Oleh: Muhaimin Iqbal
ALAM ini sudah diciptakan olehNya dalam kondisi seimbang, manusia hanya dilarang untuk mengganggu keseimbangannya dan sebaliknya diperintahkan untuk menegakkan/menjaga keseimbangannya (QS 55:7-9).
Dengan apa kita bisa ikut menjaga keseimbangan itu? Salah satunya adalah dengan menanam pohon. Dengan tingkat teknologi yang ada sekarang ini, mestinya sudah bisa dihitung berapa pohon yang harus ditanam untuk setiap jiwa manusia dan dari jenis apa pohon-pohon tersebut.
Untuk mengetahui berapa pohon yang harus ditanam untuk mengimbangi kebutuhan oksigen dan makanan kita misalnya, kita dapat mendekatinya dengan proses photosynthesis berikut:
Proses Photosynthesis
Untuk setiap molekul glucose (C6H12O6), dibutuhkan enam molekul carbon dioxide (CO2) dan 6 molekul air (H2O). Setiap menghasilkan satu molekul glucose, photosynthesis juga menghasilkan 6 molekul oksigen (O2) – oksigen yang diproduksi oleh pepohonan secara kontinyu ke udara inilah yang kita butuhkan untuk aktivitas pernafasan kita.
Pohon-pohon yang sudah besar, dia bisa dengan mudah menghasilkan lebih dari 100 kg oksigen per tahun. Tetapi untuk pernafasannya, manusia membutuhkan sekitar 9.5 ton udara per tahun, dari sini sekitar 23 %nya adalah oksigen – dan dari oksigen yang kita hirup tersebut – kurang lebih hanya 1/3-nya yang diserap tubuh kita.
Artinya rata-rata manusia membutuhkan sekitar 730 kg oksigen setiap tahunnya. Bila ini dikonversikan ke jumlah pohon yang harus ada untuk men-supply kebutuhan oksigen kita , dibutuhkan rata-rata 7 pohon untuk setiap jiwa.
Di jaman kakek-nenek kita, jumlah pohon tersebut tidak menjadi masalah karena manusianya jauh lebih sedikit dan pohonnya jauh lebih banyak. Di jaman kita masalah itu mulai terasa manakala manusia terus bertambah banyak sedangkan jumlah pohonnya justru berkurang.
Masalah yang serius akan terjadi pada generasi anak cucu kita kelak, bila kita tidak segera menanam pohon itu saat ini. Anda yang memiliki tiga orang anak kini, kemudian masing-masing anak punya dua anak lagi misalnya – maka di generasi cucu Anda sudah ada 6 jiwa – yang perlu perimbangan setidaknya 42 pohon.
Dan pohon yang seharusnya kita tanam ini juga bukan sembarang pohon.
Melalui Al-Qur’an Allah sudah mengindikasikan tentang pohon-pohon yang seharusnya ditanam. Negeri yang baik (Baldatun Thoyyibah) digambarkanNya sebagai negeri dua kebun (di mana-mana kebun) dan kebunnya terdiri dari kebun yang menghasilkan makanan (QS: Saba’ [34]:15).
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS: Saba’ [34]:15).
Sebaliknya di ayat lanjutannya, negeri orang-orang berpaling ternyata juga masih negeri yang hijau karena disitu masih ditumbuhkan pepohonan. Yang membedakan dengan negeri yang baik adalah di negeri yang orang-orangnya berpaling – buah dari pepohonan yang ditanam tidak bisa dimakan (QS: Saba’ [34]:16).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dengan menggunakan kacamata Al-Qur’an demikian ini, akan dengan mudah dan terang benderang kita bisa mengukur, negeri seperti apa negeri kita ini? Bisa saja sepanjang jalan kanan kiri kita masih pepohonan hijau – tetapi adakah kita makan buahnya?
Bayangkan sekarang bila setiap jiwa kita menghadirkan 7 pohon, dan setiap pohonnya menghasilkan buah (carbohydrate) yang enak dimakan 100 kg saja perpohon – akan ada 700 kg bahan pangan per jiwa , bukan hanya kita mendapatkan cukup oksigen, tetapi juga cukup makan.
Jika kita buat gerakan untuk menanam tujuh pohon buah (buah apa saja) setiap jiwa misalnya, maka selain menjaga pemenuhan kebutuhan oksigen dan makanan untuk kita – kita juga bisa berharap kelak negeri kita ini menjadi negeri baldatun thoyyibatun warabbun ghafuur.
Selama kita masih rajin menanam pohon yang tidak dimakan – apalagi kalau sudah tidak lagi gemar menanam, maka darimana kita bisa berharap menjadi negeri yang baldatun thoyyibatun warabbun ghafuur? Lha wong prasyarat fisiknya saja untuk menjadi negeri kebun di mana penduduknya makan cukup dari kebun itu – belum terpenuhi! Wallahu A’lam.*
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar