Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Salim A. Fillah
LALU apa nilai pencerahan yang ditawarkan oleh Futuhat ini? Mari kita kenang sebuah kalimat bersejarah. “Kami adalah kaum yang dibangkitkan Allah; untuk membebaskan manusia:
1) dari penghambaan kepada sesama makhluq, menuju peribadahan pada Khaliq semata.
2) dari sempitnya dunia, menuju luasnya akhirat.
3) dari kezhaliman agama-agama, menuju keadilan Islam.”
Jawaban indah ini menjadi syi’ar Futuhat. Mulai dari Sa’d ibn Abi Waqqash sang panglima besar, Al Mughirah ibn Syu’bah sang komandan lapangan, hingga Ribi’ ibn Amir si prajurit kecil dalam kesempatan berbeda menyatakannya dengan amat kompak kepada Rustum, panglima agung Persia dalam pertempuran Qadisiyah.
Maka “tangan Allah bersama jama’ah”. Jika Musa ‘Alaihis Salaam yang berkata “Inna ma’iya Rabbi sayahdin.. Sesungguhnya Rabbku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk padaku” dibelahkan laut untuknya, hingga kaumnya menyeberang dalam takut diapit gelombang besar yang menggunung; pasukan Sa’d ibn Abi Waqqash bergandeng tangan menyeberangi lebar dan derasnya arus Dajlah dengan karamah yang membuat musuh terperangah. Selama tiga nilai Futuhat ini dipelihara; jadilah ia da’wah yang mencahayai semesta.
Tapi sejarah kita juga berisi pengalaman tentang bagaimana kiranya jika nilai-nilai Futuhat ini tidak dijaga.
Di Andalusia, saat raja-rajanya berrebut memperbudak kulit putih hingga jangat hitam dan rambut pirang hingga mata biru; kekuasaan 7 abad di sana jadi sedikit sekali membawakan ruh dakwah. Seperti digambarkan Ahmad Thompson dalam Islam in Andalus, kolam-kolam khamr direnangi dalam pesta, permainan optik dan air raksa menakutkan duta-duta Franka, bebangunan indah lagi rumit menjulang, ornamen-ornamen ukir dan keramik menakjubkan, pun Ziryab mengenalkan fine dining hingga mode pakaian tiap musim. Tapi bangsa keturunan Visigoth melihat itu semua sebagai lambang penjajahan.
Saat kuasanya rapuh dan antar penguasanya rusuh, Ferdinand dari Arragon dan Isabella dari Castillia memulai reconquesta. Satu per satu; Cordoba, Malaga, Huelva, Toledo, Sevilla, Almeria, dan akhirnya Granada jatuh. Maka tergulunglah Muslimin nyaris tanpa sisa hingga bukit tempat sang Sultan terakhir menangisi lepasnya daulah terujung diberi nama “El Ultimo Sospiro del Moro”; desah nafas terakhir orang Mor. Dan hingga hari ini, Spanyol dan Portugal di semenanjung Iberia masih mencatatkan diri dalam tingkat Islamophobia yang amat tinggi.
Empat abad lamanya pula, Muslim Mughal memerintah tiga perempat anak benua. Tapi seperti ditangisi Aurangzab Alamghir tentang Syah Jahan ayahnya; ketika cinta pada 1 perempuan mengorbankan 30.000 budak Hindu yang dibunuh sebakda diperas tenaganya untuk pembangunan kuburan mewah bernama Taj Mahal serta 3 tahun kas negara bangkrut dan pajak dipungut paksa demi pembangunannya. Hari ini, hanya sepuluh perratus kaum Muslimin tersisa di negeri Bharata, India.
Adapun Nusantara ini diasasi berkah da’wah para Wali dan Sultan Demak. Inilah kesultanan yang mampu mengerahkan 300 kapal untuk berjihad melawan Portugis di Malaka; tapi bahkan sisa istananya tak ditemukan. Sebab, demikian menurut sebagian sejarawan, Sultannya amat bersahaja, hingga tempat tinggalnya pun tak jauh beda dengan rakyatnya. Ia menjadi kontras dengan Majapahit yang sudah lemah dan remuk oleh paregreg serta kesewenang-wenangan, tapi tetap bermewah-megah para penguasanya.
Para Sultan inipun tunduk pada Majelis Syuraa para ‘Ulama di Masjidnya. Mereka, dengan gelar “Sunan” di depan nama, menjadi pelanjut dari generasi dakwah sebelumnya yang penuh hikmah. Dan sahibul hikayat berkisah, sejak catatan kelana Ibn Batuththah “Ar Rihlah” dihadiahkan Sultan Maroko kepada Muhammad I dari Daulah ‘Utsmaniyah di Turki, dengan penuh semangat sang Sultan-Ghazi mengirimkan da’i-da’i tangguh ke kepulauan ini.
