Kita tidak pernah melihat contoh tentang melabeli anak negatif, cap buruk, atau mencela anak yang bersumber dari Nabi Muhammad ﷺ
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Hidayatullah.com | SIAPAKAH nama Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu? Dia adalah salah satu sahabat Nabi ﷺ yang sangat terkenal karena begitu banyak hadis diriwayatkan darinya. Tetapi siapakah nama aslinya?
Sangat sedikit muslimin yang tahu. Banyak pula yang pernah tahu, tetapi segera lupa nama aslinya karena julukan (label) yang disandangnya jauh lebih terkenal daripada nama aslinya. Kurang dikenalnya nama ‘Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausi merupakan contoh sederhana tentang betapa julukan ketika begitu kuat melekat pada diri seseorang, bahkan dapat menyebabkan manusia tak lagi akrab dengan nama aslinya.
Itu pun sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa nama asli Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bukanlah ‘Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausi, melainkan ‘Abdullah bin Amin. Inilah yang kita dapati dari agama ini. Kita mengenal nama Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, tetapi banyak yang tidak mengenal nama aslinya. Meskipun tidak sedikit juga yang kita kenal nama dan sekaligus julukannya.
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu memiliki julukan Al-Faruq, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu –menantu kesayangan Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam—bergelar Abu Turab. Dan masih banyak lagi deretan nama sekaligus gelar yang dapat kita paparkan.
Jika kita pelajari agama ini, kita akan dapati bahwa Rasulullah ﷺbiasa mengganti nama yang buruk dengan nama yang memiliki nama yang baik. Nama memang bukan julukan, tetapi ia melekat pada diri seseorang, menjadi do’a baginya dan seolah menjadi gelaran (label) baginya.
Maka, jangan asal-asalan memberi nama anak. Jika salah memberi nama, jangan segan-segan untuk menggantinya dengan nama yang baik.
Berbeda dengan julukan yang baik, sejauh ini saya tidak mendapati petunjuk yang sharih (terang, gamblang) dan nash yang shahih tentang memberi julukan (label) yang buruk kepada anak. Kita mendapati gelaran yang amat buruk dalam Al-Qur’an, gelaran yang Allah Ta’ala berikan kepada seorang pendurhaka dengan kedurhakaan luar biasa. Tetapi ini hanya berlaku untuk orang yang luar biasa keburukannya. Itu pun orang dewasa. Bukan anak-anak.
Saya berusaha menggali dan bertanya kepada orang yang memiliki kapasitas keilmuan tentang tafsir dan tidak mendapati bahwa hal itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam mendidik anak. Artinya, julukan buruk yang kita temukan dalam Al-Qur’an tidak dapat menjadi hujjah bolehnya kita memberi julukan buruk kepada anak, terlebih anak-anak yang masih belum mencapai masa tamyiz.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Mengapa kita perlu memeriksa dulu di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta memahami petunjuk dari nash tersebut secara tepat? Ada beberapa alasan.
Pertama, sebaik-baik perkataan adalah kalimat Allah ‘Azza wa Jalla, yakni kitabuLlah Al-Qur’anul Kariim, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad ﷺ.
Ini perkara pertama yang harus kita yakini sekaligus kita pegangi dengan sungguh-sungguh.
Kedua, jika kita memang menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah sebagai pedoman, maka semestinya apa pun yang kita akan ambil kita periksa dulu adakah ia bertentangan dengan keduanya ataukah tidak. Jadi bukan mengambil dulu pendapat yang bersesuaian dengan keinginan kita, lalu mencari-carikan dan bila perlu mengepas-ngepaskan dengan “dalil” yang ada.
Ketiga, apa yang disebut sebagai ilmiah-empiris saat ini, kadang tidak memerlukan waktu lama untuk melihat bantahannya disebabkan apa yang disangka sebagai ilmiah tersebut, ternyata bertentangan dengan hasil penelitian di kemudian hari.
Berkenaan dengan mendidik anak, terutama di usia kanak-kanak, mari kita ingat hadis yang diriwayatkan dari Abu Hafsh, yakni Umar bin Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu, anak tiri Rasulullah ﷺ. Ia menuturkan:
Semasa kecil, ketika aku berada dalam pangkuan Rasulullah, aku sering berganti-ganti tangan dalam memegangi mangkuk. Melihat itu, beliau menegurku, “Hai Anak, bacalah basmalah. Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang terdekat denganmu.” Semenjak itu, aku selalu demikian ketika makan. (Muttafaqun ‘Alaih).
Pelajaran apa yang dapat kita petik dari hadis ini? Teguran langsung ketika anak melakukan hal-hal yang tidak bersesuaian dengan adab seorang muslim. Perhatikan, teguran semacam ini dilakukan terhadap hal-hal yang berkait dengan adab. Bukan hukum.
Ada tiga hal yang patut kita catat dalam hadis tersebut.
Pertama, teguran disampaikan secara langsung dan segera. Teguran disampaikan ketika anak melakukan perbuatan tersebut. Tidak menunggu waktu berlalu agak lama, apalagi setelah lama sekali.
Kedua, mengawali teguran dengan menggunakan panggilan sayang yang akrab (ya ghulaam).
