Senin, 28 November 2005
Oleh: Adian Husaini
Harian Republika, Jumat (27/11/2005), hal. 20, memuat berita berjudul: “Depag Kaji Buku Jihad Radikal”. Dalam berita ini tertulis: “Terkait dengan rencana pelarangan buku-buku tentang jihad, menyusul munculnya aksi terorisme berkedok perjuangan suci Islam, Departemen Agama (Depag) RI, saat ini terus melakukan kajian mendalam terhadap buku-buku yang telah beredar.”
Sekjen Depag, Faisal Ismail, seperti dikutip dalam berita itu, menjelaskan, ayat-ayat yang dipakai dalam buku-buku jihad yang cenderung radikal ini, biasanya yang melegitimasi tindak kekerasan. Kata Faisal: “Inilah yang harus diberikan pencerahan kepada generasi muda sehingga mereka tidak gampang terjebak dalam radikalisme yang menyesatkan.”
Selanjutnya, Republika juga menulis: “Menyinggung pembentukan tim penanggulangan ajaran radikalisme Islam yang dibentuk Depag dan Mejelis Ulama Indonesia (MUI), Faisal mengakui jika tim yang digagas dalam pertemuan antara ulama, MUI, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini tidak akan bersifat operasional lapangan seperti halnya tim penanggulangan lainnya.”
Dari pernyataan Sekjen Depag itu, bisa diambil kesimpulan, bahwa radikalisme Islam adalah ajaran terlarang, sehingga buku-buku yang mengandung ajaran radikal Islam, akan dilarang beredar di pasaran, dan ditarik dari peredaran.
Pernyataan Sekjen Depag itu hanyalah sebagian dari rangkaian besar gelombang penyebaran opini melalui media massa yang mengkaitkan masalah terorisme dengan radikalisme. Bahwa, terorisme yang dilakukan oleh kelompok Azahari dan kawan-kawan adalah buah dari pemahaman radikalisme Islam. Karena itu, untuk mencegah terorisme, ajaran radikalisme harus dilarang. Itulah logika yang selama ini mencoba hendak dibangun.
Masalahnya, sebagaimana dalam wacana ‘terorisme’, ‘fundamentalisme’, ‘militan’, para peneliti masalah sosial keagamaan, akan selalu terbentur pada soal ‘definisi’. Apa dan siapa yang disebut ‘radikalisme’?
Definisi ini sangat penting, agar jangan salah dalam memberikan cap, sehingga menimpakan kezaliman. Orang yang dizalimi doanya maqbul. Tidak ada hijab lagi antara dirinya dengan Allah. Jangan sampai para ulama itu salah membuat definisi dan membuat cap teroris atau radikal.
Karena itu, para ulama dan pejabat yang tergabung dalam Tim Penanggulangan Terorisme Depag saat ini memikul amanah yang sangat berat – yang nyaris impossible — untuk membuat definisi tentang “terorisme” dan “radikalisme”.
Dalam soal terorisme, misalnya, dunia Islam masih belum sepakat dengan dunia Barat dalam merumuskan, siapa yang sebenarnya teroris: Hamas atau Israel?
Pada 11 September 2003, Harian terkemuka di Timur Tengah, Al–Syarqul Ausat, menulis, bahwa setelah dua tahun peristiwa 11 September 2001 berlalu, AS masih belum mampu mengatasi aksi terorisme.
Bahkan perluasan konsep terorisme yang dipegangnya menciptakan banyak masalah baru. “Dua tahun setelah peristiwa 11 September seharusnya AS sadar bahwa konsep terorisme yang dipegangnya tidak relevan dan harus mendengar usul dunia Arab sebab terbukti AS makin kepayahan menghadapi aksi tersebut,” demikian Al-Sharqul Awsat.
Diingatkan, agar AS mendengar usul dunia Arab untuk menyepakati terlebih dahulu definisi dan maksud dari terorisme. “Usul Arab agar terlebih dahulu menentukan definisi terorisme yang disetujui dunia adalah salah satu cara untuk keluar dari perang jangka panjang dan melelahkan. Kita berharap agar kejadian di Iraq menyadarakan kelompok konservatif di Washington,” demikian laporan harian terbesar Arab itu.
Yang sering terjadi, seperti disindir oleh Prof. Edward S. Herman, guru besar di Universitas Pennslyvania, dalam bukunya The Real Terror Network (1982), dunia mengutuk ‘retail violance’ (kekerasan eceran) tetapi mendiamkan ‘wholesale violance’ (kekerasan borongan) yang diusung oleh kekuatan negara, semata-mata hanya karena faktor ketidakberdayaan. Ahmad Yassin dicap sebagai teroris dan militan oleh Israel. Karena itu, ia boleh dibunuh kapan saja. Tanpa pertanggungjawaban apa-apa.
Radikalisme
Sama halnya dengan wacana ‘terorisme’, wacana ‘radikalisme’, ‘fundamentalisme’, dan ‘militan’, juga sangat rumit dalam lapangan akademis. Apalagi, makna suatu istilah juga bisa mengalami perkembangan.
Di masa penjajahan Belanda, istilah ‘radikal’ bermakna positif. Dalam disertasinya di Utrecht, Belanda, Adnan Buyung Nasution mencatat, pada tahun 1918, di Indonesia dibentuk apa yang disebut sebagai “Radicale Concentratie”, yang terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, dan Indische Sociaal Democratische Vereniging. Tujuannya untuk membentuk parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat.
