Oleh: Alwi Alatas
Hidayatullah.com | BULAN Mei di Indonesia mungkin dapat disebut sebagai bulan pendidikan dan bulan kebangkitan, karena pada tanggal dua di bulan tersebut diperingati Hari Pendidikan Nasional dan pada tanggal dua puluh diperingati Hari Kebangkitan Nasional. Kedua hal itu memang berkaitan, tiada kebangkitan tanpa adanya pendidikan yang baik.
Di dalam Islam, pendidikan juga memiliki kedudukan yang sangat penting. Dalam konteks sejarah Indonesia di awal abad ke-20, upaya pembaruan pendidikan dan pendirian sekolah modern yang menjadi pionir kebangkitan masyarakat sebenarnya dimulai oleh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Jam’iyyat Khair di Jakarta dan Sekolah Adabiyah di Padang Panjang berdiri pada dekade pertama abad ke-20. Pada dekade berikutnya, Sarekat Islam dan Muhammadiyah juga mendirikan sekolah-sekolah. Hanya sayangnya kenyataan ini tidak menjadi rujukan bagi penentuan Hari Pendidikan Nasional.
Bahkan sebelum munculnya sekolah-sekolah lokal modern di Indonesia pada awal abad ke-20 dan juga sebelum adanya sekolah-sekolah Belanda pada dekade-dekade sebelumnya, pesantren-pesantren tradisional telah lama memainkan peranan penting dalam mendidik masyarakat serta dalam membangun literasi (Ricklefs, 2001: 151-152). Adapun keberadaan pesantren merupakan kesinambungan dari budaya ilmu di dunia Islam.
Islam memang menekankan akan pentingnya pendidikan serta transmisi keilmuan sejak awal kemunculannya di Jazirah Arab. Tulisan kali ini akan mengangkat tentang muncul dan berkembangnya institusi kuttāb dan madrasah di dalam sejarah Islam, sehingga dapat membantu kita memahami bagaimana lembaga pendidikan Islam memainkan peranannya di dalam sejarah.
Lembaga pendidikan dasar: kuttāb
Turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah ﷺ berupa perkataan iqra’ (QS 96: 1) menunjukkan pentingnya ilmu dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam pandangan Islam, tempatnya ilmu adalah di dalam dada seorang alim, dan para penuntut ilmu didorong untuk datang dan belajar kepada mereka yang memiliki ilmu. Karena itu, inti dari lembaga pendidikan adalah guru, atau mereka yang memiliki ilmu dan layak untuk mengajar. Ketika lembaga pendidikan atau sekolah muncul dan berkembang dengan segala fasilitasnya, maka semua itu pada hakekatnya adalah ekstensi atau perluasan dari seorang guru.
Syed Muhammad Naquib al-Attas (2018) mendefinisikan ilmu sebagai “sampainya jiwa kepada makna sesuatu atau obyek dari ilmu”. Jiwa yang dapat mencapai makna ini tentu saja berada pada diri manusia, bukan pada sekolah atau perguruan tinggi. Karena itu tanpa otoritas guru yang beradab, sekolah hanyalah entitas yang kehilangan makna. Bangga akan fasilitas sekolah yang hebat, tetapi pada saat yang sama mereduksi keberadaan serta peranan guru-guru yang mengetahui dan memiliki adab, merupakan suatu pemahaman pendidikan yang keliru dan semu. Kekeliruan semacam ini, dalam pandangan Islam, hanya akan melahirkan kerancuan dan kerusakan, seperti yang ditulis Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud (2020: 32) di dalam kumpulan puisinya Jalan Pulang:
Budaya Dungu leburkan Nizamiyyah dengan kuasa dan fitnah
Menggantikan Hujjatul Islam dengan Hassan bin Sabbah
Penjarakan sarjana dengan peraturan dan halangan
Menutup kebenaran dengan amaran dan sanjungan
Pada bagian lain beliau (2020: 9) menulis:
Bolehkah khinzir dikalungi permata
Kera dihadiahkan mawar berharga?
Pabila ilmu ketandusan makna:
Keras suara penentu wibawa

Pada zaman dahulu, saat Nabi ﷺ berada di Makkah, para sahabat biasa berkumpul dan belajar di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam ataupun di tempat-tempat lainnya dengan fasilitas yang biasa saja. Ketika Nabi dan para sahabat hijrah ke Madinah dan membangun Masjid Nabawi di kota itu, masjid memainkan peranan utama dalam proses pendidikan dan transmisi ilmu.
Sejak saat itu, bahkan hingga ke masa sekarang ini, masjid masih memainkan peranan yang penting di bidang pendidikan. Kelak dari masjid akan berkembang institusi pendidikan yang memiliki bangunan tersendiri, walaupun masjid mungkin tetap menjadi bagian penting dari lembaga tersebut. Di antara bentuk perkembangannya adalah dengan munculnya madrasah.
Bagaimanapun madrasah pada masa lalu bukanlah lembaga pendidikan dasar dan menengah seperti yang hari ini banyak dijumpai di Indonesia, dengan tingkatan mulai dari ibtida’iyah hingga Aliyah. Madrasah pada masa lalu adalah lembaga pendidikan tinggi, kurang lebih sebanding dengan perguruan tinggi (college).
Untuk pendidikan dasar, ada lembaga lain yang muncul dan berkembang sejak awal sejarah Islam, yaitu kuttāb (atau maktab) yang berkaitan dengan kata kātib yang berarti ‘penulis’ (Landau, 1985: 567). Penggunaan kata kuttāb untuk sekolah dasar sudah muncul sejak masa hidup Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, sebagaimana yang diriwayatkan dari Anbasah bahwa ia melihat Ibn Umar memberi salam kepada anak-anak (ṣibyān) di suatu sekolah (al-kuttāb) (al-Bukhari, 1971: 654, hadith No. 1044). Bagaimanapun, keberadaannya pada masa yang awal ini tentunya masih sangat terbatas.
Guru di lembaga ini, sebagaimana contoh di Baghdad pada awal abad ke-4 Hijriah, disebut sebagai mu’addib. Di kuttāb atau maktab, setidaknya pada abad ke-4/10 dan ke-5/11, anak-anak Muslim mempelajari al-Qur’an, menulis dan kaligrafi, dasar-dasar keyakinan (i’tiqad), serta puisi (Makdisi, 1981: 19). Kurikulum ini mungkin sebagiannya sulit difahami dalam konteks masyarakat modern. Bagaimanapun, kurikulum tersebut secara langsung ataupun tak langsung dapat dipastikan telah mentransmisikan pandangan alam Islam kepada para peserta didik menurut kadar usia mereka.
Istilah kuttāb dan maktab secara umum dapat saling dipertukarkan, tetapi di daerah tertentu seperti Nishapur di timur laut Iran keduanya mewakili fase pendidikan yang berbeda. Abd al-Ghafir al-Farisi (w. 529/1134), seorang pakar hadith bermazhab Syafi’i, masuk maktab di kota itu saat berusia lima tahun dan belajar al-Qur’an serta dasar aqidah di lembaga itu. Saat berusia sepuluh tahun ia masuk kuttāb dan mempelajari sastra serta menyalin dan menghafalkan buku-buku yang berkaitan dengan tema ini. Terlepas dari itu, kuttāb atau maktab juga menjadi pendidikan dasar bagi mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (Makdisi, 1981: 19).
Kemunculan dan perkembangan madrasah
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, selepas menempuh pendidikan dasar, para pelajar dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Pada awalnya, hal ini biasanya ditempuh bukan melalui lembaga, melainkan langsung kepada individu-individu ulama. Bidang lanjutan yang paling popular adalah Fikih atau Hukum Islam, walaupun ada juga yang mendalami bidang-bidang lainnya seperti Bahasa Arab, Kalam (Teologi), Filsafat, maupun bidang-bidang sains seperti Kedokteran.
