RAMADHAN telah berlalu. Bagi mereka yang hatinya rindu akan kelebihan bulan yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala untuk setiap hambanya yang beribadah sepanjang Ramadhan yang sarat maghfirah itu, pasti tak bisa menahan rasa sedih dan pilu.
Berpisah dengan Ramadhan ibarat seperti melepaskan pergi bunda yang tersayang pulang ke rahmatullah, karena belum pasti, apakah terus diberikan Allah kesempatan untuk bertemu lagi dengan Ramadhan mendatang. Sesungguhnya tanggal tutup usia itu menjadi rahasia Allah dan tidak ada mengetahuinya kapan ajal tiba.
Setelah menjalani ibadah puasa, shalat sunnah tarawih dan qiyammullail sepanjang Ramadhan, tibalah 1 Syawal, yaitu hari raya Idul Fitri. Hari kemenangan melawan hawa nafsu dan dibolehkan pada hari itu makan minum pada siang hari yang bertentangan selama sebulan Ramadhan.
Pada pagi Idul Fitri, masjid dipenuhi jamaah untuk mendengarkan khutbah yang disampaikan imam atau khatib sebelum mengerjakan shalat sunnah Idul Fitri dua rakaat.
Berbeda dengan Indonesia, di Malaysia shalat sunnah Idul Fitri tak dilakukan di lapangan seperti lapangan sepakbola dan sebagainya, ibadah hanya terkonsentrasi di masjid dan surau. Maka tempat-tempat ibadah seperti itu dipenuhi dengan jamaah yang berpakaian serba baru dari kalangan kaum muslimin, muslimat dan anak.
Menteri Besar Kelantan, Malaysia, Tuan Guru Datuk Nik Abdul Aziz Nik Mat memimpin shalat sunnah Idul Fitri seperti sering dilakukan setiapa kali 1 Syawal, yaitu di masjid yang kembar dengan rumah beliau di Kampung Pulau Melaka, kurang lebih 12 kilometer dari Banda Aceh.
Ribuan warga lokal bahkan diantaranya datang dari jauh semata-mata untuk ikut shalat bersama serta mendengarkan khutbah yang disampaikan Tuan Guru.
Inti khutbah Tuan Guru kemarin, ia mengingatkan setiap umat Islam, agar tetap konsisten dan jangan sekali-kali terpengaruh dengan ‘permainan’ Barat yang mengatakan ‘agama lain, politik lain’. Kedua harus berjalan seiring.
“Agama lain, politik lain adalah ajaran dari Inggris, Prancis, Italia, Belanda dan sebagainya yang pernah menjajah negara umat Islam, sehingga ada di antara umat Islam dari rakyat bawah, pelajar, guru, bahkan tuan-tuan guru pondok pesantren (kiai) pun terpengaruh dengan ajaran sesat itu. Kemudian diterapkan menjadi sistem politik di negara Muslim termasuk di negara kita yang tercinta ini, ” ujar Tuan Guru.
Pria yang juga Mursyidul Am PAS selanjutnya berkata; “kalau komunis ada pemerintah, demokrasi ada pemerintah, maka kenapa ‘Islam’ tidak bisa punya pemerintahan. Padahal Islam itu paling tinggi, datangnya dari Allah Subhanahu Wata’ala yang menciptakan langit, bumi, manusia, hewan dan segala isinya.
Justru dalam hal ‘urusan agama’ dan ‘politik’ haruslah sejalan. Setiap umat Islam di mana saja mereka berada harus mengikuti jalan yang pernah dilalui Nabi-Nabi dan Rasul termasuk dalam urusan rumah tangga, pemerintahan negara, perang dan lain-lain.
“Pemerintah yang berbasis kepada assobiyah (nasionalisme, red) tak membawa apa-apa makna kepada umat Islam bahkan tak menyumbang apa-apa kepada perkembangan agama tauhid itu, sebaliknya ada individu assobiyah ekstrem dari kalangan kita berani mengatakan; untuk apa kita mengikuti Nabi Muhamad, beliau orang Arab, sedang kita orang Melayu. Maka perlulah kita menemukan nabi Melayu,” ujar Tuan Guru dengan nada sinis.
Akhirnya, Tuan Guru Nik Abdul Aziz, mengingatkan sekali lagi bahwa, pemerintah Islam lebih penting didirikan di muka dunia ini untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan khilafah Utsmaniyah Turki pada abad lalu.*/Rossem, Malaysia