Sebagai gambaran tentang betapa terrencana dan rapinya kerja tim Futuhat ini dalam merancang syi’ar dakwah Nusantara, sebuah Kropak rangkaian lontara yang tersimpan di Ferrara, Italia, ternyata mencatat isi rapat para Wali itu dan merangkum pengajaran-pengajaran yang mereka sepakati dalam mendakwahi masyarakat Jawa saat itu. Jauh sebelum itu, Het Boek van Bonang telah menjadi rujukan para sejarawan untuk melacak strategi dakwah yang dahsyat dari tim yang masyhur dikenal sebagai Wali Sanga ini.
Dahsyat, sebab, betapapun mereka belum sempurna menunaikan tugas dakwahnya, dan siapakah memangnya yang sempurna dalam dakwah selain Rasulullah; tapi hingga hari ini, belum ada lagi satu tim beranggotakan hanya beberapa mu’allim yang dalam waktu kurang dari 50 tahun atas izin Allah mampu menjadikan sebuah kerajaan besar yang tegak dengan Hindu dan Budha sebagai agama resmi, nyaris semua penduduk jazirah intinya bersyahadat. Belum lagi nantinya kita melihat, bagaimana pusat pendidikan mereka di Ampel, Giri, Kadilangu, Kudus, dan Cirebon mendidik para calon ‘Ulama dan Sultan untuk Banten, Banjar, Mataram, Gowa, Ternate, Tidore, Bima, hingga Palembang.
Menyimak bagaimana misalnya Maulana Malik Ibrahim yang ahli irigasi dan persawahan menjawab persoalan pangan; bagaimana Maulana Maghribi I yang ahli ruqyah mengalahkan para dukun, klenik, tempat angker, dan sihir; bagaimana Maulana Ahmad Jumadil Kubra mendakwahi para penduduk gunung yang dikeramatkan; bagaimana Maulana ‘Aliyuddin dan Taqiyyuddin menekuni pengajaran di pelabuhan-pelabuhan; bagaimana Maulana ‘Ali Rahmatullah mendirikan sekolah kasatriyan di Ampeldenta untuk mengatasi krisis ketatanegaraan Majapahit; bagaimana Sunan Ngudung dan Maulana Ja’far Ash Shadiq menjawab persoalan strategi perang dan keprajuritan; hingga bagaimana Sunan Kalijaga menggubah budaya Islami untuk memassifkan tabligh; kita semakin takjub tentang bagaimana tim ini bekerja.
Maka inilah hutang besar kita, pada bangsa kita sendiri maupun dunia, sebuah syi’ar dakwah Nusantara.
Hutang terhadap diri sendiri sebab hari-hari ini kita berada di masa maraknya syi’ar namun sering tak terpimpin, tanpa arah, dan tak jelas hendak menuju mana dan meraih capaian apa; hingga kitapun susah menyebutnya “dakwah” apatah lagi “Futuhat”. Tak usah sejauh itupun, sejak kemerdekaan Republik Indonesia beberapa sensus telah digelar, dan prosentase jumlah ummat Islam terus menurun.
Litbang Kementerian Agama juga pernah merilis data, bahwa antara tahun 1970-an hingga 1990-an awal, buku-buku yang terbit di kalangan ummat Islam didominasi wacana Islamisasi pengetahuan, ekonomi Islam, hingga Politik Islam. Maka kitapun memanennya di akhir periode itu dengan tumbuhnya Ikatan Cendikiawan Muslim, ekonomi syari’ah, perbankan syari’ah, hingga kesadaran politik Islam.
Sebaliknya, antara tahun 1990-an akhir hingga hari ini, buku yang terbit kebanyakannya kembali mempertajam sisi-sisi khilafiyah furu’iyyah di kalangan ummat, antar ormas Islam, organisasi dakwah, dan antar harakah. Detail sekali peruncingan perbedaan itu hingga kitapun kembali memanennya dalam bentuk sensitifnya lagi soal-soal yang sebenarnya bertahun lalu telah diredam oleh para ‘Ulama dan Zu’ama dengan amat bijak.
Maka kalau hari ini dalam bingkai Islam Nusantara, tawassuth didengungkan dengan eksklusif seakan hanya kelompok kita yang moderat, tawazun didalilkan dengan jumawa seakan hanya kelompok kita yang seimbang, i’tidal dilanggamkan dengan nyaring seakan hanya kelompok kita yang tegak lurus, dan tasamuh didendangkan dengan nada tinggi seakan hanya kelompok kita yang toleran; kita justru sungguh khawatir ada bias terhadap syi’ar dakwah Nusantara yang menyentuh hati, merangkul, melayani, menyatukan, dan memberdayakan.
