Oleh: Muhaimin Iqbal
BULAN lalu televisi Al-Jazeera menyiarkan hasil kerja US-British Taskforce yang memprediksi krisis pangan dunia berpeluang meningkat 3 kalinya dalam tahun-tahun mendatang, yang menurut mereka penyebabnya adalah perubahan iklim. Sekali lagi saya tidak setuju dengan konsep menyalahkan iklim ini, pasti manusianya yang salah! Saya melihat salah satu kesalahan besarnya ada pada kesalahan memilih jenis makanan – khususnya sumber protein. Saya juga melihat hal ini sangat mungkin diperbaiki dan salah satu peluang terbesarnya ada di negeri ini.
Gejala salah pilih sumber makanan yang terjadi di seluruh dunia ini bisa saya gambarkan sebagai berikut :
Tahun lalu China mengimpor 74 juta ton kedelai atau 31 kali jumlah kedelai yang diimpor oleh Indonesia yang mengimpor 2.35 juta ton. Padahal penduduk China hanya sekitar 5 kali jumlah penduduk Indonesia, mengapa mereka membutuhkan kedelai yang begitu banyak?
Hal yang mirip terjadi di Uni Eropa yang mengimpor kedelai sampai 12.75 juta ton atau 5.4 kali yang diimpor Indonesia, padahal jumlah penduduk mereka hanya 2 kali penduduk Indonesia. Apakah orang China dan Eropa makan tahu dan tempe yang jauh lebih banyak dari kita?
Ternyata tidak, kedelai yang mereka impor tersebut utamanya bukan untuk tahu, tempe, kecap dan sejenisnya. Mereka menggunakan kedelai tersebut untuk memberi pakan ternak mereka – khususnya ayam bila di China.
Betul, menurut laporanya OECD (Organisation for Economic Co-Operation and Development) rata-rata sumber daging yang dikonsumsi oleh penduduk negara-negara yang tergabung dalam OECD 62 %-nya berasal dari daging unggas, dan unggas ini makanannya adalah biji-bijian. Di sinilah terjadi perebutan makanan antara yang dimakan manusia langsung dan yang dimakan unggas.
Karena setiap kilogram daging unggas memerlukan sekitar 2 kilogram biji-bijian, maka ketika kebutuhan makan daging unggas tersebut meningkat – kebutuhan akan biji-bijiannya juga meningkat dua kalinya. Itulah yang tergambar dari grafik lonjakan import kedelai oleh China sejak 20 tahun terakhir.
Dengan trend ini, maka kebutuhan kedelai China bisa menelan seluruh produksi kedelai yang ada di dunia pada waktunya – dan kita yang begitu tergantung pada impor kedelai untuk tahu dan tempe kita hanya akan bisa memperolehnya dengan susah payah atau dengan harga yang cenderung melambung tinggi.
Yang lebih buruk dari itu , biji-bijian seperti kedelai juga digunakan dunia untuk pakan ternak besar seperti sapi. Padahal konversinya diperlukan 8 kg biji-bijian untuk menghasilkan 1 kg daging sapi.
Jadi semakin banyak daging sapi dimakan bersama daging ayam, maka biji-bijian dunia akan terserap untuk pakan mereka ini – tidak lagi tersisa untuk tahu dan tempe yang merupakan sumber protein utama bangsa ini.
Jadi solusinya bagaimana ? Apakah dunia disuruh berhenti makan daging sapi dan daging ayam? Ya tidak perlu berhenti, tetapi diturunkan ke porsi yang seharusnya. Seperti apa porsi yang seharusnya ini sudah pernah saya bahas dalam tulisan saya setahun lalu tentang keseimbangan Pangan, Pakan dan Energi.
Sumber protein yang mengandalkan unggas di China 64 % dan Indonesia malah 75 % harus bisa diturunkan ke kurang dari 10 % saja, agar biji-bijian khususnya kedelai bisa digunakan langsung sebagai sumber protein manusia dalam bentuk tahu, tempe, susu kedelai, bahkan sekarang es cream dlsb bisa dibuat dari kedelai.
Komposisi Konsumsi Daging di OECD
Kedua ternak-ternak besar juga jangan lagi diberi pakan dari biji-bijian karena ternak besar ini sangat boros terhadap konsumsi biji-bijian. Lebih dari ini ternak besar yang diberi pakan biji-bijian juga membuat dagingnya turun drastis kwalitasnya dari sisi kesehatan.
Dunia kesehatan mengenal rasio antara Omega 6 dan Omega 3 (O6/O3 ratio) pada lemak yang berasal dari daging yang sehat seharusnya mendekati 1.0 atau seimbang. Pada ternak besar yang diberi pakan biji-bijian rasio tersebut bisa melonjak mencapai angka 13 atau bahkan lebih, padahal ketika ternak-ternak tersebut makan rumput yang memang fitrah bagi mereka rasio ini hanya di kisaran 1.5.
Rasio Omega 6 dan Omega 3 yang semakin tinggi menurut laporan resmi US National Library of Medicine menjadi penyebab naiknya resiko berbagai penyakit cardiovascular (terkait jantung), cancer dan berbagai penyakit yang menggerogoti kekebalan tubuh.
Ini sekaligus dikuatkan oleh data lain yang dikeluarkan oleh OECD tersebut diatas ketika saya merge dengan datanya WHO tentang resiko penyakit jantung dan stroke. Orang-orang Australia yang makan daging domba sangat banyak ( sekitar 9 kg/kapita), juga orang-orang New Zealand (sekitar 6 kg/kapita) ternyata memiliki resiko serangan jantung dan stroke yang jauh lebih rendah dari kita yang makan daging domba sangat sedikit ( hanya sekitar 0.4 kg/kapita ) – mungkin hanya di musim Iedul Adha? Hal ini karena di negeri asalnya Autralia dan New Zealand mayoritas domba ya makan rumput!
Rasio serangan penyakit jantung dan stroke ini oleh WHO diukur dengan apa yang disebut DALYs (Disability Adjusted Life Years). Yang disebut 1 DALY adalah setara satu tahun penuh seseorang menderita penyakit. Angka DALYs untuk Indonesia adalah 18 per 1000 orang (jantung) dan 8 per 1000 orang (stroke). Sementara untuk Australia angka ini adalah masing-masing 5 dan 3, sedangkan New Zealand angkanya 7 dan 4.* (BERSAMBUNG)
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar