SAAT Ramadhan dimulai hari Senin (6/6/2016) di Jerman, pengungsi asal Suriah Khairallah Swaid merindukan dapat berkumpul dengan istrinya. Berbeda dengan dirinya yang berada di Jerman, istrinya berada di kamp pengungsian di Yunani. Di luar itu ia pun mendambakan masakan makloubeh ibunya, berupa daging dan nasi yang biasa disajikan selama bulan puasa.
Pada bulan suci biasanya terdapat makanan favorit saat berbuka bersama keluarga dan sejawat. Tapi bagi sebagian besar dari ratusan ribu migran yang datang ke Eropa pada tahun lalu, terutama umat Muslim yang menghindari dari perang, konflik, dan kemiskinan di Suriah, Afghanistan, Irak, dan lain-lain, Ramadhan kali ini kondisinya jauh lebih terbatas.
Di Jerman, sebagian besar pengungsi yang masih berada di tempat penampungan dan telah lama mengeluhkan makanan yang disajikan oleh katering yang dikontrak oleh pemerintah setempat, makanannya dirasakan “sulit dinikmati”. Keluhan itu itu mulai terdengar tak lama setelah dilangsungkan festival keagamaan.
“Saat Ramadhan kita tidak mendapatkan lagi makanan yang enak,” kata Swaid, 25 tahun, yang duduk di sebelah saudaranya Hamzah di Sham (Levant), warung makanan Suriah yang populer di Neukoelln, distrik miskin di Berlin dengan penduduk sebagian besar migran, seperti dilansir FMT News dari Reuters, Selasa (7/6/2016).
Swaid, yang tinggal di satu penampungan utara dari ibukota Jerman, menghabiskan sebagian besar uangnya (136 dolar) setiap bulan untuk membeli makanan. Dia dan pengungsi lainnya mencari bahan roti, beras, dan sayuran, yang semua mereka masak sendiri.
“Aku rindu istri saya, juga selama bulan Ramadhan rindu makanan ibuku,” canda Swaid sesaat sebelum Ramadhan, saat memakan sepotong roti berisi daging ayam dan pasta bawang putih.
Banyak tempat penampungan pengungsi di Berlin menyelenggarakan Ramadhan untuk pertama kalinya dan mencoba untuk menikmati makanan yang tersedia saat berbuka.
Juru bicara tempat pengungsian di Tempelhof, bandara udara yang dibangun oleh Hitler untuk menampilkan kekuatan Nazi dan sekarang menjadi tempat tinggal sekitar 5.000 migran, mengatakan, para pengungsi akan diberi kurma dan minuman saat berbuka selama Ramadhan.
Roti, sosis, yoghurt, keju, selai
Saat ini rentang antara matahari terbit dan tenggelam di Eropa utara berlangsung panjang. Dibandingkan tempat tinggal mereka saat di Timur Tengah, jarak waktunya lebih lama antara dua sampai tiga jam.
Saat matahari terbenam dengan warna kobaran merah di atas selat Oresund yang membagi Denmark dan Swedia, warga Muslim dari kamp Hemmeslovs Herrgard menunggu tidak sabar dalam antrian di kantin.
Pada jam 21.30, setengah jam sebelum matahari terbenam, antrian telah mencapai 25 meter. Di kantin itu telah ramai dengan anak-anak bermain dan orang dewasa yang mengobrol, dengan piring dan cangkir di tangan mereka, untuk bersiap menghadapi berbuka pada jam 22.00.
Magnus Falk, manajer tempat pengungsian yang berdiri dengan membawa tas berisi roti di tangannya, berusaha menenangkan orang.
“Mereka tadi tidak puas dengan makanan saat sarapan (sahur),” katanya. Sekitar setengah dari 300 pengungsi melaksanakan Ramadhan. Untuk sahur esok pagi pukul 03.30, mereka mendapat tas berisi roti dengan sosis, yogurt, keju, dan selai.
Muhammad, pengungsi dari kota dekat Aleppo, Suriah, masih menjumpai beberapa potong roti di tanah di luar kantin, yang sebelumnya dia sebarkan dan lempar dari luar jendela kamarnya.
“Kami membuang sisa roti agar dimakan burung-burung. Saya dan saudara saya dapat melihat burung-burung itu dari dekat,” katanya. Dalam Islam, umat Islam tidak memperbolehkan membuang sisa-sisa makanan, tetapi diberikan kepada yang membutuhkan atau diberikan kepada hewan.
Muhammad, yang datang bersama lima anggota keluarganya ke Swedia sembilan bulan yang lalu dan sekarang menunggu untuk wawancara dengan Badan Migrasi, tidak terkesan dengan makanan yang disediakan. Para migran mencoba untuk membuatnya lebih berselera dengan menambahkan rempah-rempah.
“Biasanya kami memasak makanan Arab sangat enak selama Ramadhan dan makan bersama teman-teman, tapi di sini kita sendirian. Tapi di sini kita masih bisa menjalankan Ramadhan,” katanya.
Kondisi Kamp Yunani
Di Yunani, imigran Muslim yang terdampar sejak negara sepanjang Balkan menutup perbatasannya, mengatakan, panas terik dan kondisi yang buruk di kamp-kamp yang dikelola negara, membuat umat muslim sulit menjalani bulan suci.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Kami tidak bisa tinggal di tenda karena terlalu panas dan anak-anak muntah atau (menderita) diare karena tempat ini begitu kotor,” kata Mahdieh, 14 tahun, yang tinggal di Schisto, satu kamp tenda yang dikelola negara di bekas pangkalan militer dekat Athena.
Mahdieh, yang keluarganya melarikan diri dari provinsi Logar, Afghanistan, mengenang saat Ramadhan di rumah ketika keluarga berkumpul sambil berbincang, tertawa, dan bahagia.
“(Di sini) kita mengalami depresi, lelah. Kita tidak tahu bagaimana kita bisa bertahan di sini,” katanya.
Abdul Bashir Nomand yang sebelumnya bekerja sebagai konsultan teknis untuk tentara Jerman di Afghanistan dan tiba di Yunani sebelum perbatasan ditutup pada bulan Februari, sekarang tinggal di tenda dengan istri dan lima anaknya, bingung bagaimana otoritas kamp dapat mengakomodasi kebutuhan mereka.
“Saat Ramadhan hari pertama, apa bisa yang mereka lakukan untuk kita, “katanya. “Jika cuaca panas, sangat sulit bagi semua orang karena mereka kehausan. Lingkungan di sini tidak cocok untuk tinggal yang nyaman,” katanya.
Seperti orang lain yang terpaksa pergi dari rumahnya, ia menunggu saat yang aman untuk kembali pulang.
“Semua orang rindu keluarganya, negaranya, dan ini sangat sulit,” katanya. “(Ini) sangat sulit bagi orang yang tinggal jauh dari negara mereka, tetangga, dan dari keluarga mereka.”*