Belum lagi hutang kita pada Sultan Muhammad I yang mengirim da’i-da’inya ribuan mil, juga hutang kita pada para ‘ulama yang menempuh perjalanan jauh dan berbahaya, dan ukhuwah Islamiyah Mesir hingga Palestina yang diunjukkan penuh bangga mendukung kemerdekaan Indonesia. Seperti kaidah “Pay It Forward”, kita tertuntut pula membayarnya dengan membawa syi’ar dakwah Nusantara ini pada Eropa, Amerika, Australia, hingga China. Bahwa hari-hari ini, komunitas Muslim Nusantara di berbagai negeri kian menunjukkan peran dakwah mereka bersama saudara-saudaranya dari berbagai bangsa, semoga ianya bagian dari kabar gembira untuk masa depan.
Sebagai penutup, izinkan kami menyampaikan sebuah kisah.
Suatu saat kami sedang duduk di Masjid Jogokariyan, di hadirat Syeikh Dr. Abu Bakr Al ‘Awawidah, Wakil Ketua Rabithah ‘Ulama Palestina. Kami katakan pada beliau, “Ya Syeikh, berbagai telaah menyatakan bahwa persoalan Palestina ini takkan selesai sampai bangsa ‘Arab bersatu. Bagaimana pendapat Anda?”
Beliau tersenyum. “Tidak begitu ya Ukhayya“, ujarnya lembut. “Sesungguhnya Allah memilih untuk menjayakan agamanya ini sesiapa yang dipilihNya di antara hambaNya; Dia genapkan untuk mereka syarat-syaratnya, lalu Dia muliakan mereka dengan agama dan kejayaan itu.”
“Pada kurun awal”, lanjut beliau, “Allah memilih Bangsa ‘Arab. Dipimpin Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, dan beberapa penguasa Daulah ‘Umawiyah, agama ini jaya. Lalu ketika para penguasa Daulah itu beserta para punggawanya menyimpang, Allahpun mencabut amanah penjayaan itu dari mereka.”
“Di masa berikutnya, Allah memilih bangsa Persia. Dari arah Khurasan mereka datang menyokong Daulah ‘Abbasiyah. Maka penyangga utama Daulah ini, dari Perdana Menterinya, keluarga Al Baramikah, hingga panglima, bahkan banyak ‘Ulama dan Cendikiawannya Allah bangkitkan dari kalangan orang Persia.”
“Lalu ketika Bangsa Persia berpaling dan menyimpang, Allah cabut amanah itu dari mereka; Allah berikan pada orang-orang Kurdi; puncaknya Shalahuddin Al Ayyubi dan anak-anaknya.”
“Ketika mereka juga berpaling, Allah alihkan amanah itu pada bekas-bekas budak dari Asia Tengah yang disultankan di Mesir; Quthuz, Baybars, Qalawun di antaranya. Mereka, orang-orang Mamluk.”
“Ketika para Mamalik ini berpaling, Allah pula memindahkan amanah itu pada Bangsa Turki; ‘Utsman Orthughrul dan anak turunnya, serta khususnya Muhammad Al Fatih.”
“Ketika Daulah ‘Aliyah ‘Utsmaniyah ini berpaling juga, Allah cabut amanah itu dan rasa-rasanya, hingga hari ini, Allah belum menunjuk bangsa lain lagi untuk memimpin penjayaan Islam ini.”
Beliau menghela nafas panjang, kemudian tersenyum. Dengan matanya yang buta oleh siksaan penjara Israel, dia arahkan wajahnya pada kami lalu berkata. “Sungguh di antara bangsa-bangsa besar yang menerima Islam, bangsa kalianlah; yang agak pendek, berkulit kecoklatan, lagi berhidung pesek”, katanya sedikit tertawa, “Yang belum pernah ditunjuk Allah untuk memimpin penzhahiran agamanya ini.”
“Dan bukankah Rasulullah bersabda bahwa pembawa kejayaan akhir zaman akan datang dari arah Timur dengan bendera-bendera hitam mereka? Dulu para ‘Ulama mengiranya Khurasan, dan Daulah ‘Abbasiyah sudah menggunakan pemaknaan itu dalam kampanye mereka menggulingkan Daulah ‘Umawiyah. Tapi kini kita tahu; dunia Islam ini membentang dari Maghrib; dari Maroko, sampai Merauke,” ujar beliau terkekeh.
“Maka sungguh aku berharap, yang dimaksud oleh Rasulullah itu adalah kalian, wahai bangsa Muslim Nusantara. Hari ini, tugas kalian adalah menggenapi syarat-syarat agar layak ditunjuk Allah memimpin peradaban Islam.”
“Ah, aku sudah melihat tanda-tandanya. Tapi barangkali kami, para pejuang Palestina masih harus bersabar sejenak berjuang di garis depan. Bersabar menanti kalian layak memimpin. Bersabar menanti kalian datang. Bersabar hingga kita bersama shalat di Masjidil Aqsha yang merdeka insyaallah.” *
Penulis buku “Lapis-Lapis Keberkahan”. Twitter @salimafillah