Hidayatullah.com | SALAH satu dari hak istri atas suami adalah menggaulinya dan memenuhi kebutuhan biologisnya. Hal yang menunjukkan akan hal itu adalah hadits berikut:
عن عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ العَاصِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ؟» قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «فَلاَ تَفْعَلْ، صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا» (رواه البخاري: 5199, 7/31)
Artinya: Dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash, ia berkata,”Rasulullah telah bersabda, ’Wahai Abdullah, bukankah aku telah memperoleh kabar, bahwa sesungguhnya engkau berpuasa di siang hari dan malakukan qiyam di malam hari?’ Aku menjawab,’Benar wahai Rasulullah.’ Ia bersabda,’Janganlah engkau melakukannya, berpuasalah dan berbukalah, bangunlah di malam hari dan tidurlah, sesungguhnya badanmu memilki hak atasmu dan bagi istrimu hak atas dirimu.’” (Riwayat Al Bukhari: 5199, 31/7)
Al-Qasthalani berkata mengenaikesimpulan hadits di atas, ”Hendaklah engkau tidak melakukan ibadah secara berlebihan hingga engkau tidak mampu menunaikan haknya (istri) dalam hubungan suami-istri dan mencari nafkah.” (Irsyad As Sari, 8/99)
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لِحَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: ” كَمْ أَكْثَرُ مَا تَصْبِرُ الْمَرْأَةُ عَنْ زَوْجِهَا؟ “. فَقَالَتْ: سِتَّةُ أَوْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ. فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: ” لَا أَحْبِسُ الْجَيْشَ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا” (رواه البيهقي في السنن الكبرى: 50817, 9/51)
Artinya: Umar bin Al Khaththab bertanya kepada Hafshah putrinya,”Berapa lama paling lama sesorang perempuan bisa bersabar dari suaminya?” Ia menjawab, ”Enam atau empat bulan.” Maka Umar berkata,”Aku tidak akan menahan pasukan lebih dari itu.” (Riwayat Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra: 17850, 9/51)
Frekwensi Menggauli Istri
Jika menggauli istri adalah kewajiban, lantas bagaimana dengan jumlah kadar yang harus ditunaikan? Para ulama menyampaikan mengenai frekwensi hubungan seksual suami istri dengan berbagi pendapat:
- Diwajibkan oleh Pengadilan Sekali
Ibnu Al Humam dari ulama Madzhab Hanafi menyampaikan, ”Ketahuilah sesungguhnya tidak melakukan hubungan seksual dengan istri secara mutlak tidak dihalalkan bagi suami. Dan para ulama madzhab ini menyampaikan bahwsannya mengauilnya secara kadang-kadang hukumnya wajib menurut dien akan tetapi pengadilan tidak memiliki intervensi, adapun intervensi pengadilan adalan dengan mewajibkan menggaulinya sekali untuk yang pertama. Dan mereka tidak menentukan jumlah frekwensinya dalam suatu waktu.” (dalam Fath Al Qadir, 3/302)
- Hubungan Seksual 4 Hari Sekali
Beberapa ulama berpendapat bahwasannya hubungaan seksual yang ideal dilakukan empat hari sekali. Imam Al-Ghazali menyampaikan, ”Dan hendaknya ia (suami) mendatanginya (istri) dalam setiap empat hari sekali, dan ia yang paling proporsional. Dan diperbolehkan menunda sampai batas tersebut. Dan hendaknya ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan istri, dalam rangka menjaga kehormatan. Sesungguhnya penjagaan kehormatan istri adalah kewajiban suami.” (dalam Ihya` Ulumuddin, 2/52)
Hal yang sama disampaikan oleh Az-Zurqani seorang ulama Madzhab Maliki, ”Diwajibkan bagi setiap lelaki menggauli istrinya. Dan ia menunaikan hal itu saat timbul kerusakan ketika tidak melakukannya. Jika istrinya mengeluhkan sedikitnya (hubungan seksual) maka suami menunaikan untuk istrinya itu satu malam di setiap empat hari.” (dalam Syarh Az Zurqani ‘ala Mukhtashar Khalil,4/56)
- Hubungan Seksual Sesuai dengan Kebutuhan Istri dan Kemampuan Suami
Sedangkan Ibnu Taimiyah dari Madzhab Hanbali menyampaikan, ”Wajib kepada seorang laki-laki menggauli istrinya dengan sebaik-baiknya, yaitu sesuai dengan kebutuhannya istri dan kemampuan suami. Sebagaimana ia memberi makanan untuk istri dan membelanjakan harta untuknya, sesuai dengan kebutuhan istri dan kemampuan suami, tanpa adanya penetapan sekali dalam setiap bulan atau dalam empat bulan, atau dalamsatu pekan, atau dalam satu hari dalam setiap empat hari atau selain itu.” (dalam Majmu` Al Fatawa, 29/174)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, ”Wajib bagi suami menggauli istrinya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana ia membelanjakan hartanya untuk istrinya dengan sebaik-baiknya, dan memberi pakaian untuknya dengan sebaik-baiknya… Para ulama berkata, ”Pada suami hendaklah ia membuat istrinya puas dengan menggaulinya, sesuai kemampuannya, sebagaimana ia membuat istrinya kenyang dengan makanan.” (Dalam Raudhah Al Muhibbin, hal.217)
Dari paparan di atas, semua ulama sepakat bahwasannya menggauli istri adalah kewajiban, karena itu adalah bagian dari hak istri terhadap suami dan mereka pun menyatakan bahwa hal itu menyesuaikan kebutuhan istri, meski sebagian ulama memperkirakan bahwa hal itu dilakukan empat hari sekali atau dalam frekwensi lainnya. Wallahu a`lam bish shawab.*