Penyebutan kata kafir dalam Al-Qur`an sangat banyak dan jelas. Walau demikian, bukan berarti dibolehkan serampangan mengucapkan kata kafir. Beberapa hadits secara tegas menunjukkan betapa besar bahaya mengafirkan saudaranya. Lantas bagaimana bila yang dikafirkan adalah orang kafir?
Hidayatullah.com | DALAM kamus KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata kerja “mengafirkan” berarti: menganggap (memandang kafir), menjadikan kafir. Sedangkan dalam kamus bahasa Arab, kata “mengafirkan” berasal dari kata kaffara-yukaffiru-takfiiran yang berarti mengafirkan atau menuduh kafir.
Perihal mengafirkan dalam agama Islam bukan perkara gampang. Terlebih kalau yang disasar sebagai obyek kafir adalah sesama muslim. Apalagi kalau masalah yang melatarinya hanya perbedaan paham yang tak fundamental dalam agama, misalnya yang biasa disebut khilāfiyah.
Oleh karena itu, muslim yang baik tidak mudah mengeluarkan statemen kafir kepada sesama muslim hanya karena beda pemahaman. Sebab, dampak dari pengafiran ini sangat fatal.
Dari beberapa hadits berikut terlihat jelas betapa bahayanya masalah pengafiran ini:
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR: Muslim)
Dalam riwayat Bukhari juga disebutkan sabda Nabi:
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya: “Wahai Kafir” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.”
Ada lagi satu hadits yang bisa ditambahkan:
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Dan barangsiapa memanggil seseorang dengan kekufuan, atau berkata: ‘Wahai musuh Allah’ padahal tidak demikian, kecuali perkataan tersebut akan kembali kepadanya.” (HR: Muslim).
Ketiga hadits ini secara tegas menunjukkan betapa besar bahaya orang yang gampang mengafirkan saudaranya. Lantas bagaimana bila yang dikafirkan adalah orang kafir? Istilah lain: Mengafirkan orang kafir?
Pertanyaan ini terdengar lucu. Sebab, kalau orang sudah kafir, tidak perlu dikafirkan.
Mungkin maksudnya, menyebut kata kafir kepada orang di luar agama Islam, apakah ini dibenarkan? Dalam hal ini, Islam sangat gamblang.
Bahkan ada surah khusus yang disebut “Al-Kaafiruun” (Orang-orang kafir). Ketika menggambarkan secara tegas tidak ada kompromi dalam masalah akidah.
Tidak bisa ibadah dalam Islam dicampur adukkan dengan agama lain atas nama toleransi. Pada surah ini, jelas ada panggilan “kafir” dan tidak ada masalah.
Bukan hanya itu, yang disebut kafir oleh Al-Qur`an bukan saja orang-orang musyrik dan yang tak percaya Allah, bahkan Ahlul Kitab pun juga disebut kafir. Perhatikan ayat berikut:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”
Dalam Tafsir Al-Mukhtashar (1437: 599) dijelaskan, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir -dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta kaum musyrikin- pada hari Kiamat akan masuk neraka Jahanam, mereka menetap di dalamnya selama-lamanya. Mereka adalah seburuk-buruk ciptaan karena kekufuran mereka terhadap Allah dan pendustaan mereka terhadap Rasul-Nya.”
Jadi, di sini penyebutan kafir juga menyasar Ahli Kitab yang tidak percaya atau tidak beragama Islam. Bandingkan juga dengan tiga ayat dari Ssurah Al-Ma`idah berikut:
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَۚ قُلۡ فَمَن يَمۡلِكُ مِنَ ٱللَّهِ شَيًۡٔا إِنۡ أَرَادَ أَن يُهۡلِكَ ٱلۡمَسِيحَ ٱبۡنَ مَرۡيَمَ وَأُمَّهُۥ وَمَن فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗاۗ وَلِلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَيۡنَهُمَاۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ١٧
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam”. Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?” Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS: Al-Maidah: 17).
لَقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَۖ وَقَالَ ٱلۡمَسِيحُ يَٰبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمۡۖ إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٖ ٧٢
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS: Al-Maidah: 72)
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٖۘ وَمَا مِنۡ إِلَٰهٍ إِلَّآ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۚ وَإِن لَّمۡ يَنتَهُواْ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٧٣
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS: Al-Maidah: 73).
Pada tiga ayat tersebut disematkan diksi “laqad kafara” (sungguh telah kafir) kepada kepercayaan menyimpang dari kalangan Nashrani. Ini dalam konteks menunjukkan letak penyimpangan mereka. Dan menunjukkan kebenaran paham Islam.
Dr. Azharuddin Sahil dalam bukunya berjudul “ Indeks Al-Qur`an” (2007: 316-328) menyebutkan kata kafir berikut derivasinya dalam 13 halaman. Dan setelah penulis hitung, setidaknya ada sebanyak 296 diksi dalam Al-Qur`an berikut turunannya.
Ini menunjukkan betapa penyebutan kata kafir dalam Al-Qur`an sangat banyak dan jelas. Walau demikian, bukan berarti dibolehkan serampangan mengucapkan kata kafir. Apalagi ketika kata “kafir” digunakan untuk mengejek agama lain atau kepercayaan non-muslim.
Ayat Al-Quran nya sudah jelas:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am [6]: 108).
Di samping itu, dalam konteks dakwah atau menyampaikan dakwah kepada komunikan dakwah, juga perlu dipilih diksi yang lebih halus daripada kafir. Sebab, bila dilihat dari dakwah Nabi, meski yang dituju adalah orang kafir, tapi beliau tidak memanggil mereka “Ya Kafir” justru dakwah beliau dibalut dengan kebijaksanaan, nasihat yang baik dan bila perlu debat dengan cara terbaik.
Dari sini sudah jelas bahwa menyebutkan kekafiran seseorang dalam konteks akademis dan konteks menunjukkan keyakinan umat Islam terkait haq dan bathil dalam pandangan Islam tidak ada masalah. Malah sangat fatal jika ini dilarang, sebab jika itu diterapkan akan menghapus ratusan ayat Al-Qur`an.
Hal itu tidak bisa disebut toleransi, tapi malah menjurus ke pluralisme agama dengan jargon: tidak boleh merasa benar sendiri dan menyalahkan kepercayaan lain, karena pada dasarnya semua agama benar.
Di sisi lain, bila penyebutan kafir ini dimaksud untuk mengejek, maka ini tidak dibenarkan itu hanya akan menambah masalah baru dan merusak toleransi bahkan bisa mencoreng dakwah Islam. Maka mengucapkan kata kafir baik kepada sesama saudara muslim atau kepada yang lainnya, harus ditimbang dengan penuh kehati-hatian, tidak serampangan.*/Mahmud B Setiawan