Setelah terbentuknya mazhab-mazhab fikih pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah (abad ke-8 dan ke-9 Masehi), bidang fikih yang banyak diambil oleh para pelajar lanjutan biasanya mengikuti jalur mazhab fikih yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali).
Pada awalnya pelajaran fikih berlangsung di masjid, biasanya selama empat tahun. Keperluan akan tempat tinggal bagi guru dan pelajar menjadikan lembaga pendidikan tinggi ini berkembang dari masjid kepada masjid-khan (masjid dengan bangunan tempat tinggal di sekitarnya) dan kemudian kepada madrasah. Masjid-khan berkembang pada skala yang luas pada abad ke-4/10, sementara madrasah berkembang pada abad ke-5/11 (Makdisi, 1981: 27-28).
Madrasah berasal dari akar bahasa Arab darasa yang bermakna ‘belajar’. Namun, menjelang dan pada masa berkembangnya lembaga ini sebagai institusi pendidikan, kata ini telah menjadi istilah khusus bagi pelajaran fikih. Kata darrasa yang sebenarnya bermakna umum ‘mengajar’ atau ‘menginstruksikan’ dalam konteks ini bermakna mengajarkan fikih. Kata dars digunakan untuk pelajaran fikih dan pengajar fikih disebut sebagai mudarris. Dengan demikian, setidaknya pada awal perkembangannya, madrasah dapat disebut sebagai perguruan tinggi hukum Islam (college of law) (Makdisi, 1961: 10). Abu Ishaq al-Shirazi (w. 476/1083), pakar fikih mazhab Syafi’i yang menjadi profesor pertama Madrasah Nizamiyah Baghdad, misalnya, disebut oleh al-Farisi (1989: 124) sebagai seorang faqih Irak dan mudarris di Baghdad. Ia mengajar fikih (darrasa) di Baghdad selama lebih dari tiga puluh tahun. Seorang ulama lainnya, Ismail bin Zahir (w. 479/1086), mempelajari fikih (darasa al-fiqh) pada masa mudanya pada Abu Bakar al-Tusi dan aktivitas itu berlangsung di masjid (al-Farisi, 1989: 139).
Kemunculan madrasah sebagai sekolah tinggi hukum, lagi-lagi, menunjukkan popularitas bidang fikih di antara cabang-cabang keilmuan yang ada. Bagaimanapun, ini tidak bermakna fikih menjadi satu-satunya bidang yang diajarkan di dalam madrasah. Ismail bin Zahir yang telah disebutkan di atas, misalnya, mengajar hadits (Majlis al-Imlā’) selama bertahun-tahun di Madrasah Nizamiyah (al-Farisi, 1989: 139). Begitu pula kadar dan komposisi pelajaran yang diberikan di dalam madrasah mungkin tidak persis sama antara satu madrasah dengan madrasah yang lain, walaupun ada kitab-kitab standar yang dipelajari di dalam madrasah-madrasah tersebut. Selain itu, munculnya madrasah juga tidak menghentikan pelajaran fikih yang ada di masjid.
Karena proses perkembangannya yang gradual dari satu fase ke fase berikutnya, tidak mudah untuk menentukan kapan tepatnya madrasah muncul untuk pertama kalinya di dalam sejarah. Beberapa sumber menyebut tentang Masjid al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, yang dibangun oleh Fatimah al-Fihriyah pada tahun 859 serta madrasah dengan nama dan lokasi yang sama yang masih berfungsi hingga hari ini.
