Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | PADA 2 November 2004, dimuat sebuah tulisan di Harian Republika berjudul “Memahami Kebangkitan Islam”. Tulisan itu berkisah tentang kekhawatiran sejumlah pejabat dan ilmuwan Barat terhadap kebangkitan Islam di Indonesia. Dikutiplah sebuah buku berjudul “Islam in Indonesia: Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension (Brighton: Sussex Academic Press, 2004).”
Dikatakan bahwa watak kebangkitan Islam di Indonesia adalah unik, terutama jika dibandingkan dengan Islam di Timur Tengah. Jika di Timur Tengah umumnya ”kebangkitan Islam” itu ditandai dengan peningkatan kesalehan dan konservatisme berbarengan dengan penguatan Islam politik dengan ideologi fundamentalis dan bahkan militansi dan radikalisme– maka ”kebangkitan Islam” di Indonesia ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan yang kian meluas atas gagasan-gagasan dasar tentang pluralisme keagamaan.
Anggapan bahwa ”kebangkitan Islam” di Indonesia ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan yang kian meluas atas gagasan-gagasan dasar tentang pluralisme keagamaan, adalah keliru. Sebab, pluralisme agama bukanlah dasar kebangkitan Islam. Justru, pluralisme agama adalah pemusnah Islam, dan juga pemusnah agama-agama lainnya.
Dalam bukunya, Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994), Alister E. Mcgrath, menulis bahwa ada tiga cara orang Kristen dalam melihat agama-agama lain, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Tentang pluralisme, dijelaskan bahwa: “In pluralism, no one religion is superior to any other; each and every religion is equally valid way to truth and God.”
Jadi, dalam paham pluralisme, semua agama dianggap jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan. Tidak ada agama yang lebih hebat dibandingkan yang lain. Di kalangan muslim, virus ini sudah disebarkan oleh para dosen agama di sejumlah kampus, melalui disertasi doktor dan thesis master mereka. Ibarat virus Corona, virus pemikiran ini sudah menjangkiti para tenaga medis. Harusnya, dokter atau perawat itu memberantas virus, tetapi justru menjadi penyebar utama virus ganas ini.
Jadi, dalam pluralisme agama, tidak ada satu agama yang dianggap lebih unggul dari yang lain. Seorang penganut paham Pluralisme Agama memiliki pandangan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan.
Dalam pandangan Islam, paham semacam ini jelas bathil. Sebab, dalam ikrar syahadat, seorang muslim berikrar: “Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Itu artinya, seorang muslim pasti meyakini, bahwa satu-satunya jalan keselamatan adalah dengan beriman kepada kenabian Muhammad saw. Hanya dengan cara itu ia memahami siapa Tuhan yang sebenarnya; bagaimana cara menyembah-Nya, dan bagaimana menempuh jalan kehidupan agar selamat dunia akhirat. Setelah Nabi Muhammad saw diutus – sebagai nabi terakhir – maka seluruh umat manusia wajib mengakuinya sebagai Nabi, dan wajib menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya jalan keselamatan.
Inilah keyakinan paling mendasar bagi seorang muslim. Mengakui “semua agama benar” sama saja dengan mengatakan, “semua agama salah”. Menyamakan Islam dengan agama penyembah setan adalah pelecehan terhadap Islam.
*****
Salah satu tokoh paham ini adalah pendiri Islamic Studies di McGill University, Wilfred Cantwell Smith. Ia mengaku dirinya merupakan pendukung gagasan “a universal theology of religion”. Satu lagi, tokoh paham ini adalah John Hick, seorang guru besar dalam Teologi Kristen. Perjalanan intelektual John Hick menunjukkan, ia sampai pada paham ini setelah melakukan penghancuran secara mendasar terhadap teologi Kristen melalui bukunya “The Myth of God Incarnate” (1977). (Lihat, Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy: The Thought of John Hick and Seyyed Hossein Nasr, (Richmond Surrey: Curzon Press, 1998).
Paham “Pluralisme Agama” adalah produk sejarah peradaban Barat yang traumatik terhadap “teologi eksklusif Gereja” dan problema teologis Kristen, serta realitas teks Bible. Jika peradaban Barat kemudian mengembangkan dan memaksakan paham ini agar dianut oleh pemeluk agama-agama yang ada, dapatlah dimaklumi. Sebab, peradaban Barat pada hakikatnya memang ‘anti-agama’, sebagaimana dikatakan Muhammad Asad (Leopold Weiss): “… so characteristic of modern Western Civilization, is as unacceptable to Christianity as it is to Islam or any other religion, because it is irreligious in its very essence). (Muhammad Asad, Islam at The Crossroads, (Kuala Lumpur: The Other Press).
Lihatlah nasib agama-agama di Barat sekarang ini. Berdasar survey tahun 2019, oleh Eurobarometer, 10% penduduk Eropa menyatakan diri sebagai ateis. Pada bulan Mei 2019, angka penganut ateisme di beberapa negara Eropa adalah sebagai berikut: Czech Republic (22%), Perancis (21%), Swedia (16%), Estonia (15%), Slovenia (14%), Spanyol (12%), Belanda (11%).
Sementara itu, 17% penduduk Eropa menyebut diri mereka ‘non-believers’ atau ‘agnostik’. Berikut daftar yang mengaku agnostic di beberapa negara: Belanda (41%), Czech Republic (34%), Swedia (34%), Inggris (28%), Estonia (23%), Jerman (21%), Spanyol (20%). (https://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Europe#Atheism_and_Agnosticism).
Itulah nasib agama Kristen di Eropa. Karena itu, salah besar anggapan bahwa jika paham pluralisme agama dikembangkan, Islam akan bangkit di Indonesia. Yang terjadi bukan “kebangkitan Islam” tetapi “kebangkrutan Islam”. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 26 September 2020).*
Penulis adalah pendiri At-Taqwa College Depok (ATCO). Langganan 1000 artikel klik di sini