Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | Joseph F. OCallaghan, dalam bukunya, A History of Medieval Spain, (London: Cornell University Press, 1975), menulis, bahwa setelah kejatuhan Granada, 30 Maret 1492, kaum Muslim Spanyol dibaptis secara paksa. Cisneros, seorang Uskup di Granada, pada 1499 memerintahkan pembakaran al-Quran dan memaksa sekitar 50.000 Muslim untuk masuk Kristen. Pada 11 Februari 1502, Raja Ferdinan dan Ratu Isabella mengeluarkan sebuah keputusan (edict) yang menginstruksikan seluruh Muslim untuk masuk Kristen atau meninggalkan Spanyol. Sebagian besar Muslim terpaksa menjadi Kristen (moriscos). Puncak pengusiran Muslim terjadi pada abad ke-17.
Kejatuhan Granada menjadi titik balik perburuan Muslim di berbagai bagian dunia. Mereka disebut “Moors dan dianggap sebagai penghalang bagi misi Kristen. Alfonso DAlbuquerque menaklukkan Malaka tahun 1511 dengan semboyan ‘Military Crusading Order of Christ . (IJ Maureen K.C. Chew, dalam buku The Journey of the Catholic Church in Malaysia (1511-1996), (Kuala Lumpur: Catholic Research Center, 2000). Sesaat setelah mendarat di Ambon, Maluku, 1546, St. Francis Xavier (Fransiskus Xaverius) menulis surat kepada seorang temannya di Goa, menggambarkan kondisi Muslim di sana.
Menurut Fransiskus Xaverius, kaum Muslim tidak tahu tentang agama mereka. Ia menyebut ‘Islam’ sebagai sekte jahat Muhammad. Fransiskus optimis, jika dikirimkan misi ke Maluku, maka kaum Muslim akan bisa dihancurkan dalam waktu singkat. (The best thing about these Moors is that they know nothing about their erroneous sect. For want of one to preach the truth to them, these Moors have not become Christians If a dozen of them came each year, this evil sect of Mohammed would be destroyed in a short time. All would become Christians, and God our Lord would thus not be so much offended as he is now, since there is no one to reproach them from their vices and sins of infidelity. (Adolf Heuken SJ, Be my Witness to the Ends of the Earth!: The Catholic Church in Indonesia before the 19th Century, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2002).
Stephen Neill, dalam bukunya A History of Christian Missions, (New York: Penguin Books, 1964), menyebutkan, bahwa Fransiskus Xaverius adalah pengikut pertama Ignatius Loyola, pendiri Serikat Jesuit. Ia dipandang sebagai misionaris Katolik paling terkenal dan terbesar dalam sejarah. Ia pergi ke India tahun 1542, bukan sebagai misionaris biasa tetapi sebagai perwakilan Raja Portugal yang dipersenjatai secukupnya. Pada saat yang sama, sebagai sebagai utusan resmi Gereja (Apostolic Nuncio), ia mendapat otoritas yang sangat besar dari Paus.
***
Apakah semangat Fransiskus Xaverius ini yang mengilhami pemilihan nama Paus Fransiskus oleh Kardinal Bergoglio? Usai terpilih sebagai Paus baru, 14 Maret 2013, Jorge Mario Bergoglio mengakui, pemilihan nama Fransiskus adalah sebagai penghargaan terhadap dua orang kudus Katolik, yaitu Santo Fransiskus dari Asisi serta Santo Fransiskus Xaverius.
Banyak media mengaitkan pemilihan nama itu terkait dengan kesederhanaan gaya hidup Paus Fransiskus dan kedekatannya dengan kaum miskin. Santo Fransiskus dari Asisi (lahir 5 Juli 1182) dikenal dengan sikap hidup kepapaan mirip pertapa dan juga keberaniannya dalam menjalankan misi terhadap kaum Muslim. Bagi kaum Katolik, sosok Santo Fransiskus dari Asisi ini memang legendaris. Di Indonesia ada sebuah seminari bernama Seminari Santo Fransiskus berlokasi di Sibiru-biru no. 01, Delitua Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara. Pada 25 Januari lalu, blog seminari ini menyiarkan sebuah artikel bertajuk Misi ke Tengah Kaum Muslimin Menurut St. Fransiskus Asissi. (http://seminarisantofraniskus.blogspot.com/2013/01/misi-ke-tengah-kaum-muslimin-menurut-st.html).
Menurut artikel ini, Fransiskus Asisi adalah orang pertama yang meletakkan dasar hidup religius dalam hubungannya dengan misi ke tengah kaum muslimin. Pandangannya tertuang dalam Anggaran Dasar Tanpa Bula pasal 16, yang diberi judul Mereka yang Pergi ke Tengah Kaum Muslimin dan Orang tak Beriman. Pasal ini menyatakan:
“Tuhan berfirman: Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala. Sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan bersahaja seperti merpati. supaya orang percaya akan Allah yang mahakuasa, Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, pencipta segala sesuatu, dan akan Putera, penebus dan penyelamat, dan supaya dibaptis dan menjadi kristen; sebab siapa yang tidak dilahirkan kembali dari air dan Roh Kudus, tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
Diserukan juga kepada kaum Katolik:
“Di mana pun semua saudara berada, hendaklah ingat bahwa mereka telah menyerahkan diri dan memasrahkan tubuhnya kepada Tuhan Yesus Kristus. Maka Demi cinta kasih kepada-Nya mereka harus siap menyerahkan diri kepada musuh, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan; sebab Tuhan berfirman: Siapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya untuk hidup yang kekal.
