Oleh: Adian Husaini
Situs ww.hidayatullah.com, 26 April 2007, melaporkan sebuah peristiwa penting yang terjadi di IAIN Surabaya. Peristiwa itu adalah sebuah seminar dengan tema ‘’Islam dan Pluralisme’’; bertempat di ruang sidang rektorat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, pada Rabu, 25 April 2007. Hadir dalam acara tersebut empat nara sumber, yaitu Budhy Munawar-Rachman dari Universitas Paramadina (Program officer Islam and Civil Society The Asia Foundation), Dr. Masdar Hilmy, MA (dosen IAIN Surabaya) Prof. Dr. H. Syafiq A. Mughni, MA (Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur) dan Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si (Purek II IAIN Surabaya).
Seminar yang dihadiri sekitar 70 orang tersebut mendiskusikan urgensi pluralisme dalam situasi global saat ini, terutama dalam konteks ke-Indonesia-an yang multikultural. Dalam makalahnya, Budhy Munawar-Rachman, penulis buku “Islam Pluralis” menyatakan bahwa sekarang ini, pluralisme dan dialog antaragama menjadi agenda yang semakin penting untuk direalisasikan, terutama di kalangan ahli agama.
Menurut Budhy, seminar kali ini merupakan langkah awal selama satu semester ini. Puncaknya nanti akan digelar sebuah pertemuan mahasiswa IAIN, STAIN dan UIN di seluruh Indonesia yang akan membahas tentang pentingnya pluralisme di Indonesia, demikian pemaparan Budhy Munawar-Rachman dalam prolog penjelasannya.
Dalam makalahnya yang berjudul “Pluralisme dan Dialog Antar Agama Dalam Sejarah Islam” Budhy mengatakan, bahwa secara eksplisit, al-Quran menegaskan bahwa Islam adalah penerus agama (millah) Ibrahim (QS 6 :161). Penegasan ini mengandung gagasan bahwa Islam tidak hanya mempunyai keterkaitan sejarah, tetapi juga titik-titik temu, dengan Yahudi dan Kristen yang berasal dari leluhur yang sama, yaitu millah Ibrahim.
Budhy memuji sikap mahasiswa IAIN dibandingkan mahasiswa kampus umum. Kata dia:
“IAIN jauh lebih progresif dan modernis di bandingkan dengan kampus-kampus umum yang cenderung konservatif dan emosional.” Pujian Budhy itu disambut tepuk tangan meriah para mahasiswa IAIN Surabaya.
Pandangan Budhy terhadap QS 6:161 adalah aneh. Ayat al-Quran itu menyebutkan, ”Katakanlah, sesungguhnya aku telah diberi petunjuk akan daku oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus. Agama yang teguh, agama Ibrahim yang hanif, dan tidaklah dia itu dari orang-orang musyrik.”
Dalam pandangan Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, yakni Islam, adalah kelanjutan dari millah Ibrahim, yang susbtansinya adalah tauhid. Karena itu, Judaisme (agama Yahudi) dan agama Kristen dipandang oleh Islam sebagai agama yang menyimpang dari agama Ibrahim, sebab Yahudi dan Kristen tidak bisa disebut agama Tauhid. Mereka tidak bisa memelihara agama tauhid karena mereka menolak untuk mengakui kenabian Muhammad saw. Karena itu, al-Quran menegaskan, bahwa ”Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan buka (pula) Nasrani, tetapi dia adalah seorang hanif dan muslim, dan sekali-kali dia tidak termasuk golongan musyrik.” (QS 3:67). Para ulama pengkaji agama-agama dulu membagi agama ke dalam dua golongan: agama yang haq dan agama yang menyimpang. Al-Biruni (973-1051 M), misalnya, selama 9 tahun melakukan penelitian di India dan kemudian menulis satu kitab berjudul ”Kitab al-Hind”. Di sini, al-Biruni – yang juga dikenal sebagai pakar fisika, astronomi, matematika, dan sebagainya – menulis: ”Fainna maa ‘adaa al-haqq zaaigh.” (Bahwa selain agama yang haq (Islam) adalah agama yang menyimpang).
Selanjutnya, seperti diberitakan hidayatullah.com, Dr. Masdar Hilmy banyak mengecam MUI yang telah mengeluarkan fatwa haramnya paham Pluralisme Agama. Dosen IAIN Surabaya lulusan Mellbourne University ini menulis makalah berjudul “Pluralisme Keberagamaan di Tengah Perebutan Kuasa”. Ia berpendapat bahwa keberadaan MUI yang disponsori pemerintah, sejatinya menjadi titik rawan bagi masuknya sikap-sikap intoleran terhadap perbedaan keyakinan dalam Islam.
Lebih lanjut dalam makalahnya juga dituliskan bawa pengharaman MUI terhadap pluralisme beberapa waktu lalu menyiratkan aroma perebutan kuasa dalam lanskap politik keagamaan. Sebagai solusinya dia menawarkan bahwa pemerintah mesti menjaga jarak dengan MUI dengan alasan demi tegaknya asas netralitas Negara sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945.
