Apakah shalat ghaib itu disyariatkan? Apakah Baginda Rasulullah ﷺ pernah melakukan shalat ghaib, bagaimana pendapat imam madzhab?
Hidayatullah.com | Assalamu’alaikum. Apa hukum shalat jenazah untuk mayit ghaib? (shalat ghoib, red). Menimbang adanya sebab bagi seseorang hingga ia tidak bisa hadir dan menshalatkan jenazah di waktu-waktu tertentu?
Wahid | Bekasi
***
Shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah bagi mayoritas ulama, di mana syari`at juga memotivasi untuk mengamalkannya.
عن أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ شَهِدَ الجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ، فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ»، قِيلَ: وَمَا القِيرَاطَانِ؟ قَالَ: «مِثْلُ الجَبَلَيْنِ العَظِيمَيْنِ» (أخرجه البخاري: 1325، 2/87).
Dari Abi Hurairah radhiyallahu `anhu ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, ”Barangsiapa menyaksikan jenazah sampai ia melaksanakan shalat (janazah), maka baginya satu qirath, dan barangsiapa menyaksikan sampai ia dimakamkan maka baginya dua qirath.” Dikatakan,”Dan apa dua qirath itu?” Rasulullah ﷺ bersabda,”Seperti dua gunung yang besar. ” (Riwayat Al Bukhari: 1325, 2/87).
Asal shalat janazah, jenazah ada di depan orang yang menshalatkan di posisinya sejajar dengan kiblat bagi orang-orang yang menshalatkannya. Nah, bagaimana dengan menshalatkankan jenazah namun jenazah tidak ada, hal ini biasa disebut dengan shalat ghaib? Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya berkenaan dengan hal ini.
Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi memandang bahwasannya shalat ghaib tidak disyariatkan, sedangkan shalatnya Rasulullah ﷺ untuk jenazah Raja Najasyi merupakan kekhususan beliau, sedangkan tidak ada nukilan bahwasannya Rasulullah ﷺ menshalatkan jenazah para sahabat beliau secara ghaib. (Ad Durr Al Mukhtar wa Hasyiyah Ibni Abidin, 2/209).
Madzhab Maliki
Sedangkan dalam Madzhab Mailiki shalat ghaib merupakan perbuatan makruh. Mereka berhujjah seperti hujjah Madzhab Hanafi, di mana hal itu merupakan kekhususan yang hanya diamalkan oleh Rasulullah ﷺ saja. Di mana Rasulullah ﷺ juga tidak menshalati para sahabat setelah beliau melakukan untuk Raja Najasyi. (Lihat, Syarh Mukhtashar Khalil li Al Kharasyi, 2/143).
Madzhab Syafi`i
Imam An-Nawawi menyampaikan; ”Boleh menshalatkan secara ghaib dengan niat, meskipun ia (jenazah) tidak berada di arah kiblat, sedangkan yang menshalatkan menghadap arah kiblat, sama saja di antara keduanya terpaut jarak qashar atau tidak.” (Raudhah Ath Thalibin, 2/130).
Madzhab Hanbali
Al Allamah Al Buhuti menyampaikan, ”Pemimpin agung menshalatkan, juga lainnya secara ghaib dari negeri itu, meskipun kurang dari jarak qashar atau yang tidak berada di kiblat yang menshalatkan, dengan niat, sampai satu bulan. Hal itu seperti shalat untuk jenazah yang dimakamkan. Akan tetapi satu bulan di sini adalah satu bulan sejak kematiannya.” (Kasyaf Al Qina`, 2/122).
Madzhab Syafi`i dan Hanbali berdalil dengan Hadits, di antaranya adalah:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى النَّجَاشِيِّ، فَكُنْتُ فِي الصَّفِّ الثَّانِي أَوِ الثَّالِثِ» (أخرجه البخاري: 1317، 2/86)
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu `anhuma, ”Sesungguhnya Rasulullah ﷺ shalat untuk An Najasyi, sedangkan aku berada di shaff dua atau tiga.” (Riwayat Al Bukhari: 1317, 2/86).
Ibnu Qudamah dari Madzhab Hanbali menjawab pendapai bahwa itu adalah khusus Rasulullah ﷺ, ”Kami mencontoh Rasulullah ﷺ, selama tidak ada dalil khususiyah.” (Al Mughni, 2/382).
Syarat Pelaksanaan Shalat ghaib menurut Madzhab Syafi`i dan Hanbali
Madzhab Syafi`i mensyaratkan bahwasannya shalat ghaib bisa dilaksanakan ketika jenazah dan yang menshalatkan berada di dua negeri yang berbeda, dan tidak disyaratkan jarak sejauh jarak qashar dalam shalat, dan bisa dilaksanakan meski lebih dekat dari jarak itu. Dengan demikian maka shalat ghaib tidak dilaksanakan ketika jenazah dan yang menshalatkan masih sama-sama dalam satu negeri.
Namun dalam syarat ke dua ada perbedaan, di mana Madzhab Syafi`i tidak mensyaratkan waktu tertentu, hingga seseorang bisa melaksanakan shalat ghaib meski jauh dari waktu wafatnya. Namun dalam hal ini, Madzhab Hanbali membatasi satu bulan setelah kewafatannya. (Lihat, Tuhfah Al Muhtaj, 3/149, Syarh Al Muntaha li Al Buhuti, 1/363).*/Thoriq, Lc, MA, pengasuh rubrik Fikih Majalah Suara Hidayatullah