Hidayatullah.com– Kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) mendeklarasikan pemerintahan tandingan di wilayah Sudan yang dikuasainya.
Komandan tertinggi RSF Mohamed Hamdan Dagalo, dikenal juga sebagai Hemedti, mengumumkan “Pemerintahan Perdamaian dan Persatuan” bertepatan dengan dua tahun perang sipil di Sudan.
“Dalam ulang tahun ini, kami dengan bangga mendeklarasikan pembentukan Pemerintahan Perdamaian dan Persatuan, sebuah koalisi luas yang mencerminkan wajah Sudan sesungguhnya,” kata Dagalo, dalam sebuah pernyataan yang dimuat di Telegram, lansir RFI hari Rabu (16/4/2025).
Dagalo mengatakan RSF dan kelompok-kelompok politik sekutunya telah menandatangani konstitusi transisi, menyebutnya sebagai “peta jalan bagi negara Sudan yang baru”.
Dokumen itu mengusulkan sebuah dewan kepresidenan beranggotakan 15 orang yang mewakili seluruh wilayah di Sudan, sebagai simbol dari persatuan.
RSF pertama kali mengutarakan rencana pembentukan pemerintahan tandingan itu pada bulan Februari, ketika menandatangani sebuah piagam politik dengan sekutu-sekutu sipilnya di Kenya.
Langkah RSF itu merupakan tantangan langsung terhadap pemerintahan militer Sudan pimpinan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Kubu kedua pria ini, yang dulunya bersahabat dan bersekutu, berperang sejak 15 April 2023.
Para ahli tentang Sudan sebelumnya sudah memperingatkan bahwa negara tersebut – dengan wilayah terluas ketiga di Afrika – bisa saja mengalami perpecahan permanen.
“Pembagian wilayah yang terjadi bisa berarti perpecahan secara de facto,” kata Sharath Srinivasan, peneliti Sudan di Universitas Cambridge, kepada kantor berita Prancis AFP.
Baik RSF maupun militer Sudan dituduh melakukan pelanggaran serius selama konflik, termasuk penjarahan, kekerasan seksual, dan serangan terhadap warga sipil.
Perang tersebut mengakibatkan hampir 13 juta orang mengungsi, termasuk lebih dari 3,5 juta orang yang telah menyeberang ke negara-negara tetangga. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Berapa pastinya jumlah korban nyawa masih belum jelas, tetapi sejumlah perkiraan menyebutkan jumlah korban tewas mencapai 150.000.
“Dalam dua tahun ini, kehidupan jutaan orang telah hancur. Keluarga-keluarga terpisah. Mata pencaharian masyarakat hilang. Dan bagi banyak orang, masa depan masih belum pasti,” kata Clementine Nkweta-Salami, koordinator bidang kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Sudan.*