SEMAKIN ke sini, dimana bulan Ramadhan telah bertenggat waktu semakin dekat ke garis akhir, sejatinya membuat kita terasa lebih dekat dalam tautan hati dengan Ilahi Rabbi, indah bersemi, jiwa lapang bak berbinar mentari.
Seolah cahaya-Nya mendekap dalam jiwa setiap lantunan doa hamba-Nya disela qiyamurramadhan di gulita malam.
Keindahan dan keistimewaan Ramadhan mengahantarkan jiwa meresapi keagungan Penguasa Semesta Raya. Puasa yang terjaga, qiyamurramadhan yang ditegakkan, qiraah al-Quran, infaq, dan zakat yang ditunaikan, serta itikaf di sepuluh terakhir.
Itu, In sya Allah, semakin meyakinkan perjalanan kehidupan setahun ke depan akan lebih tertata dalam meraih kemenangan hakiki untuk kehidupan ukhrowi sekaligus.
Manusia yang menghambakan diri kepada dunia dengan mengagungkan ilmu, status sosial, wanita, pangkat, dan harta lainnya, membuat jiwa semakin kerdil. Dia terus menerus menjadi keropos disebabkan cita-cita dan orientasi hidupnya hanya sebatas materi.
Sementara, manusia diciptakan dari dua unsur jasmani dan rohani. Roh yang telah berpisah dengan jasad berarti jasadnya telah mati. Namun, jasad yang masih menyatu dengan roh namun rohnya terhijab oleh dunia maka sesungguhnya dia telah mati sebelum mati.
Ruh sebagai unsur kehidupan manusia akan terus hidup. Sifatnya hanya berpindah tempat dari waktu ke waktu. Dimulai dari alam roh, alam rahim, alam dunia, alam barzakh dan berakhir di alam akhirat.
Posisi ruh menjadi pusat pengendali dan pertanggungjawaban atas seluruh aktivitas selama di alam dunia, maka logikanya ruh pulalah yang hendaknya harus menjadi pusat perhatian dan pengembangan manusia agar memiliki kekuatan untuk dapat mewujudnyatakan perintah dan amanah yang telah inheren dalam diri setiap manusia, yakni hamba dan khalifah-Nya.
Pada titik ini, maka tidak berlebihan kiranya dikemukakan bahwa bulan Ramadhan sengaja Allah Ta’ala pilih untuk me-reorientasi-kan diri manusia mukmin agar tetap terjaga sifat fitrahnya.
Momentum ini jelas menjadi sangat penting dan strategis karena dari hari ke hari selama sebelas bulan, manusia dalam kehidupan normal yang cendrung tak terkendali. Kondisi itu secara terus menerus menghijabi ruh dan fitrahnya hingga terjadi disorientasi hidup bahkan lupa asal kejadian dirinya.
Disaat manusia mampu menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan maghfirah, bulan tarbiyah, dan bulan reorientasi, maka manusia akan mampu ter-sibghah. Sehingga beginilah sesungguhnya figur sang juara yang berhak merayakan kemenangan fitri dengan riuh rendah yang penuh tawadhu dan ketundukan kepada-Nya.
Tetapi, merayakan 1 Syawal bagi figur pemenang bukanlah dengan kegembiraan yang berlebihan, pesta pora, atau semata-mata dengan aneka suguhan dan menu. Akan tetapi merayakannya dengan rasa syukur mendalam sebab kita berhasil kembali menemukan jati diri yang tadinya mulai redup.
Idul Fitri juga sekaligus menjadi tonggak awal membangun komitmen kepada diri sendiri dan kepada Allah Ta’alaa untuk menjaga fitrah kemanusiaan yang telah berhasil kita raih. Inilah hakekat kemenangan para shoimin sebagai buah dari taqwa yang berhasil dihimpun dari tahun ke tahun.
Merawat dan mempertahankan buah taqwa yang telah berhasil diperoleh di bulan Ramadhan tahun ini memerlukan energi dan strategi tersendiri. Sehingga nilai-nilai spiritual yang telah terbangun tidak segera runtuh begitu saja yang menyebabkan setiap tahun harus memulai dari awal lagi. Beranjak dari nol lagi.
Akhirnya, semoga kita dapat terus menjaga spirit puasa Ramadhan kita. Diantara kiatnya telah dicontohkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam yakni dengan mentradisikan berpuasa Syawal selama enam hari, juga ada puasa Senin-Kamis, ataupun puasa di setiap pertengahan bulan (yaumul bidh). Semoga kita keluar sebagai pemenang, In sya Allah, Aamiin. */ Wahyu Rahman, penulis adalah Direktur LAZNAS BMH Pusat