Masdar Hilmy juga nyatakan, bahwa pluralisme perlu dikemas lebih menarik lagi, sebab jika ditampilkan secara gamblang kemungkinan besar IAIN tidak akan laku lagi di Indonesia. ”Inilah yang mesti kita renungkan bersama untuk mewujudkan pluralisme yang sesungguhnya dalam ranah sosial masyarakat Indonesia,” imbau Masdar Hilmy, seperti diberitakan hidayatullah.com.
Peristiwa seminar ”Pluralisme Agama” di IAIN Surabaya itu perlu menjadi perhatian serius dari umat Islam Indonesia. Peristiwa ini tidak kalah pentingnya dari rencana kedatangan delegasi parlemen Israel dalam acara Inter Parliementary Union (IPU) di Bali, 2007, yang telah ditolak secara tegas oleh berbagai elemen umat Islam. Rencana Budhy Munawar Rachman dan kawan-kawan, sebagai orang penting di The Asia Foundation, untuk menggelar pertemuan mahasiswa IAIN/UIN/STAIN se-Indonesia dalam rangka mendukung paham Pluralisme Agama, adalah langkah yang sangat hebat dalam upaya legitimasi paham Pluralisme Agama di Indonesia.
Kaum Pluralis Agama memang sangat terpukul dengan keluarnya fatwa MUI, tahun 2005, yang mengharamkan paham Pluralisme Agama. Karena itu, bisa dipahami, jika dalam berbagai seminar, mereka tidak henti-hentinya mencaci maki MUI. Dan itu biasa dilakukan oleh sejumlah kalangan akademisi IAIN. Jika dalam seminar di IAIN Surabaya ini Dr. Masdar Hilmy mengecam MUI, maka kita juga pernah menyimak laporan utama di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 28 Th XIII/2005, yang memuat laporan utama berjudul ”Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan.”
Dalam jurnal ini, misalnya, diturunkan wawancara dengan seorang staf Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), dengan judul ”MUI bisa Dijerat KUHP Provokator”. Ia membuat usulan untuk MUI: ”Jebloskan penjara saja dengan jeratan pasal 55 provokator, jelas hukumannya sampai 5 tahun.” Berikutnya, staf PBHI itu menyatakan, ”MUI kan hanya semacam menjual nama Tuhan saja. Dia seakan-akan mendapatkan legitimasi Tuhan untuk menyatakan sesuatu ini mudharat, sesuatu ini sesat. Padahal dia sendiri tidak mempunyai kewenangan seperti itu. Kalau persoalan agama, biarkan Tuhan yang menentukan.” Kita juga masih ingat, menyusul keluarnya fatwa tentang sekularisme, pluralisme agama, dan liberalisme, MUI dikatakan tolol, dan sebagainya.
Penyebaran paham Pluralisme Agama di Indonesia memang melibatkan pandanaan yang sangat besar. Inilah proyek yang sangat mudah untuk mengeruk uang dari lembaga-lembaga internasional Barat seperti The Asia Foundation, dan dari pemerintah AS sendiri. Dalam situsnya, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta (http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-AS.html) pada 4 Mei 2007, memuat halaman muka berjudul ”Dukungan terhadap Hak Asasi Manusia dan Demokrasi: Catatan A.S. 2004 – 2005.”
Ada baiknya kita simak laporan yang ditulis dalam website Kedubes AS di Jakarta yang berkaitan dengan Islam dan pluralisme agama berikut ini:
”Dalam usaha menjangkau masyarakat Muslim, Amerika Serikat mensponsori para pembicara dari lusinan pesantren, madrasah serta lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, untuk bertukar pandangan tentang pluralisme, toleransi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedutaan mengirimkan sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu program tiga-minggu tentang pluralisme agama, pendidikan kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan. Di samping itu, kedutaan juga mengirim 38 siswa dan enam guru ke Amerika Serikat selama 4 minggu untuk mengikuti suatu Program Kepemimpinan Pemuda Muslim, dan melalui Program Pertukaran dan Studi Pemuda (YES), lebih dari 60 siswa Muslim mengikuti program satu-tahun di sekolah-sekolah menengah di seluruh Amerika Serikat. Wartawan dari kira-kira 10 agen media Islam berkunjung ke Amerika Serikat untuk melakukan perjalanan pelaporan. Di tingkat universitas, suatu hibah multi-tahun membantu untuk melakukan suatu program pendidikan kewarganegaraan di seluruh sistem Universitas Muhammadiyah. Bantuan lain yang terpisah membantu suatu lembaga studi Islam di Yogyakarta untuk melakukan pelatihan tentang Hak Asasi Manusia dan menyelenggarakan kursus-kursus yang meningkatkan toleransi. Bantuan juga diberikan kepada dua universitas Amerika Serikat untuk pelatihan dan pertukaran penanganan konflik, dan untuk mendirikan lima pusat mediasi di lembaga-lembaga Muslim.