Ketiga, langsung menunjukkan tindakan apa yang patut. Seakan tak mengoreksi kesalahan, tetapi dengan menunjukkan apa yang seharusnya, kekeliruan yang dilakukan anak dengan sendirinya terkoreksi.
Wallahu a’lam bish-shawab. Semoga Allah Ta’ala baguskan anak-anak kita hingga Yaumil-Qiyamah.
Adapun terhadap kesalahan yang bersangkut-paut dengan hukum halal-haram, dalam hal ini terkait makanan, maka kita dapati tuntunan lebih tegas. Meski makanan tersebut sebenarnya kita ganti dengan makanan serupa, tetapi untuk tujuan pendidikan justru harus kita tunjukkan secara tegas bahwa memakan harta yang haram benar-benar tercela. Inilah proses meluruskan kesalahan yang member kesan yang sangat mendalam.
Ada perkataan yang menyentak, ada tindakan tegas yang sangat dramatis, dan ada teguran yang bersifat memperingatkan secara keras. Harap dicatat! Tindakan seperti ini berlaku untuk anak-anak yang masih kecil.
Mari kita perhatikan hadis berikut ini:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِخْ كِخْ لِيَطْرَحَهَا ثُمَّ قَالَ أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ
“Suatu hari Al Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma mengambil kurma dari kurma-kurma shadaqah (zakat) lalu memasukkannya ke dalam mulutnya, maka Nabi ﷺ bersabda: “Hei, hei”. Maksudnya supaya ia membuangnya dari mulutnya. Selanjutnya Beliau bersabda: “Tidakkah kamu menyadari bahwa kita tidak boleh memakan zakat.” (HR: Bukhari dan Muslim).
Hadis yang senada juga diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi maupun Imam Ahmad rahimahumullah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad kita dapati bahwa Rasulullah ﷺmengeluarkan kurma tersebut dari mulut cucunya. Jadi, bukan sekedar perkataan. Seseorang berkata, “Apa masalahnya ya RasulaLlah jika anak ini memakan kurma tersebut?”
“Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidak halal memakan harta sedekah.” (HR. Ahmad).
Nah. Apakah pelajaran yang dapat kita petik dari hadis ini? Kita tak boleh memberi label buruk kepada anak atas perbuatan yang buruk. Tetapi ini bukan berarti kita patut berdiam diri. Bahkan kita melihat contoh dan sekaligus tuntunan betapa kadang kita bahkan harus bersikap sangat tegas. Ini terutama menyangkut halal haram, berkait dengan masalah hukum.
Dalam hadis lain, sebagaimana dapat kita temukan dalam Riyadhush Shalihin, ada teguran yang lebih keras lagi. Ini terjadi ketika anak-anak yang sudah memasuki usia remaja.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menegur mereka dengan perkataan sangat keras; mencela perbuatan tersebut (catat: perbuatan, bukan orangnya) sebagai terlaknat.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia pernah melewati beberapa anak muda Quraisy sedang memasang seekor burung untuk dijadikan sasaran memanah. Tetapi masing-masing di antara mereka tidak ada yang tepat bidikannya.
Begitu melihat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, mereka berpencar. Ibnu ‘Umar lalu berkata, “Siapa yang melakukan ini?! Allah telah mengutuk orang yang berbuat begini. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ mengutuk orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran.” (Muttafaqun ‘alaih).
Apa yang dapat kita catat dari hadis ini terkait pembicaraan kita tentang melabeli anak? Kita memang tidak mendapati contoh yang jelas, apalagi perintah yang kuat untuk mencela serta member julukan yang buruk kepada anak.
Tetapi kita mendapati tuntunan sunnah bahwa terhadap perbuatan yang perlu diluruskan, ada saat ketika kita harus sangat tegas dan bahkan menyatakan celaan yang sangat tajam. Teguran keras itu terhadap perbuatan. Bukan memberi julukan terlaknat kepada anak.
Hal yang dapat kita catat. Ada perbedaan cara memberi teguran terhadap anak yang melakukan tindak tak sesuai tata-krama dengan tindakan yang berkaitan dengan masalah hukum.
Ini terutama berkenaan dengan halal-haram, meskipun terhadap anak yang belum memahami bahwa makanan tersebut haram. Dalam hal ini, zatnya (kurma) halal, tetapi makanan tersebut diharamkan bagi keluarga Nabi ﷺ dikarenakan harta zakat.
Berbeda pula sikap yang harus kita ambil ketika anak melakukan perbuatan melanggar hukum yang lebih berat terkait keselamatan nyawa, meskipun nyawa hewan. Ini merupakan perbuatan zalim. Dan kezaliman lebih mendesak untuk dihentikan dengan segera.
Ini semua merupakan catatan betapa ada saat harus lembut, ada pula saat harus tegas, bahkan ada saat harus menyertainya dengan tindakan dramatis. Kurma itu dapat diganti.
Tapi untuk tujuan pendidikan, bahkan yang harus kita lakukan bukan mengganti. Tapi mengeluarkan paksa.
Semoga kita dapat mengambil pelajaran berharga dari as-sunnah ash-shahihah. Inilah sebaik-baik petunjuk bagi orang beriman, termasuk dalam mengasuh anak.
Wallahu a’lam bish-shawab.*