Hidayatullah.com | PADA dasarnya penghitungan tahun zakat didasarkan pada tahun Hijriyah Qamariyyah, bukan berdasar pada tahun Syamsiyyah Masehi. Hal ini berdasar pada beberapa dalil baik dari al-Qur’an maupun assunnah. Beberapa dalil tersebut sebagi berikut:
Pertama, firman Allah SWT :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS. Al-Tawbah: 36)
Berdasar ayat di atas, secara tegas mufassir al-Kiya al-Harosi menyimpulkan, wajib bagi kaum muslimin menjadikan penanggalan Arab/hijriyyah sebagai standar pelaksanaan ibadah-ibadah yang berkaitan dengan bulan dan tahun (Ahkam a-Qur’an: III/63), Tentu termasuk dalam hal ini adalah zakat, sebab di antara syarat wajib zakat untuk sebagian harta adalah telah berlalu satu tahun, seperti emas, uang, hewan ternak dan sebagainya.
Kedua, firman Allah dalam surat al-Baqarah: 189
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS: Al-Baqarah:189)
Al-Thabari mengatakan, maksud ayat ini adalah bulan-bulan sabit itu untuk menunjukkan waktu jatuh temponya hutang kalian, persewaan kalian, masa iddah istri-istri kalian, waktu puasa dan berbuka kalian.(Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an: III/555)
Penanggalan yang berdasar pada hilal yang untuk menentukan waktu haji dan kebutuhan-kebutuhan manusia lainnya itu adalah penanggalan yang sekarang dikenal dengan kalender hijriyah.
Ketiga, merujuk kepada apa yang menjadi standar pada masa Nabi, Sahabat dan hingga jatuhnya Khilafah Utsmaniyyah, tidak dijumpai perbedaan pendapat bahwa penanggalan kaum Muslimin berdasar pada kalender Hijriyah.
Sekarang ini, penanggalan berdasarkan kalender Hijriyah -di mayoritas negara- tidak lagi menjadi standar penanggalan, sehingga terkadang terdapat kesulitan bagi sebagian kaum Muslimin untuk merujuk pada kalender tersebut untuk berbagai keperluannya.
Ketika mengalami hal seperti itu, maka dibolehkan menggunakan standar kalender Masehi dalam menentukan akhir tahun usia harta zakat. Namun, mengingat terdapat selisih jumlah hari antara tahun Hijriyah dan Masehi rata-rata sebelas hari, maka harus ada solusi. Rumah Zakat Kuwait berpendapat boleh beralih jika mengalami kesulitan, tetapi dengan menambah pesentase kadar zakat sebagai kompensasi penundaan 11 hari itu. Kadar zakat yang semestinya 2,5% menjadi 2,575%.
Kesulitan yang dimaksud adalah misalnya bagi pemilik perusahaan, pemilik saham dan sebagainya, yang memang tahun anggarannya berdasar kalender Masehi, hingga jumlah aset, keuntungan dan sebaginya hanya dapat dipastikan di akhir tahun tersebut. Jika tidak dalam taraf kesulitan yang riil seperti itu, tentu hukum darurat tidak berlaku. Wallahu a’lam.*
Diasuh Kholiq Budi Santoso, Lc., M.H.I