Tujuan diwajibkannya kehadiran dua orang saksi pernikahan adalah untuk keabsahan hubungan laki-laki dan perempuan, serta menghindari pengingkaran salah satu pihak
Hidayatullah.com | SETELAH melakukan akad jual-beli dengan tempo pembayaran tiga hari, seorang pembeli dan penjual pun berpisah. Tiga hari kemudian, ketika pembeli melakukan pembayaran, terjadilah perselisihan soal harga barang.
Seandainya saja ada saksi yang mengetahui akad jual-beli tadi, tentu hal ini tak perlu terjadi. Karena itulah, maka dalam setiap mu’amalah keberadaan saksi dihukumkan sunnah oleh syariat. Peristiwa jual-beli di atas dipakai sebagai contoh saja dan tidak menjadi inti bahasan dalam tulisan ini.
Berbeda dengan saksi dalam pernikahan yang hukumnya wajib. Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ، وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيٌّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda: “Tidak pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Pernikahan yang bukan atas jalan demikian, maka batil. Seandainya mereka berbantahan, maka sulthan yang menjadi wali orang-orang yang tidak mempunyai wali.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya)
Tujuan diwajibkannya kehadiran dua orang saksi adalah untuk berhati-hati dalam keabsahan hubungan laki-laki dan perempuan, serta menghindari pengingkaran salah satu pihak. Sebuah akad nikah menjadi sah jika ada dua orang saksi, baik kehadiran mereka disengaja atau tidak.
Untuk menjadi saksi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
- Pertama, laki-laki.
- Kedua, baligh (dewasa).
- Ketiga, berakal sehat.
- Keempat, adil.
- Kelima menjaga muru’ah (harga diri).
- Keenam, dapat melihat.
- Ketujuh, dapat mendengar.
- Kedelapan, dapat berbicara meskipun cadel (pelat, jawa).
- Kesembilan, memiliki daya ingat normal.
- Kesepuluh, saksi bukanlah orang yang seharusnya menjadi wali.
Adil dalam istilah syariat adalah meninggalkan semua dosa besar (pelanggaran agama yang diancam keras dalam Al-Qur’an dan hanya melakukan dosa-dosa kecil). Orang yang melakukan dosa besar, akan kehilangan sifat adilnya dan menjadi fasiq.
Adapun mereka yang melakukan dosa kecil sekali pun terus-menerus, tetapi masih ada ketaatan yang dilakukannya, ia masih tergolong adil. Jika perbuatan maksiatnya melebihi ketaatan-ketaatannya, ia tergolong fasiq dan tidak dapat menjadi saksi.
Menjaga muru’ah (harga diri). Yang dimaksud muru’ah ialah sebuah kepribadian yang membawa seseorang pada akhlak dan kebiasaan yang baik.
Dengan definisi lain, harga diri ialah berakhlak sebagaimana orang-orang yang setara dengannya. Yang dimaksud akhlak di sini adalah akhlak yang mubah bukan akhlak yang melanggar kesopanan.
Oleh karena itu, harga diri bisa hilang dengan makan, minum dan menanggalkan kopyah di tempat yang tidak pantas. Begitu juga mencukur jenggot, banyak tertawa di depan orang, banyak bermain-main (semua game yang tidak bernilai ibadah), sering menyanyi, mendengarkan lagu-lagu atau menari-nari.
Adapun orang yang jarang melakukan hal-hal demikian (tertawa, banyak bermain dan sebagainya) maka harga dirinya tidak gugur.
Muru’ah juga akan hilang oleh profesi yang terkesan rendah, seperti pekerjaan tukang bekam, tukang sapu atau tukang samak kulit jika pekerjaan itu tidak pantas untuk orang sekelasnya. Hukum melakukan hal-hal yang dapat menghilangkan harga diri tidaklah haram kecuali jika berhubungan dengan persaksian.
Maksudnya, jika ia harus bersaksi dalam pengadilan, maka haramlah baginya melakukan hal-hal yang menggugurkan harga diri karena hal itu dapat merusak kesaksiannya.
Syarat berikutnya adalah melihat dan mendengar. Mendengar menjadi syarat sebab yang dipersaksikan adalah sebuah ucapan. Untuk memastikan siapa yang mengucapkan maka melihat juga disyaratkan.
Dengan demikian, maka kesaksian orang buta tidak sah. Berkaitan dengan ini, tidak sah pula kesaksian akad nikah yang dilakukan dalam kegelapan. Hal ini disebabkan saksi tidak dapat mengetahui siapa yang meng-ijab dan siapa yang meng-qabul. Mengenal suara seseorang saja tidak bisa diandalkan dalam sebuah kesaksian.
