3. Kemampuan (sehat, tidak sakit) dan bermukim.
Puasa tidak wajib atas orang sakit dan musafir. Ada ijma’ bahwa mereka wajib mengqadha jika tidak berpuasa. Jika keduanya berpuasa, puasanya sah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 184)
Jika seorang musafir telah tiba di kampung halamannya, dia harus menghindari makan dan minum pada sisa hari kedatangannya itu, sama seperti jika wanita yang haid menjadi suci pada siang hari.
Puasa juga tidak wajib atas orang yang tidak sanggup melakukannya lantaran usianya sudah tua, juga tidak wajib atas wanita yang haid karena –secara hukum syariat– dia tidak mampu melakukan puasa, juga tidak wajib atas wanita hamil atau menyusui karena –secara fisik– mereka tidak mampu berpuasa.
Untuk tidak wajibnya puasa atas musafir, disyaratkan perjalanannya adalah perjalanan yang membolehkan untuk mengqashar shalat, serta perjalanan itu (menurut jumhur, selain madzhab Hanafi) harus perjalanan yang mubah sebab hukum rukhshah (keringanan) tidak bisa diberikan kepada kegiatan maksiat. Namun, madzhab Hanafi tidak mensyaratkan perjalanan itu harus mubah. Sebab, faktor yang membolehkan untuk mengambil rukhshah (yaitu perjalanan) sudah ada; serta perjalanan itu (menurut jumhur, selain madzhab Hambali) dimulai sebelum fajar.
Jadi, kalau seorang yang mukim sudah mulai berpuasa pada pagi hari kemudian dia melakukan perjalanan, dia tidak boleh membatalkan puasanya. Sebab, puasa ini adalah ibadah yang telah berisi aspek mukim dan perjalanan, maka yang lebih unggul adalah aspek mukimnya, karena dialah yang asli. Akan tetapi jika pada pagi hari dia sudah mulai berpuasa kemudian dia sakit, dia boleh membatalkan puasanya karena ada faktor yang membolehkan untuk tidak berpuasa. Seandainya musafir sudah bermukim dan orang sakit telah sembuh, haram bagi mereka membatalkan puasa.
Madzhab Hambali tidak memberlakukan syarat ini. Akan tetapi, bagi orang yang melakukan perjalanan pada siang hari dan dia sudah berniat untuk berpuasa pada hari itu, lebih afdhal untuk meneruskan puasanya, demi menghindari perbedaan pendapat pihak yang tidak membolehkannya membatalkan puasa, dengan alasan bahwa hukum mukim lebih unggul, sama seperti shalat.
Madzhab Hanafi menambahkan satu syarat lain untuk wajibnya puasa, dan ini dipahami secara implisit dari kaidah ushul fiqih mereka, yaitu syarat mengetahui wajibnya puasa bagi orang yang masuk Islam di darul harbi, atau berada di darul Islam bagi orang yang dibesarkan di sana.*/Dikutip dari buku Fiqih Islam karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili.