MAROKO (Royaume Du Maroc – المملكة المغربية), sebuah negeri di wilayah barat laut benua Afrika yang memiliki nilai keeksotisan yang tinggi. Karena keeksotisannya, Maroko kian mendapat banyak sebutan seperti Negeri Barat Islam, Negeri Maghriby (Matahari Terbenam), Negeri Seribu Benteng, Negeri Tujuh Wali, dan sebutan lainnya.
Disebabkan banyak hal unik, lucu, dan eksotik (ganjil) yang bisa ditemukan di negeri ini, malah ada yang menyebut negeri Maghrib Gharib (Maroko yang aneh).
Maroko adalah sebuah negara kerajaan Islam monarki konstitusional yang dipimpin oleh seorang raja yang saat ini bernama Mohammed VI (محمد السادس). Negeri ini merupakan sebuah negeri bekas jajahan Spanyol dan Prancis. Maroko berbatasan tepat dengan negeri Matador, Spanyol yang mana selat Gibraltar selaku pemisah antara keduanya.
Maroko memiliki banyak kota-kota besar nan terkenal seperti kota Rabat selaku ibukota administrasi, Kota Casablanca (nama yang tidak asing bagi kita, yaitu nama sebuah merek parfum terkenal, juga nama terowongan di Jakarta yang rupanya berasal dari nama kota ini).
Selaku Ibukota perekonomian yang di dalamnya terdapat Masjid Hassan II, masjid ketiga terbesar di dunia dengan interior yang sangat menakjubkan dan arsitektur bangunan ala Andalusia yang terkenal estetisnya.
Kota Marrakech selaku ibukota pariwisata yang memiliki banyak tempat historis dan indah dengan corak bangunan-bangunan yang berwarna merah, Kota Fez selaku ibukota ilmu dan budaya juga memiliki banyak tempat historis di antaranya Masjid/Universitas Qarawiyyin sebagai universitas tertua di dunia (Guinness Book of World Records 1998) yang dibangun pada tahun 859 M
Qarawiyyin juga sebuah universitas prestisius yang pernah melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim dahulu seperti Ibnu Khaldun (bapak sosiologi), Ibnu Rusydi, Ibnu Bajah, Ibnul Haj Al-Fasy dan ulama-ulama lainnya.
Tak lupa kota Tanger yang terletak di wilayah utara Maroko yang berbatasan langsung dengan negeri Matador sehingga bisa dilihat langsung dengan kedua mata, Kota Tanger ini merupakan kota kelahiran Sang Penjelajah Dunia, Ibnu Bathutah yang dulu pernah singgah di kerajaan Samudera Pasai, Aceh.
Penduduk Maroko 99 persennya mayoritas beragama Islam. Maka, wajar nilai-nilai Islam di negeri inipun masih sangat kental. Walaupun westernisasi dan sekularisme kian menjalar dan membebat jiwa-jiwa pemuda/i Maroko, akan tetapi nilai keislamannya masih utuh dan tidak runtuh. Sama seperti Indonesia, kita akan dapati kekentalan itu jika kita menelusuri pelosok-pelosok negeri dengan eksistensi praktek keislamannya. Masyarakat muslim Maroko secara resmi bermadzhab fikih Maliki.
Tradisi Ramadhan dan Lebaran
Tidak seperti di Indonesia, menyangkut isbat (penetapan) awal dan akhir Ramadhan, masyarakat Muslim Maroko sepenuhnya menanti keputusan Raja. Bahkan biasanya tidak bersamaan dengan ketetapan Kerajaan Arab Saudi. Ini sangat berbeda dengan Indonesia yang masih dihiasi dengan ikhtilaf (perbedaan) ormas-ormas besar.
Seperti tahun ini, musim panas menghampiri tepat di saat umat Muslim menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Sungguhn panas rasaanya. Bayangkan saja berpuasa di suhu berkisar antara 35oC – 45oC dengan jangka waktu siangnya -/+ 17 jam.
Meski demikian, tak menghilangkan masyarakat menyambut Ramadhan dengan antusias. Antusiasme bisa dilihat dari banyaknya jajanan buka puasa yang bertebaran di pinggir jalan layaknya di Indonesia.
Tradisi orang Maroko di bulan Ramadhan ada empat kali makan. Tiga ronde untuk berbuka dan satu ronde untuk sahur. Ronde pertama untuk berbuka yaitu ketika adzan Maghrib dikumandangkan sekitar pukul 20.00 GMT. Di saat seperti ini, masyarakat maroko hanya mengonsumsi tiga butir kurma dan segelas air untuk sekedar membatalkan puasanya.
Baik hanya segelas air putih, halib (susu tawar), atau laban (susu asam) yang bahkan tidak sedikit jamaah masjid yang membagikan kepada sesamanya makanan dan minuman pembuka tersebut secara ikhlas. Inilah salah satu karakter mulia masyarakat Maroko.
