mereka tidak mengenal tata keadilan. Orang Indonesia memperlakukan kami seperti budak belian.? Judul berita itu sendiri adalah ?Sie halten uns wie Sklaven? (Mereka Memperlakukan Kami Seperti Budak Belian).
Pemerintah RI sangat berang dengan wawancara Belo itu. Menlu Ali Alatas sampai-sampai menemui Menlu Vatikan Mgr. Jean Louis Tauran di Roma dan menyampaikan keprihatinan Indonesia terhadap ucapan-ucapan Belo. Ketika itu, dalam pesawat kepresidenan dari Jakarta-Jordan-Roma, saya melihat bagaimana masalah Uskup Belo dan Timtim menjadi pembicaraan serius di kalangan pejabat-pejabat tinggi RI. Tetapi, posisi Uskup Belo sangat kuat, sehingga pemerintah Indonesia tidak berani menindaknya. Tetapi, hanya mengadukan ulah Uskup itu kepada bosnya di Vatikan. Bahkan, tahun itu juga, Uskup Belo dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian. Posisi Belo semakin naik, sebaliknya posisi Indonesia di mata internasional semakin jeblok.
Terlepas dari soal kasus para jenderal dan kemerdekaan Timtim, apa yang menarik kita simak dalam kasus ini adalah kegigihan seorang Uskup dalam membela jemaatnya. Ia tampak begitu bersemangat memperjuangkan nasib kaumnya. Harga nyawa kaumnya begitu tinggi di matanya. Meskipun hanya berpenduduk sekitar 700 juta jiwa, Timtim cepat meraih kemerdekaannya dari Indonesia, karena mereka khawatir dengan isu ancaman Islamisasi yang digulirkan Uskup Belo. Perlakuan Barat terhadap Timtim, sangat berbeda dengan nasib rakyat Palestina, yang 3 juta lebih rakyatnya kini masih hidup dalam pengasingan, dan PBB sendiri tidak pernah mengesahkan pendudukan Israel terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza. Tetapi, usaha pendirian negara Palestina masih belum jelas. Nasib Muslim Kashmir pun serupa. Sejak tahun 1948, PBB sudah meminta diadakan usaha penentuan nasib sendiri oleh rakyat Kashmir, tetapi India tidak pernah mau melaksanakannya. Kaum Muslim Kashmir yang jumlahnya sekitar 25 juta jiwa, masih tetap dibiarkan dijajah oleh India. Ratusan ribu kaum Muslim sudah terbunuh. Data Amnesty Internasional dan Asia Watch, menyebutkan, antara tahun 1990-1999, sekitar 71.204 rakyat Kashmir dibunuh oleh aparat India; sekitar 7.613 wanita menjadi korban perkosaan.
Kita berharap, tokoh-tokoh dan pemimpin Islam juga bersikap vokal dan bertanggung jawab terhadap berbagai kondisi yang dialami kaum Muslimin di berbagai belahan dunia. Baru-baru ini, 7 Mei 2004, misalnya, ribuan kaum Muslim di kota Yelwa, Nigeria, mengungsi dari kota itu, dan ratusan lainnya terbunuh diserang oleh milisi Kristen, seperti diberitakan Reuters. Siapa tokoh-tokoh dunia Islam yang membela kaum Muslim tersebut?
Padahal, kita ingat bagaimana di zaman Rasulullah saw, hanya gara-gara seorang wanita muslimah diganggu oleh kaum Yahudi Bani Qainuqa?, maka akhirnya terjadi perang antara Muslim dengan Yahudi tersebut. Alkisah, ketika itu, seorang wanita Muslimah datang ke pasar Bani Qainuqa’ dengan membawa perhiasan. Ketika ia sedang duduk menghadapi tukang emas, sejumlah Yahudi berusaha melihat muka si Muslimah, namun wanita muslimah menolak (Kisah lain menyebutkan, Yahudi di situ juga berusaha mencopot jilbabnya). Diam-diam, seorang Yahudi datang dari belakang dan mengikatkan ujung baju si muslimah pada sebatang pengikat. Ketika berdiri, tampaklah aurat muslimah. Mereka beramai-ramai menertawainya, dan wanita itu menjerit-jerit.
Seorang laki-laki Muslim yang lewat disitu segera menerkam tukang emas Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi lain berdatangan dan membunuh Muslim tersebut. Segera Nabi Muhamad SAW mendatangi Yahudi Bani Qainuqa’ dan mengingatkan mereka, agar memelihara perjanjian damai yang sudah disepakati. Jika tidak, ancam Nabi, maka mereka akan mengalami nasib seperti kaum Quraisy yang kalah dalam Perang Badar. Ancaman Nabi SAW itu malah dilecehkan. Mereka katakan, “Hai Muhammad, jangan kau tertipu karena kau sudah berhadapan dengan suatu golongan yang tidak punya pengetahuan berperang sehingga engkau mendapat kesempatan mengalahkan mereka. Tetapi, kalau sudah kami yang memerangi kau, niscaya akan kau ketahui, bahwa kami inilah orangnya.”
Maka tidak ada pilihan bagi Nabi SAW kecuali memerangi mereka. Setelah dikepung selama 15 hari, Yahudi Bani Qainuqa’ menyerah. Seluruh Bani Qainuqa’ diusir dari Madinah, dan kemudian mereka menetap di daerah Syam (Syiria).
Sekarang, kita juga bisa melihat, bagaimana kaum Yahudi terus memburu para pelaku ?holocaust? dan menuntut diberlakukannya sanksi terhadap para pembantai Yahudi di tahun 1940-an itu. Baru-baru ini, pada tanggal 5 Mei 2004, pemerintah Jerman menyerahkan dana 12 juta Euro untuk korban pembantaian kaum Yahudi (holocaust) yang masih selamat. Israel Singer, Presiden Komite Klaim Holocaust, menyatakan, bahwa keputusan pemerintah Jerman itu merupakan ?langkah pertama yang penting?. Jadi, meskipun sudah puluhan tahun berlalu, tuntutan mereka terhadap pelaku holocaust tidak pernah dihapuskan.
Kita bisa bertanya, mengapa Indonesia tidak menuntut Westerling, Van den Bosch, Van der Capellen, dan para penjajah dan pembantai rakyat Indonesia? Indonesia juga sama sekali tidak menyatakan, bahwa mereka masuk ke Timtim atas restu dan dukungan AS. Kasihan betul nasib bangsa Muslim terbesar ini. Di suruh masuk ke Timtim, masuk saja. Disuruh pergi, ya pergi saja. Padahal, selama puluhan tahun, Indonesia menyatakan, bahwa Timtim adalah bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan RI. Dicurangi dalam jajak pendapat tahun 1999, ya diam saja. Malah dengan segera mengakui bahwa jajak pendapat itu sah. Itulah nasib bangsamu, wahai Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, Hamzah Haz, Amien Rais, atau siapa saja yang mau jadi Presiden RI 2004-2009! Sanggupkah Anda mengubah kondisi bangsamu, dari bangsa yang terhina menjadi bangsa mulia? Jika tidak sanggup, untuk apajadi Presiden? Wallahu a?lam. (KL, 12 Mei 2004).