Dalam membantu jangkauan jangka panjang, lima American Corners dibuka di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Muslim di seluruh Indonesia. Amerika Serikat juga mendanai The Asia Foundation untuk mendirikan suatu pusat internasional dalam memajukan hubungan regional dan internasional di antara para intelektual dan aktivis Muslim progresif dalam mengangkat suatu wacana tingkat internasional tentang penafsiran Islam progresif. Amerika Serikat juga memberikan pendanaan kepada berbagai organisasi Muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan jender dan anak perempuan dengan memperkuat pengertian tentang nilai-nilai tersebut di antara para pemimpin perempuan masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesantren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren laki-laki dan perempuan. Mengembangkan suatu lingkungan dimana orang Indonesia dapat secara bebas menggunakan hak-hak sipil dan politik mereka adalah kritis bagi tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memelihara pluralisme dan toleransi untuk menghadapi ekstrimisme.”
Demikianlah petikan laporan Kedubes AS di Jakarta dalam mendukung paham-paham pluralisme agama di Indonesia. Dengan laporan itu, kita maklum, mengapa penyebaran paham Pluralisme Agama menjadi agenda penting banyak dosen IAIN. Disamping masalah pemahaman, bisa jadi, ini juga berkaitan dengan soal keuangan. Di sini ada proyek, di sini ada uang. Karena itulah, kampanye paham ini berlangsung mulus, dari kampus ke kampus. Kampus yang mau menerima program ini akan mendapatkan kucuran dana. Kampus yang menolak, tentu tidak akan mendapatkan apa-apa. Bahkan, akan dicap sebagai ’kolot’, ’ekstrim’, ’tidak progresif’, dan sebagainya, seperti yang dialamatkan kepada Kampus Universitas Muhammadiyah Gresik. Di tengah kesulitan ekonomi yang melilit bangsa, kita bisa memahami, mengapa banyak kalangan akademisi IAIN yang tergiur dengan proyek-proyek pluralisme agama semacam ini. Gaji dosen sangatlah kecil. Sementara mereka sudah lulus doktor. Kadangkala rumah pun belum punya. Kemana lagi cari proyek? Salah satu yang mudah adalah masuk arus program penyebaran paham Pluralisme Agama. Semula bisa jadi karena terpaksa, atau sekedar ikut-ikutan. Lama-lama bisa tergantung, bahkan kecanduan. Tetapi, masalahnya bukan sekedar soal ekonomi. Masalah yang lebih mendasar adalah persoalan paham, persoalan iman.
Padahal, Pluralisme Agama adalah paham racun aqidah Islam yang sangat berbahaya. Bahkan, bagi semua agama, paham ini sudah ditentang habis-habisan. Kita bisa mengambil contoh, bagaimana Vatikan menyikapi paham ini. Vatikan bersikap tegas terhadap paham Pluralisme Agama. Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University, Roma, pernah mengajarkan paham bahwa agama-agama – termasuk Kristen – masih dalam proses menuju kebenaran final. Ia menulis buku Toward a Christian theology of Religious Pluralism. Gara-gara itu, akhirnya ia diskors oleh Paus sebagai dosen di Gregorian University. Dan pada 28 Januari 2000, Paus Yohanes Paulus II membuat pernyataan: “The Revelation of Jesus Christ is definitive and complete.” (Ajaran Jesus Kristus adalah sudah tetap dan komplit). Paus juga menyatakan, bahwa agama-agama selain Katolik, memiliki kekurangan. Dan hanya Gereja Katolik yang merupakan jalan keselamatan yang sempurna menuju Tuhan. Tahun 2000 itu juga, Paus Yohannes Paulus II mengeluarkan dekrit ‘Dominus Jesus’ yang secara tegas menolak paham Pluralisme Agama.
Jika Katolik saja bersikap tegas terhadap paham Pluralisme Agama, kita merasa aneh, mengapa pemerintah AS mendukung penyebaran paham syirik modern ini di kalangan Muslim. Kita sangat menyayangkan sikap pemerintah AS seperti itu. Mengapa uang mereka tidak digunakan saja untuk memperbaiki jalan-jalan di Indonesia yang rusak? Mengapa uang itu bukan digunakan untuk mengentaskan kemiskinan? Tetapi, mengapa uang itu justru dikucurkan untuk merusak Islam dan keimanan kaum Muslim, melalui penyebaran paham Pluralisme Agama? Tentu saja itu hak pemerintah AS. Hanya saja, yang lebih kita sesalkan adalah, mengapa ada saja kalangan akademisi IAIN dan sejenisnya yang mau-maunya dijadikan alat untuk merusak agama mereka sendiri. Kita hanya berdoa, mudah-mudahan kita tidak termasuk dari bagian mereka. Amin. [Depok, 4 Mei 2007/hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta FM dan hidayatullah.com