Oleh: Dr. Adian Husaini
(adianhusaini.id)
Hidayatullah.com | ADA satu video di channel youtube yang cukup viral menyatakan, bahwa pendidikan kita tertinggal 128 tahun dari negara-negara maju. Laman Kominfo.go.id juga masih menyimpan berita pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui bahwa metode pendidikan di Indonesia sudah terlalu lama monoton dan terjebak pada rutinitas.
Kalau tidak dirombak atau diubah secara total, menurut Presiden, akan membutuhkan waktu 128 tahun untuk bisa menyamai negara-negara maju saat ini sebagaimana ditulis oleh seorang profesor dari Harvard. “Itu pun di Jakarta,” kata Presiden menanggapi ungkapan seorang peserta dari Ruang Guru, yang hadir dalam acara Peringatan Hari Sumpah Pemuda, di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (28/10/2017).
Itu memang berita lama. Saya baru terpikir menulis artikel setelah berita ini dikirim ke dalam satu group WA para praktisi pendidikan beberapa hari lalu. Berita-berita dan – katanya – penelitian tentang “kemunduran” pendidikan Indonesia begitu banyak beredar. Uniknya, begitu banyak praktisi pendidikan bahkan pejabat pemerintah yang membenarkan begitu saja, bahwa pendidikan kita memang jeblok, hancur, terbelakang, dan sebagainya!
Beberapa hari sebelum acara Presiden Jokowi di Istana Bogor itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap Laporan Bank Dunia, bahwa Indonesia butuh waktu 45 tahun untuk mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan dalam hal membaca. Sementara untuk ilmu pengetahuan, Indonesia butuh waktu sampai dengan 75 tahun.
“Hasilnya itu dari WDR (World Development Report) kita itu Indonesia untuk mengejar ketertinggalan pendidikan agar sama dengan OECD itu dibutuhkan 45 tahun, kalau sistem pendidikannya masih kayak gini,” papar Sri Mulyani.
Tidak lama setelah itu, keluar lagi laporan ranking PISA (Programme for International Student Assessment), tahun 2018, yang menyatakan, bahwa “Ranking PISA Indonesia Turun”. Diberitakan jawapos.com, bahwa nilai indikator kemampuan membaca (reading), matematika (mathematics), dan ilmu pengetahuan (science) siswa Indonesia berada di urutan ke-72 dari 77 negara yang diteliti. Pemeringkatan PISA 2018 secara resmi diliris OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) Selasa (3/12/2019).
PISA menempatkan China di urutan teratas, Menyusul Singapura, Macao, Hongkong, Estonia, Kanada, Finlandia, dan seterusnya. Berdasarkan ranking PISA itu, ada yang menulis: “Indonesia berada di papan bawah peringkat pendidikan dunia 2018 yang disusun International Student Assessment (PISA). Posisi Indonesia “tertinggal” dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei.”
*****
Tentu, kita harus bersikap adil dalam memahami data atau analisis tentang “kemunduran” atau “keterbelakangan” pendidikan di Indonesia. Kita harus menerima kenyataan bahwa memang ada begitu banyak kelemahan dalam dunia pendidikan kita dalam bidang matematika, sains, dan juga daya baca.
Dan itu bukanlah hal yang aneh. Sejumlah survei juga mengungkapkan kelemahan banyak guru-guru kita dalam mengajar. Budaya dan daya baca pun diakui cukup rendah dibandingkan banyak negara lain. Kelemahan di bidang-bidang ini perlu diperbaiki.
Akan tetapi, menerima pernyataan bahwa “Pendidikan Indonesia Tertinggal puluhan atau ratusan tahun” tentulah kesimpulan yang terburu-buru, tidak tepat dan berlebihan. Kegembiraan berlebihan dalam mencela diri sendiri bisa menyebabkan kita berputus asa dalam membangun dunia pendidikan kita. Ada tiga hal yang perlu kita telaah.
Pertama, dari aspek penelitian. Matematika, sains, dan daya baca tidak mewakili semua aspek pendidikan. Aspek terpenting dari pendidikan adalah “sikap” atau “karakter” keilmuan. Banyak orang mencapai sukses kehidupan meskipun nilai matematika atau IPA-nya di sekolah biasa-biasa saja. Hanya saja, budaya dan daya baca memang hal yang sangat mendasar untuk membangun kreativitas murid.
Kedua, dari aspek keterwakilan. Yang disebut pendidikan dalam penelitian-penelitian itu hanyalah sekolah formal. Padahal, di luar sekolah formal, ada pesantren-pesantren yang jumlahnya lebih dari 27.000, dengan jumlah santri mencapai jutaan orang. Masih banyak pesantren punya tradisi ilmu dan sistem pendidikan yang mandiri.
Ketiga, dari aspek kejiwaan bangsa. Untuk membangun Indonesia menjadi bangsa besar, kita perlu membangun rasa bangga sebagai bangsa. Berita-berita yang terlalu berlebihan dalam mengeksploitasi kelemahan kita bisa memunculkan sikap rendah diri, seolah-olah kita tidak punya sesuatu yang bisa kita banggakan dalam bidang pendidikan. Padahal, kita punya begitu banyak prestasi dan keunggulan dalam pendidikan. Bahkan dalam bidang sains dan matematika sekali pun.
Karena itulah, pemerintah perlu kembali ke jati diri pendidikan kita, sebagaimana diamanahkan dalam UUD 1945. Bahwa, pendidikan kita bertujuan membentuk manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia itulah kunci kebangkitan pendidikan.
Murid yang berakhlak mulia pasti akan bersikap baik terhadap guru, orang tua, sesama teman, dan juga mencintai ilmu. Mereka adalah murid-murid yang jujur, pekerja keras, rendah hati, pemberani, tidak malas (kasal), tidak lemah (‘ajz), tidak sombong, tidak penakut, dan peduli pada sesama serta lingkungan sekitarnya.
Jadi, berita-berita tentang kemunduran atau keterbelakangan pendidikan kita, perlu disikapi dengan hati-hati dan kritis. Kita mengakui banyak kelemahan dalam pendidikan kita, tetapi kita juga punya potensi dan nilai-nilai keunggulan yang khas, yang seharusnya kita kembangkan.
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu merasa hina dan janganlah kamu berduka cita, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kami beriman.” (QS Ali Imran (3): 139).
Keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia, inilah yang seharusnya kita prioritaskan dalam pendidikan. Sebab, itulah jalan kebangkitan dan kebahagiaan yang hakiki. Dan itulah yang justru tidak dimiliki oleh banyak negara yang dikatakan maju pendidikannya! Wallahu A’lam bish-shawab.*
Guru Pesantren Attaqwa Depok