Jika merujuk pada narasi ini, Madrasah al-Qarawiyyin dapat dianggap sebagai madrasah yang paling awal di dalam sejarah. Bagaimanapun, tidak begitu jelas apakah istilah madrasah digunakan sejak awal bagi lembaga pendidikan ini. Selain itu, setidaknya pada masa yang belakangan, lembaga pendidikan ini memiliki kurikulum yang berbeda dengan madrasah-madrasah di pusat kekhalifahan Islam sehingga berbeda juga secara kategori dengan madrasah yang telah dijelaskan sebelum ini. Dikatakan bahwa Madrasah al-Qarawiyyin mengajarkan Matematika, Kedokteran, Logika, Astronomi, Sejarah, Geografi, dan Musik, di samping juga al-Qur’an dan fikih (FSTC, 2004), berlainan dengan madrasah-madrasah di Iraq-Iran-Suriah-Mesir yang menekankan pada fikih dan ilmu-ilmu agama.
Ada sebagian yang berpendapat bahwa madrasah yang pertama di dalam sejarah adalah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Muluk (w. 485/1092) di Baghdad pada tahun 459/1067. Namun pandangan ini tidak akurat, karena sebelum berdirinya Nizamiyah sudah ada beberapa madrasah lainnya di dunia Islam.
Walaupun tidak mudah untuk melacak madrasah yang pertama berdiri, setidaknya kita mengetahui bahwa madrasah sudah muncul pada awal abad ke-11 Masehi. Di samping Baghdad, Nishapur merupakan kota yang menonjol pada masa itu terkait dengan dunia pendidikan. Nama-nama madrasah yang berdiri pada masa ini biasanya tidak disebutkan secara jelas, tetapi madrasah-madrasah ini dikenal karena ulama yang menjadi pimpinannya.
Sebelum tahun 418/1027 sudah ada sebuah madrasah yang dipimpin oleh Abu Ishaq al-Isfaraini (w. 418/1027), seorang teolog dan ulama penting Mazhab Syafi’i yang majelisnya antara lain dihadiri oleh Syaikh Abul Qasim al-Qusyairi dan al-Hafiz Abu Bakar al-Baihaqi. Sayangnya tidak disebutkan kapan persisnya lembaga pendidikan ini berdiri, walaupun secara jelas disebutkan sebagai ‘madrasah yang masyhur di Nishapur’ (Ibn Khallikān, n.d.: I/28).
Abd al-Ghafir al-Farisi (1989: 120-121) menyebutkan adanya satu lembaga pendidikan di Nishapur yang dipimpin oleh al-Isfaraini sejak tahun 410/1019-1020, menggantikan Abū Ṭāhir al-Ziyādī, tetapi tempatnya di masjid dan ia menyebutnya dengan nama Majlis al-Imlā’ yang biasanya berkaitan dengan ilmu hadith. Bagaimanapun, boleh jadi ini merupakan lembaga yang berbeda dengan yang disebut oleh Ibn Khallikan.
Beberapa dekade sebelumnya, tepatnya pada tahun 391/1001, Abu Ali al-Daqqaq, seorang syaikh sufi, mendirikan sebuah madrasah di Kota Nishapur. Madrasah ini memiliki sesi tazkirah (majālis al-tadhkīr) yang khas di kalangan ahli tasawuf dan mungkin juga sesi Hadith (majlis al-imlā’), tetapi tidak disinggung tentang kurikulum fikih di dalamnya. Terlepas dari itu, madrasah ini kemudian dilanjutkan oleh menantu al-Daqqaq, yaitu Abul Qasim al-Qusyairi, dan selepas itu dikenal sebagai al-Madrasah al-Qusyairiyah (Halm, 1986: 526). Al-Qusyairi dikuburkan bersama gurunya di madrasah tersebut (Ibn Khallikan, 1843: II/154).
Ibn Khallikan (1843: II/120) juga menyinggung sekilas tentang Madrasah al-Baihaqi di Nishapur yang didirikan oleh Imam Abu Bakar al-Baihaqi (w. 458/1066) yang merupakan seorang pakar hadits dan juga pemuka Mazhab Syafi’i. Imam al-Haramain Abul Ma’ali al-Juwaini pernah belajar di madrasah ini setelah ayahnya yang juga seorang ulama besar wafat.
