DALAM memandang wanita berbeda dengan penganut Masehi. Disebutkan oleh Dr. Musthafa Abdul Wahid dalam bukunya (1990), penganut Masehi (Nasrani) menganggap wanita adalah setan yang menggiring kepada bencana. Mereka memandang keinginan naluriah sebagai kotor dan hina. Orang sebaiknya mengacuhkan dan tidak memberikan hak-hak legal terhadap keinginan tersebut.
Oleh sebab itu penganut Masehi tidak menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang ideal. Sebaliknya, tingkah laku yang ideal adalah kependetaan dan menyingkirkan kehidupan keluarga.
Pengekangan terhadap naluri ini kemudian, menurut ahli psikoanalisis Sigmund Freud, telah menimbulkan gangguan kejiwaan di kalangan masyarakat Masehi. Ia menyimpulkan, naluri seks merupakan faktor pertama yang mempengaruhi kehidupan manusia. Pemikiran Freud ini kemudian dijadikan pegangan di masyarakat Barat untuk memenuhi panggilan naluriah (secara bebas), melumatkan belenggu-belenggu moral dan aturan sosial yang menghalangi kebebasan.
Tauhid Nur Azhar (2012) menulis, pada Abad Pertengahan di Eropa wanita dianggap sebagai penyebab penderitaan bagi penduduk bumi. Sikap kaum Kristen terhadap wanita secara eksplisit dijelaskan oleh salah seorang Paus, “Wanita adalah pintu masuk yang digunakan setan untuk memasuki jiwa manusia. Dia yang mengarahkan Adam (kaum laki-laki) untuk mendekati pohon larangan (di Taman Eden), melanggar hukum Tuhan, dan menodai citra Tuhan. Itulah wanita.”
Filsuf Inggris Herbert Spencer menggambarkan kondisi wanita Eropa Abad Pertengahan, “Bahkan di Inggris selama abad ke-11, istri dapat dijual atau digadaikan. Gereja mengesahkan undang-undang yang membolehkan suami untuk meminjamkan atau menggadaikan istrinya kepada laki-laki lain untuk waktu yang terbatas.”
Kemudian dalam sejarah juga terdapat penyimpangan dalam hal ‘kecintaan kepada apa-apa yang diingini (wanita)’ saat masa jahiliah. Khosru Parviz, penguasa dinasti Sassanid di Persia, memiliki sekitar 3000 wanita di haremnya. Ia tidak pernah puas secara seksual.
Setiap kali ingin mengisi haremnya, dia akan menulis surat kepada para gubernurnya untuk mencari wanita-wanita cantik, dilengkapi gambaran detil yang diinginkan. Tak lama kemudian para gubernurnya akan mengirimkan wanita-wanita yang digambarkan oleh Khosru Parviz.
Dengan demikian Islam pada abad ke-7 telah memperbaiki praktik-praktik buruk jahiliyah terhadap wanita di tanah Arab dan Persia. Juga lebih awal dibanding masyarakat Eropa dalam hal Islam memandang baik dan menjunjung tinggi harga diri wanita dalam posisinya sebagai anak, istri, ibu, dan anggota masyarakat. Dan lain dari itu semua, Islam tetap menempatkan dan memandang wanita sebagai manusia.
Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi menulis (pada buku Prof. Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah, 1990), wanita adalah mukallaf (orang yang mempunyai tanggung jawab) sebagaimana laki-laki. Wanita juga mendapat perintah dan larangan dari Allah SWT; diberi pahala, atau juga mendapat siksa. Kaum laki-laki dan wanita sama-sama mendapat beban tanggung jawab pertama kali ketika masih menjadi penghuni surga ketika Allah SWT berfirman, “…dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim!” (Al-Baqarah [2] : 35)
Dalam Al Quran –sebagaimana Taurat– tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa wanita, Hawa, harus bertanggung jawab atas kesalahan Adam a.s. Bahkan pertangungjawaban pertama kali adalah pertanggungjawaban Adam a.s, sedangkan wanita, Hawa, hanyalah mengikuti. Allah SWT berfirman, “Dan sungguh telah Kami pesankan kepada Adam dahulu, tetapi dia lupa, dan Kami tidak dapati kemauan yang kuat padanya.” (Taha [20] : 115).
Juga firman Allah SWT, “…dan telah durhakalah Adam kepada Tuhannya, dan sesatlah dia. Kemudian Tuhannya memilih dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” (Taha [20] : 121-122)
Dalam pandangan Islam wanita bukanlah musuh pria, juga bukan saingannya. Melainkan sebagai penyempurna bagi pria, dan pria sebagai penyempurna bagi wanita. Wanita bagian dari pria, dan pria bagian dari wanita. Allah SWT berfirman, “Sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain (Ali-Imran [3] : 195). Rasulullah SAW bersabda, wanita itu tiada lain adalah belahan dari laki-laki.
Dalam ajaran Islam sama sekali tidak terdapat pengurangan atas hak asasi wanita atau penganiayaan atas wanita karena memprioritaskan kaum pria, karena Islam adalah syariat Allah SWT, yakni Tuhan bagi laki-laki dan wanita.*/Lighty Hayati (Tulisan sebelumnya)