Para saudara yang diutus, entah ke mana pun itu, harus menyadari bahwa mereka menyerahkan diri dan memasrahkan hidup kepada Yesus Kristus. Dan karena kasih kepada Kristus itu, mereka harus siap menyerahkan diri kepada musuh baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan Bermisi berarti menghadapi bahaya, berani mati, mengalami penderitaan seperti Yesus.
Demikian pedoman misi untuk kaum Muslim dari Santo Fransiskus Asisi yang mungkin sangat menginspirasi Paus Fransiskus. Sebuah situs (http://indonesia.ucanews.com/2013/03/18), menyebutkan, bahwa Paus Fransiskus akan memfokuskan perhatian pada Gereja di daerah-daerah misi, ketimbang di Eropa dan Barat yang jumlah anggota Gereja terus menyusut. Fernando Kardinal Filoni, Prefek Kongregasi Evangelisasi, mengatakan dalam pertemuan staf bahwa Paus Fransiskus telah menentukan visinya bagi Gereja di daerah-daerah misi, demikian sebuah laporan oleh kantor berita Vatikan Fides. Menurut Kardinal Filoni, pesan pertama Paus itu adalah pergi keluar merangkul mereka yang membutuhkan, dan mewartakan Injil.
***
Gereja Katolik telah belajar dari sejarah. Dalam Konsili Vatikan II (1962-1965), Gereja mengubah cara pandang terhadap Muslim dan pemeluk agama lain. Dalam dokumen Konsili II, Nostra Atetate, disebutkan: Dengan penghargaan, Gereja memandang juga kepada umat Islam, yang menyembah Allah yang Mahaesa, Yang hidup dan ada, Yang Mahapengasih dan Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi Mengingat bahwa dalam peredaran jaman, telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak sedikit antara orang Kristen dan Islam, maka Konsili Suci mengajak semua pihak untuk melupakan yang sudah-sudah, dan mengusahakan dengan jujur saling pengertian dan melindungi lagi memajukan bersama-sama keadilan sosial, nilai-nilai moral serta perdamaian dan kebebasan untuk semua orang. (Lihat, Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II (Oleh Dr. J. Riberu), Jakarta, Dokpen MAWI, 1983).
Pada pekan kedua, Maret 2000, Paus Yohannes Paulus II secara terbuka menyatakan permintaan maaf kepada pemeluk berbagai agama atas kesalahan yang pernah dilakukan kaum Katolik di masa lalu. We ask pardon, kata Paus, for the division among Christians; for the violence which some of them used in the service of the truth; and for attitudes of diffidence and hostility adopted towards followers of other religions. (John Cornwell, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul IIs Papacy, (London: Penguin Books Ltd., 2005).
Meskipun sudah menyatakan permintaan maaf dan menghormati kaum Muslim, tetapi itu tidak berarti misi untuk membaptis kaum Muslim dihentikan. Sejarah misi kepada kaum Muslim dipelopori oleh tokoh-tokoh misionaris seperti Peter the Venerable (1094-1156M), Raymond Lull (c.1233-1315), Fransiskus Asisi, Henry Martin, Samuel Zwemmer, Paus Gregorius XV, Paus Urbanus VIII (1623-1644), Thomas the Jesus (Thomas a Jesu), dan seterusnya.
Dalam dokumen The Decree on the Missionary Activity of the Church (ad gentes), Konsili Vatikan II (1962-1965) disebutkan: “Landasan karya misioner ini diambil dari kehendak Allah, Yang menginginkan bahwa semua manusia diselamatkan dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Perantara antara Allah dengan menusia yaitu Manusia Kristus Yesus, Yang menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim 2:4-6), dan tidak ada keselamatan selain Dia (Kisah 4:12). Maka haruslah semua orang berbalik kepada Dia, Yang dikenal lewat pewartaan Injil, lalu menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja, yang adalah Tubuhnya, melalui pemandian Oleh sebab itu, karya misioner dewasa ini seperti juga selalu, tetap mempunyai keampuhannya dan tetap diperlukan seutuhnya). (Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II).
Tentang Islam, Paus Yohannes Paulus II dengan tegas menyatakan: Islam is not a religion of redemption. Islam bukan agama penyelamatan, kata Paus. Sebab, menurutnya, dalam Islam, tidak ada ruang untuk salib dan kebangkitan (there is no room for the Cross and the Resurrection). Tentang konsep Tuhan dalam Islam, Paus menyatakan: a God outside of the world, a God who is only Majesty, never Emmanuel (God-with-us). (The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul IIs Papacy, 195-198).
Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, yang bertajuk Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan: Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan kepada para bangsa (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner Gereja kepada orang-orang non-Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu sudah merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.
Kini, kaum Muslim menunggu, bagaimana cara Paus Fransiskus akan menjalankan misi Gereja kepada kaum Muslim? *
Direktur ATTAQWA College Depok