Syarat yang lain adalah, dapat berbicara meskipun cadel (pelat, jawa). Kesaksian orang bisu tidak sah sekali pun bahasa isyaratnya bisa dipahami. Bahasa isyarat masih mengandung banyak ketidak-pastian.
Sebenarnya, syariat menyamakan bahasa isyarat bagi orang bisu dengan ucapan orang normal dalam semua bab muamalat. Dari jual- beli sampai akad nikah, orang bisu boleh berkomunikasi dengan bahasa isyarat, kecuali dalam tiga hal:
Pertama, dalam memberikan kesaksian. Kedua, jika ia bersumpah tidak akan berbicara kemudian ia menjadi bisu dan berbicara dengan bahasa isyarat maka tidak dianggap melanggar sumpah. Ketiga, memakai isyarat dalam sholat, maka tidak membatalkan.
Syarat berikutnya yaitu memahami bahasa yang dipakai dalam akad nikah. Jika saksi tidak memahami bahasa yang dipakai dalam akad nikah maka pernikahan itu tidak sah sekali pun saksi telah menghafal setiap kata-katanya.
Begitu juga jika bahasa tersebut diterjemahkan setelah wali meng-ijab dan setelah suami meng-qobul, karena ia tidak memahami bahasa tersebut saat akad berlangsung.
Berbeda dengan ijab–qobul yang dilakukan secara bilingual (dua bahasa), ketika terdapat perbedaan antara bahasa wali dengan bahasa suami, kemudian setelah wali meng-ijab dan menerjemahkan bahasanya. Setelah suami meng-qobul, bahasanya juga harus diterjemahkan agar kedua belah pihak saling memahami bahasa masing-masing, maka hal itu boleh.
Dalam akad, hanya disyaratkan adanya qobul dari suami setelah wali meng-ijab. Sedangkan saksi disyaratkan harus memahami apa yang ia tangkap ketika menyaksikan ijab–qobul tersebut, dan hal ini tidak bisa didapatkan dengan terjemahan.
Memiliki daya ingat normal. Yang dimaksud di sini tidak dungu dan bukan pelupa berat yang tidak dapat menangkap setiap perkataan.
Ada pun orang yang dapat mengingat suatu kejadian tetapi mudah lupa, maka kesaksiannya tetap diterima karena anggapan bahwa hal itu lumrah saja. Termasuk dalam daya ingat normal ini adalah jika ia dapat mengungkapkan kembali di hadapan hakim kata-kata yang diucapkan wali dan suami dalam akad nikah tanpa ada penambahan dan pengurangan.
Oleh karena itu, tidaklah sah suatu kesaksian (di hadapan hakim) dengan menceriterakan kesimpulan saja, atau hanya mengungkapkan isi kandungan akad tanpa dapat mengulang kembali kata-katanya secara lengkap. Boleh jadi saksi menghilangkan kata-kata yang menurutnya tidak penting, tetapi bagi hakim justru kata-kata itu sangat penting.
Syarat terakhir, saksi bukanlah orang yang seharusnya menjadi wali. Jika ia harus menjadi wali tetapi ia malah memilih menjadi pelengkap saksi, maka pernikahan tersebut tidak sah.
Sebagai contoh, seorang wali tunggal (ayah, kakek atau saudara tunggal) mewakilkan ijab kepada orang yang seharusnya menjadi saksi, padahal dalam ruangan itu hanya ada empat orang, yakni saksi sendiri, calon suami dan dua orang saksi. Kemudian bersama seorang lainnya ia menjadi saksi nikah dan yang meng-ijab adalah wakil yang seharusnya menjadi saksi tadi.
Pernikahan ini tidak sah sebab seorang wakil hanyalah perantara dan apa pun yang dilakukan wakil seakan orang yang mewakilkan itulah yang melakukannya. Lebih jelasnya, jika salah satu dari dua orang saksi telah menjadi wakil untuk meng-ijab, berarti saksi nikahnya tinggal satu orang saja. Wali tidak bisa menggantikan posisi saksi yang lainnya.
Dengan memenuhi syarat-syarat di atas, maka lengkaplah rukun-rukun pernikahan dan akad nikah yang dilakukan agar menjadi sah. Hal ini penting diketahui bukan saja oleh calon mempelai, tapi juga oleh wali atau orang yang akan dijadikan wali maupun saksi.*/Zahid Ilham