Pemerintah dan dan lembaga-lembaga keagamaan seharusnya segera mempertegas larangan promosi LGBT dalam berbagai bentuknya
Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | KASUS podcast LGBT Deddy Corbuzier masih menyisakan diskusi. Apakah memang di Indonesia orang bebas mengkampanyekan LGBT, seperti kampanye LGBT lewat buku, film, media sosial, dan sebagainya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita kaji masalah ini secara proporsional dan menyeluruh. Berbagai pihak yang mengkampanyekan LGBT, biasanya mendasarkan tindakan mereka – termasuk promosi homoseksual dan lesbian — pada prinsip kebebasan mengemukakan pendapat (freedom of expression), yang dijamin UUD 1945.
Bahwa, kata mereka, setiap warga negara dijamin haknya untuk mengemukakan pendapatnya. Ada yang berpendapat, jika tidak setuju dengan pendapatnya, maka hak untuk mengemukakan pendapat tetap harus dihormati.
Sebagai warga negara Indonesia, kita mafhum dengan prinsip tersebut. Akan tetapi, konstitusi kita, UUD 1945 juga memberikan batasan terhadap prinsip kebebasan tersebut. Pasal 28 (J) UUD 1945 ayat 2 menyebutkan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Isi ayat tersebut sama dengan bunyi pasal 70 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Jadi, kebebasan di Indonesia memang dibatasi. Batasnya pun disebutkan, yaitu aturan perundang-undangan yang berlaku, moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Karena itu, prinsip kebebasan mutlak tidaklah diakui di bumi Indonesia. Begitu juga, di negara-negara lain, pembatasan-pembatasan terhadap prinsip kebebasan selalu diberikan batasan tertentu, sesuai dengan pertimbangan masing-masing negara.
Kita bisa melihat contoh Amerika Serikat. Meskipun sering dianggap sebagai negara contoh dalam “Kebebasan Beragama”, AS tetap mempunyai batasan-batasan tertentu dalam kehidupan keagamaan.
Konstitusi AS memang menjamin Kebebasan Beragama, tetapi AS memberikan batasan lewat The Sherbert Test dimana negara dapat melakukan pembatasan melalui “Compeling a state interest” yaitu pembatasan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kejahatan dalam ajaran agama karena mengganggu ketertiban umum. (Lihat buku: Beragama, Berkeyakinan dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, (Jakarta: SETARA Institute, 2009), hal. 74).
Bahkan, jauh-jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah “bangsa Kristen”. Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: “We are a Christian people.” Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: “This is a Christian Nation.”
Theodore Dwight Woolsey, memberikan penjelasan, mengapa AS disebut “a Christian Nation”: “In this sense certainly, that the vast majority of the people believe in Christianity and the Gospel…” . Survei antara tahun 1989-1996 menunjukkan, 84-88 persen penduduk AS mengaku Kristen. Tahun 1997, jumlah Muslim di AS diperkirakan sekitar 3,5 juta jiwa. (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to America’s National Identity.” (New York: Simon&Schuster, 2004), hal. 98-99).
Di Indonesia, dalam urusan keagamaan, kita masih terikat dengan UU No. 1/PNPS/1965, tentang “Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 1 UU ini menyebutkan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Pada pasal 2 dikatakan: (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Sedangkan pasal 3 menyatakan: Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965 kemudian merujuk kepada pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a). yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b). dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
Jadi, ketentuan dalam UU No.1/PNPS/1965 mencakup tindakan penodaan agama yang dilakukan oleh kelompok/aliran keagamaan dan juga perseorangan. Merujuk kepada pasal 28 (j) UUD 1945, bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, maka setiap warga negara wajib memperhatikan : “pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Kampanye legalisasi LGBT bisa dikategorikan melanggar nilai-nilai moral dan nilai-nilai agama. Karena itu, kampanye atau promosi LGBT dapat dikategorikan sebagai tindakan penodaan agama, karena merusak nilai-nilai moral dan keagamaan.
Hingga kini, bagaimana pun, otoritas keagamaan di Indonesia tetap memandang tindakan homoseksual atau lesbian sebagai tindakan seks yang menyimpang.
Pemerintah dan dan lembaga-lembaga keagamaan seharusnya segera mempertegas larangan promosi LGBT dalam berbagai bentuknya. Kita berharap, DPR segera mengesahkan RUU KUHP yang secara tegas menyatakan perzinahan – baik homoseksual atau heteroseksual – sebagai tindakan kriminal. Dengan itu, maka kampanye dan promosi LGBT juga secara tegas dinyatakan sebagai tindakan kejahatan.*/ Depok, 14 Mei 2022
Pengasuh Pondok Pesantren At-Taqwa-Depok, Jabar