Abu Muhammad al-Juwaini, ayah Abul Ma’ali, wafat pada tahun 438/1047 (al-Farisi, 1989: 276; Ibn Khallikan, 1843: II/ 27). Adapun Imam al-Bayhaqi baru memulai aktivitas mengajarnya di Nishapur setelah ia kembali ke kota itu pada tahun 441/1050 dan diadakan satu majelis ilmu yang dipimpin olehnya dan dihadiri oleh para ulama dan ahli fikih. Disebutkan juga bahwa beliau datang dan mengajar di Madrasah Suyuri di kota itu (al-Farisi, 1989: 104).
Sayangnya tidak dijelaskan apakah madrasah ini merupakan pengembangan dari majelis ilmu yang beliau pimpin atau kelanjutan dari Madrasah Suyuri atau lembaga yang lain lagi. Terlepas dari itu, Madrasah al-Baihaqi sudah berdiri sebelum Imam al-Baihaqi wafat pada tahun 458/1066.
Madrasah tentunya bukan hanya muncul dan berkembang di Nishapur. Pada tahun 1012 di Baghdad sudah ada madrasah yang didirikan oleh Syaikh al-Sarakhsi. Al-Sarakhsi sendiri wafat saat berusaha melerai konflik antar mazhab yang terjadi di madrasah itu pada tahun tersebut (Makdisi, 1961: 18).
Pada tahun 459/1067, barulah Madrasah Nizamiyah di Baghdad didirikan oleh wazir Bani Saljuk, Nizam al-Muluk. Setelah itu dibangun pula Nizamiyah di Nishapur dan beberapa kota besar lainnya. Nizamiyah nantinya memainkan peranan yang cukup penting dalam mengokohkan dan memperluas tradisi keilmuan di dunia Ahlus Sunnah.
Pada masa-masa berikutnya, di samping madrasah banyak pula lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang dapat menjadi pilihan bagi para penuntut ilmu, seperti Darul Qur’an dan Darul Hadits, ribat dan zawiyah bagi kaum sufi, serta sekolah kedokteran. Semua lembaga pendidikan ini memberi kontribusi penting dalam melahirkan para ulama dan ilmuan serta dalam memajukan peradaban Islam.*/Kuala Lumpur, 4 Syawal 1441/ 27 Mei 2020
Penulis pengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM)
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2018. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: Ta’dib International.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. 1971. Manners in Islam (al Adab al Mufrad). Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Al-Fārisī, ꜥAbd al-Ghāfir. 1989. Al-Muntakhab min al-Siyāq li-Tārīkh Naysābūr. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
FSTC. 2004, 20 Oktober. “Al-Qarawiyyin Mosque and University”. Dirujuk pada tanggal 24 Mei 2020 dari https://muslimheritage.com/qarawiyyin-mosque-university/.
Halm, H. 1986. “Al-Kushayri”, dalam C.E. Bosworth, et.al. (eds.). The Encyclopaedia of Islam, New Edition, Vol. 5. Leiden: E.J. Brill.
Ibn Khallikān. n.d. Wafayāt al-Aꜥyān, Vol. 1. Beirut: Dār al-Ṣādir.
Ibn Khallikan. 1843. Ibn Khallikan’s Biographical Dictionary, Vol. II. Paris: Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland.
Landau, J.M. 1986. “Kuttāb”. The Encyclopaedia of Islam, new edition, Vol. 5. Leiden: E.J. Brill.
Makdisi, George. 1961. “Muslim Institutions of Learning in Eleventh Century Baghdad”. Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol. 24, No. 1.
Maqdisi, George. 1981. The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Ricklefs, M.C. 2001. A History of Modern Indonesia since c. 1200. California: Stanford University Press.
Wan Mohd Nor Wan Daud. 2020. Jalan Pulang. Kuala Lumpur: Hakim