Saat ini, tentu saja, wacana radikalisme sudah sangat berbeda dengan dulu. Apalagi jika ditambahi dengan kata ‘Islam’, menjadi ‘radikal Islam’ atau ‘Islam radikal’. Siapa yang mendapat cap itu, ,maka sudah mendapatkan stigma kejahatan. Tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sudah menerbitkan hasil penelitiannya dalam bentuk sebuah buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” (Penyunting: Jamhari dan Jajang Jahroni).
Ada empat kelompok yang mendapat cap “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir.
Dalam pengantar buku ini ditulis: “Meskipun dalam beberapa tahun terakhir Indonesia dilanda fenomena gerakan salafi radikal, tetapi ternyata, survei membuktikan, bahwa mayoritas Muslim masih setia dengan ideologi Islam yang moderat dan toleran.”
Dari kalimat tersebut bisa diambil mafhum mukhalafah, bahwa FPI, Laskar Jihad, MMI, dan Hizbuttahrir tidak moderat dan tidak toleran. Jadi, sesuai hasil penelitian UIN Jakarta itu, FPI, Laskar Jihad (sudah membubarkan diri), MMI, Hizbuttahrir,bisa jadi tinggal tunggu waktu untuk diberangus.
Yang menarik adalah kriteria ‘Islam radikal’ yang disebutkan dalam buku ini: (1) kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. (4) Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.
Tentang ideologi ‘Islam radikal’, buku ini mengutip pendapat John L. Esposito (dari bukunya, Islam: The Straight Path). Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat.
Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materislistis harus ditolak. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ‘kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial.
Keempat, karena idelogi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, juga harus ditolak. Kelima, mereka tidak
menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final.
Keenam, mereka berkeyakinan, bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.
Jadi, anda, organisasi anda, atau siapa pun juga, yang merasa punya kriteria idelogi semacam itu, siap-siaplah dicap sebagai ‘Islam radikal’, ‘Islam fundamentalis’, ‘Islam militan’, ‘Islam revivalis’, ‘Islam literalis’, dan sebagainya. Dengan kriteria semacam itu, PKS, MUI, DDII, PBB, Hidayatullah dan sederet organisasi Islam lainnya dengan mudah bisa dimasukkan kategori ‘Islam radikal’, karena bersikap kritis terhadap pandangan hidup Barat dan meyakini pandangan hidup dan sistem Islam sebagai solusi kehidupan umat manusia.
Dengan rumitnya perumusan definisi ‘terorisme’ dan ‘radikalisme’, sebaiknya ulama, cendekiawan, pejabat lebih berhati-hati dalam menggunakan istilah tertentu.
Jika belum paham, sebaiknya ngaji lagi dan memikirkan masalahnya dengan tenang. Soal pelarangan buku misalnya. Di Indonesia, paham komunisme sudah resmi dilarang melalui Tap MPR. MUI sudah resmi mengharamkan sekularisme. Toh, buku-buku yang mempromosikan komunisme dan sekularisme beredar bebas.
Kita sangat menyesalkan pemahaman dan aplikasi jihad yang keliru oleh sejumlah pelaku Bom Bali. Tapi, masalahnya kemudian jangan ditarik kemana-mana, tanpa batasan ilmiah yang jelas. Jika mau berburu teroris, baiknya bicara masalah terorisme saja.
Jika berburu Jamaah Islamiyah, baiknya bicara tentang Jamaah Islamiyah saja. Karena itu, mungkin ada baiknya, Tim Penanggulangan Terorisme Depag, diganti namanya menjadi ‘Tim Penanggulangan Jamaah-Islamiyah” atau ‘Tim penanggulangan Kelompok Dr. Azahari .’’
Jangan sampai para ulama yang ada di Tim itu masuk perangkap strategi global ‘perang melawan Islam’, sebagaimana dirumuskan ilmuwan ‘neo-orientalis’ Samuel P. Huntington, dalam bukunya, Who Are We? (2004).
Dalam buku ini, Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs. America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS.
(This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War. Muslim hostility encourages Americans to define their identity in religious and cultural terms, just as the Cold War promoted political and creedal definitions of that identity).
Upaya pemerintah melibatkan ulama dalam penanggulangan masalah terorisme merupakan hal yang baik, agar jangan sampai perang melawan terorisme diseret menjadi perang melawan Islam, yang ingin mengadu domba antar umat Islam, sehingga akan
berdampak pada pelemahan bangsa.
Para ulama dan pemerintah juga perlu menyadari, jangan sampai isu terorisme ini melenakan bangsa ini dari masalah dan akar masalah yang sebenarnya, mengapa bangsa ini terpuruk. Jangan sampai ada kesimpulan, bahwa BBM mahal, pendidikan melangit, harga-harga kian mencekik, lapangan pekerjaan kian menyempit, korupsi sulit diberantas, pemborosan harta negara terus berkelanjutan, pornografi dan narkoba masih merajalela, semua itu terjadi gara-gara ulah Dr. Azahari.
Karena itu, kita berharap dan mengimbau, sebaiknya Nordin M. Top segera menyerahkan diri kepada polisi, mempertanggungjawabkan perbuatannya, memberikan penjelasan secara terbuka, dan membuka semua cerita misteri dibalik tragedi dan drama tentang aksi-aksi bom yang terjadi. Apa motif dan tujuan sebenarnya.
Itu perlu dilakukan oleh Nurdin M. Top, agar masalah ini cepat tuntas. Daripada bunuh diri, lebih baik menyerahkan diri dan beragumentasi di depan televisi. Juga, agar umat Islam Indonesia tidak menjadi korban stigmatisasi dan kambing hitam dari persoalan bangsa. Wallahu a’lam. (Jakarta, 27 November 2005/hidayatullah.com).
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini adalah kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com