SUATU ketika, Hajjaj beristirahat sejenak dalam suatu perjalanan antara Makkah dan Madinah. Lalu ia meminta pada pengawalnya untuk disiapkan makanan.
Dilihatlah olehnya seorang Arab badui, lantas ia undang untuk makan bersamanya. Respons orang Arab gunung itu unik. Katanya, “Aku memenuhi undangan yang lebih baik darimu dan aku mengabulkannya.” “Siapakah itu?” tanya Hajjaj.
“Allah Subhanahu Wata’ala. Ia mengundangku (menyeruku) untuk berpuasa, lalu aku memenuhinya,” jawab Arab badui. Karena keheranan, Hajjaj bertanya, “Pada kondisi sepanas ini?” “Ya. Aku berpuasa untuk (menyiapkan diri pada) hari yang lebih panas darinya (di akhirat),” jawab badui.
Melihatnya bersikukuh seperti itu, Hajjaj mencoba membujuk, “Berbukalah sekarang, baru besok berpuasa lagi.” Masih dalam keteguhan semula, si badui menjawab, “Jika kamu bisa menjaminku hidup sampai besok, maka aku akan berbuka saat ini juga.”
“Mana mungkin aku bisa menjamin itu,” kata Hajjaj. “Lalu kenapa,” kata si badui, “kamu memintaku melakukan sesuatu yang bersifat duniawi untuk menggantikannya dengan sesuatu yang bernilai akhirat. Kamu tak akan sanggup.”
Dari kisah itu, ada pelajaran menarik. Puasa adalah undangan Allah kepada orang-orang beriman. Orang Mukmin sejati akan memilih memenuhi panggilan Allah dengan suka cita dibanding dengan undangan apapun yang bersifat duniawi.
Ketika dirinya dihadapkan dengan dua pilihan pelik, antara akhirat dan dunia, maka yang dipilih adalah yang berorientasi keakhiratan. Sebagaimana si badui, mungkin kalau dia memenuhi keinginan Hajjaj, sejenak dia akan hilang dahaga dan lapar. Namun, bersamaan dengan itu, dia telah menyia-nyiakan kenikmatan yang abadi. Makanya, dirinya lebih memilih undangan Allah daripada ajakan Hajjaj.
Lebih dari itu, puasa melatih ketahanan diri dan kesabaran. Bagi orang Mukmin, dalam situasi apapun selama tidak dalam koridor berhalangan secara syar’i, maka pantang baginya untuk tidak berpuasa. Seperti si badui yang tetap berpuasa dalam kondisi sepanas apa pun demi memenuhi undangan Allah.
Dengan kata lain, orang berpuasa itu tak gampang terbujuk dengan rayuan duniawi. Baginya, nikmat akhirat adalah nikmat sejati. Segala bujukan dan rayuan yang justru menjauhkan dirinya dari Allah, maka tidak akan dihiraukan.
Di antara nilai penting lain yang terkandung dalam ibadah puasa adalah lahirnya kesadaran internal bahwa Allah selalu mengawasi kita baik lahir maupun batin. Bukankah Allah berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا
“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa [4]: 1)
Nah, dengan berpuasa, kesadaran akan pengawasan Allah akan melejit tinggi.
Laksana orang badui tadi. Jika Mukmin sedari awal mengimajinasikan bahwa puasa yang ditunaikan adalah sebagai bentuk pemenuhan undangan Allah, maka yang namanya orang datang ke kondangan, akan menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya.
Sebab, kalau tidak ada persiapan alias ala kadarnya, dirinya akan malu dan kehilangan harga diri.
Jadi, puasa laksana undangan Allah Subhanahu wata’ala yang perlu disambut dengan sebaik-baiknya. Puasa juga melatih ketahanan diri dan kesabaran Mukmin serta tidak gampang terbujuk dengan rayuan duniawi.
Lebih dari itu rasa muraqabatullah akan ter-install dalam jiwa sehingga denyut nadi dan kehendaknya tidak pernah alpa dari pengawasan Allah karenanya dia akan senantiasa berhati-hati dalam setiap aktivitasnya.*/Mahmud Budi Setiawan