Setelah itu, mereka langsung menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah. Usai shalat selesai, mereka kembali ke rumahnya masing-masing untuk melanjutkan ifthar (buka puasa) ronde kedua dengan menghadirkan Khubz (roti tawar kering) yang dihidangkan dengan keju, mentega, atau madu, kemudian Syubakiya (sejenis kue manisan yang terbuat dari tepung bercampur madu dan gula), Meloui (mirip martabak atau roti canai), telur rebus, dan Sup Harirah (sup yang berisi kacang adas, kacang Hummus, mie Sya’iriyah, dan sedikit daging tetelan), dan tidak lupa menghadirkan Attai (teh khas Maroko) hingga waktu adzan Isya tiba.
Saat Isya’ mereka pun bergegas ke masjid untuk menunaikan shalat dan tarawih. Di Maroko, banyak masjid melaksanakan shalat tarawih putaran pertama sebanyak delapan rakaat dan tarawih putaran kedua satu jam menjelang adzan Subuh.
Setelah mereka melaksanakan shalat tarawih putaran pertama, mereka pun kembali ke rumahnya masing-masing mempersiapkan diri untuk menyantap menu utama sekitar pukul 00.00 GMT tengah berupa hidangan Tagine (makanan khas Maroko yang berisi daging ayam atau sapi, kentang, wortel dengan campuran bumbu yang sedap) atau hidangan berat lainnya seperti Poulet rôti/digaag mhamar (ayam panggang).
Setelah itu mereka beristirahat sejenak membaringkan badan, atau bahkan ada yang tidak tidur malam demi ibadah hingga tiba waktu menjelang adzan Subuh.
Setengah jam menjelang subuh sekitar pukul 03.00 GMT, mereka kembali menyantap santapan sahur berupa segelas susu, teh, dan Harcha (makanan ringan) yang dicampur keju atau madu, atau dengan makanan-makanan ringan lainnya dikarenakan mereka masih kekenyangan dengan menu berat tiga jam yang lalu. Hingga mereka menunaikan shalat subuh dan kemudian mereka tidur kembali setelahnya.
Dua Hizib
Tradisi masyarakat Maroko yang lainnya adalah setiap hari mereka mengkhatamkan bacaan dua hizib (1 juz) bacaan al-Quran yang dilakukan setelah shalat Ashar dan ketika shalat tarawih. Biasanya, sang imam akan membaca satu juz al-Quran untuk satu malam tarawih.
Yang tidak kalah unik adalah hari lebaran. Umumnya masyarakat Maroko lebih berantusias merayakan hari raya Idul Adha daripada hari raya Idul Fitri. Ini berbalik situasi dengan Indonesia yang semangat merayakan Idul Fitri.
Faktornya adalah Idul Adha dinilai merupakan hari raya agung, juga dinamakan dengan hari raya Haji atau hari raya Kurban. Yang istimewa di hari raya Kurban, masyarakat Maroko sangat bergairah untuk berkurban.
Uniknya tiap keluarga itu lazim berkurban satu domba di rumahnya masing-masing, dan dagingnya dikonsumsi sebagian dan dibagikan masyarakat lainnya.
Layaknya Indonesia, masyarakat Maroko juga menunaikan shalat hari raya dengan menggunakan kostum khasnya yaitu Djellaba, Gandora, atau Jabador.
Kendala Ramadhan dan Lebaran di Negeri Seribu Benteng
Di Maroko memang ada aral yang lumayan berat yang tidak pernah dirasakan sebelumnya ketika berada di Tanah Air. Hal ini dirasakan sama dengan mahasiswa Indonesia di negara Teluk, Afrika, Eropa, dan Amerika pada umumnya yaitu panjangnya waktu puasa kisaran 17 jam. Itupun harus menghadapi teriknya musim panas yang suhunya mencapai lebih dari 40 derajat celcius.
Kendala terbesar yang bisa dirasakan ketika Ramadhan tiba dengan hadirnya suhu yang sedemikian rupa yang membuat rasa dahaga bagi seorang Muslim yang sedang berpuasa.
Meski demikian, mahasiswa Indonesia di Maroko yang bernaung di bawah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) menjadikan bulan ini sebagai bulan silaturrahmi. Khususnya liburan musim panas sekaligus Ramadhan dan Idul Fitri, ataupun liburan Idul Adha.
PPI Maroko mengadakan banyak program aktivitas, di antaranya seminar Internasional yang dihadiri ulama nusantara atau ulama Maroko, pertandingan olahraga antarmahasiswa dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand, juga kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat edukatif, kreatif, dan sosial, serta berbuka puasa bareng dan pelaksanaan shalat ied di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang beralamat di 63, rue beni boufrah, rute des zaires klm 5,9 Souissi Rabat Marocco.
Merasakan nuansa bulan suci Ramadhan di negeri orang memang memiliki kespesifikan dan daya tarik tersendiri. Menghayati bagaimana kita bisa mempelajari budaya orang yang penuh warna dan mencicipi kelezatan kulinernya, serta hal yang paling urgen yaitu bisa meningkatkan ibadah di bulan Ramadhan dengan aroma autentik Islam Arab bersama masyarakat Maroko tulen yang ramah.*/kiriman; Muharril Ashary bin Riduan. A, Mahasiswa asal Aceh yang sedang menempuh studi S1 Islamic Studies di kota Fez, Maroko. Email: [email protected] / [email protected]