Hidayatullah.com–Sejak lengsernya dominasi Al Ikhwan al Muslimun, oposisi Mesir non-Islam naik daun secara politis. Contohnya, Mohammad El-Baradei telah ditunjuk militer untuk menjadi wakil Perdana Menteri. Setidaknya sampai sekarang, kekompakan yang tercapai dengan susah payah antara sekian banyaknya partai dan kelompok non-Islam masih bisa bertahan.
Pelajaran dari Tahun 2012
Tak seorang pun melupakan kekalahan pada putaran pertama pemilu presiden 2012. Seandainya mereka saat itu menyepakati satu calon presiden, Al Ikhwan al Muslimun diduga tidak akan berkuasa di Mesir. Juga kampanye Tamarod yang 30 Juni lalu menggiring warga Mesir ke jalan, mencerminkan kesatuan. Menurut Mohamed Doss, seorang pendiri kampanye, kebanyakan organisator Tamarod berasal dari partai-partai politik dan kelompok tersebut.
Namun, setelah Mohammad Mursy tersingkirkan, semakin sulit untuk mempertahankan persatuan. Tapi Ziad El-Alemi, bekas anggota parlemen dan salah seorang pendiri demokrat sosial Mesir, tetap merasa optimis dan mengatakan, para revolusioner dan kekuatan sipil Mesir banyak menimba pengalaman sepanjang dua setengah tahun terakhir. Misalnya, bagaimana untuk mencari kompromi. Semua kelompok ini akan membantu untuk mencapai kesepakatan dalam upaya membangun sebuah negara yang moderat, tambahnya.
Revolusioner versus Simpatisan Rejim Mubarak
Salah satu tantangan utama bagi partai-partai non-Islam adalah kerja sama dengan pendukung rejim Mubarak. Banyak di antaranya turun ke jalan 30 Juni lalu. Diragukan apakah Mursy saat itu dapat dijatuhkan demikian cepatnya tanpa dukungan kelompok ini. Namun bagi revolusioner muda dari gelombang protes 2011 sangat sulit bekerja sama dengan pendukung Mubarak. Pasalnya, mereka dulu sempat menderita akibat kekerasan dan tindakan brutal aparat keamanan yang saat ini sebagian masih aktif.
Selain itu, kompromi politik sangat sulit karena banyak revolusioner menjunjung hak asasi manusia dan menginginkan reformasi badan politik.
“Kami tidak dapat menghapuskan kebencian antara revolusioner dan pendukung rejim Mubarak, bila kami tidak mengupayakan keadilan yang sebenarnya. Hal terpenting yang kami pelajari dua tahun terakhir adalah, orang tidak dapat mengawali pembaruan bagi masa depan tanpa menyelesaikan masa lalunya secara tuntas,” ujar Ziad El-Alemi, salah satu pendiri partai Demokrat Sosial Mesir.
Rekonsiliasi yang sulit
El-Alemi menilai rekonsiliasi sangat penting. Namun diperkirakan bahwa untuk jangka pendek, rekonsiliasi antara pendukung Mubarak, rejim militer dan juga dengan Ikhwanul Muslimin akan sangat sulit.
Sampai sekarang pun konflik itu sudah mengemuka. Misalnya yang tercermin pada deklarasi konstitusi yang dikeluarkan Dewan Militer. Ziad Abdel Tawab, wakil direktur Cairo Institute For Human Rights Studies, membenarkan hal itu. Kelompok-kelompok terpenting yang mempelopori pembakangan 30 Juni tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan hingga penunjukkan perdana menteri. Mereka juga tidak diberi peluang untuk menyampaikan hak dan pandangannya dalam perumusan deklarasi konstitusi, tambah Tawab.
Hubungan dengan Islam
Isu konflik lainnya adalah mengenai bagaimana menyikapi kelompok Islam. Pernyataan konstitusi yang dikeluarkan pengganti Mursy menunjukkan dengan jelas bahwa penulis berusaha mengakomodasi kelompok Salafiy. Juga penunjukkan Hezam Beblawi sebagai perdana menteri dapat dilihat sebagai upaya militer menenangkan Islam. Lain halnya dengan Mohammad El-Baradei yang merupakan calon yang tidak begitu mempolarisasi warga.
Semua konflik ini memicu ketegangan besar di antara partai-partai non-Islam. Tampaknya sangat sulit untuk mengontrol kondisi semacam itu.*
Matthias Sailer adalah journalis pada Radio for Deutsche Welle. Tulisan diambil dari laman www.dw.de.