WALAUPUN peluang ketertarikan kepada lawan jenis antara pria dan wanita bisa sama, tetapi secara umum pria lebih menunjukkan sikap aktif kepada wanita. Hal ini secara tersirat disampaikan dalam firman Allah SWT: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (al-Imran [3] : 14)
Allah SWT memulai penyebutan kecintaan kepada wanita, karena fitnah yang ditimbulkan oleh wanita sangatlah besar, sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah aku tinggalkan suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada wanita.” (Bukhari dan Muslim).
Dr. Musthafa Abdul Wahid (1990) menyebutkan, kecintaan-kecintaan itu merupakan naluri fitri, di mana manusia menemukan dirinya terdorong untuk menyenangi hal-hal yang ada kaitannya dengan (1) naluri seks yang tergambar pada rasa senang terhadap wanita, (2) naluri keturunan, yang terekspresikan pada keinginan manusia untuk lestari dan membentangkan sayap, dan (3) naluri untuk memiliki yang berkaitan dengan berbagai macam fasilitas dan harta benda.
Seseorang yang di hatinya terbetik salah satu keinginan tersebut, atau merasa ingin mewujudkan perasaannya itu menjadi kenyataan, tidaklah berdosa selama berjalan sesuai dengan aturan yang disyariatkan Allah SWT.
Kecintaan kepada wanita untuk tujuan menikah memang dianjurkan. Ini sebagaimana disampaikan Abdullah bin Mas’ud, dia menceritakan, “Kami pernah bepergian bersama Rasulullah yang pada saat itu kami masih muda dan belum mempunyai kemampuan apapun. Maka beliau bersabda, ‘Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa di antara kalian yang belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu. (Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Allah SWT berfirman: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (An-Nur [24] : 32)
Demikian juga Allah SWT berfirman dalam Surat Ar-Rum [30] ayat 21: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Imam al-Bukhari meriwayatkan, terdapat tiga orang sahabat Nabi SAW yang berkumpul dan membahas masalah ibadah. Kemudian mereka menghadap istri-istri Rasulullah SAW. Mereka bertanya tentang ibadah Nabi SAW. Ketika diberitahu, para sahabat itu merasa ibadah yang dilakukan Nabi SAW begitu sedikit dan sederhana.
Mereka pun berkomentar, “Di mana posisi kita dibandingkan dengan Nabi SAW, padahal dosa-dosa beliau, baik yang telah maupun yang belum terjadi, dimaafkan oleh Allah SWT.” Salah seorang di antara mereka menjawab, “Saya (akan) selalu shalat sepanjang malam.” Yang lain menimpali, “Saya berpuasa setiap hari, tidak pernah berbuka.” Yang seorang lagi mengatakan, “Saya (akan) meninggalkan wanita. Saya tidak akan menikah selamanya.”
Kemudian Rasulullah SAW datang. Beliau bertanya, “Kalian yang mengatakan begini, begitu! Demi Allah aku ini adalah orang yang paling takut dan takwa kepada Allah. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka. Aku shalat, tetapi aku juga tidur, dan menikah dengan wanita. Nah, barangsiapa membenci sunahku, berarti ia bukan umatku.”
Nabi SAW juga bersabda, “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita salehah. Jika suami memandangnya, maka ia (istri) menyenangkannya. Jika memerintahnya, maka ia menaatinya, dan jika suami tidak berada di sisinya, maka senantiasa menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya.” (Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah).*/Lighty Hayati (Tulisan sebelumnya)