TAHUN lalu ditutup dengan berbagai peristiwa luar biasa di negara Kita. Awal tahun ini juga tidak kalah hebohnya, berbagai kejadian silih berganti kita hadapi.
Yang paling menarik perhatian adalah kehebohan Pilgub Jakarta, kasus penistaan agama yang tak kunjung usai, juga aksi-aksi bela Islam yang mampu menarik massa luar biasa banyaknya.
Memasuki bulan Februari, situasi negeri semakin tidak terkendali. Debat panas pasangan calon gubernur dan wakil gubernur jadi santapan masyarakat.
Kasus perlakuan kurang mengenakkan terhadap Kiai Ma’ruf Amin di persidangan Ahok yang berbuntut kontroversi panjang, belum lagi penetapan Habib Rizieq sebagai tersangka pelecehan agama.
Media berlomba-lomba memberitakan kejadian-kejadian ini dengan berbagai versi, dengan ulasan semenarik mungkin, sebombastis mungkin, sehiperbola mungkin.
Ada yang terang-terangan menunjukkan keberpihakannya pada satu golongan.
Ada juga yang secara halus mengubah perspektif pembaca, kurang pintar sedikit, pembaca bisa langsung percaya dan terpengaruh apa kata media.
Parahnya, ada media yang terang-terangan menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah.
Lantas, bagaimana seharusnya menyikapi media agar adil dalam menilai berita?
Ada baiknya kita flashback sedikit ke beberapa bulan lalu. Sebuah video pengusiran terhadap beberapa awak media ketika aksi bela Islam menjadi viral di media sosial.
Kejadian ini membuktikan bahwa media mulai timpang memberitakan, jadilah antara media dan massa tercipta kekecewaan yang berujung ketidakpercayaan.
Tanggal 9 Februari 2017 ini, merupakan peringatan ‘Hari Pers Nasional’. Ada baiknya hari tersebut tidak hanya sekedar momen untuk diperingati, tetapi juga momen evaluasi.
Apa yang salah dengan pers di negara kita hari ini?
Jumlah media sudah tak terhitung banyaknya. Awaknya juga mumpuni dan profesional, namun mengapa masyarakat semakin sulit percaya pada media?
Mungkin yang salah adalah orientasinya. Kalau dulu, dengan jumlah yang sedikit media mampu menggugah perjuangan anak bangsa, fasilitas minim namun beritanya berbobot, membaca berita jadi nutrisi bagi otak.
Hoax Muncul Akibat Hilangnya Kredibelitas terhadap Media Mainstream
Masyarakat pintar, rakyat bersatu, pemimpin berwibawa. Pembaca dan media sevisi, menjadikan Indonesia merdeka, Indonesia bermartabat.
Kini media bicara bisnis, jadi sponsor maka dijamin pemberitaan positif. Media juga bernuansa politik, tergantung siapa yang diusung.
Lawan politik berarti jadi pesakitan di headnews. Kini, membaca berita rawan fitnah, bisa jadi perpecahan dimana-mana, pemimpin hilang wibawa.
Media tidak lagi peduli Negara ini babak belur. Sesederhana itu saja. Media sekarang ini secara kuantitas mengesankan, namun kualitas berada di titik nadir.
Jumlah media sehat dengan berita objektif tidak sebanding dengan media sakit yang subjektif.
Beberapa hari ke depan akan ramai diwarnai berbagai macam peristiwa yang isunya berhembus di media-media.
Dengan demikian akan semakin tampak pula keberpihakan masing-masing media.
Jadilah pembaca cerdas, jangan hanya membaca beritanya, namun baca juga bekingan medianya. Jangan ikut-ikutan sakit!*
Ema Syamsi | pegiat komunitas menulis PENA Malika
Ada juga yang secara halus mengubah perspektif pembaca, kurang pintar sedikit, pembaca bisa langsung percaya dan terpengaruh apa kata media.
Parahnya, ada media yang terang-terangan menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah.
Lantas, bagaimana seharusnya menyikapi media agar adil dalam menilai berita?
Ada baiknya kita flashback sedikit ke beberapa bulan lalu. Sebuah video pengusiran terhadap beberapa awak media ketika aksi bela Islam menjadi viral di media sosial.
Kejadian ini membuktikan bahwa media mulai timpang memberitakan, jadilah antara media dan massa tercipta kekecewaan yang berujung ketidakpercayaan.
Tanggal 9 Februari 2017 ini, merupakan peringatan ‘Hari Pers Nasional’. Ada baiknya hari tersebut tidak hanya sekedar momen untuk diperingati, tetapi juga momen evaluasi.
Apa yang salah dengan pers di negara kita hari ini?
Jumlah media sudah tak terhitung banyaknya. Awaknya juga mumpuni dan profesional, namun mengapa masyarakat semakin sulit percaya pada media?
Mungkin yang salah adalah orientasinya. Kalau dulu, dengan jumlah yang sedikit media mampu menggugah perjuangan anak bangsa, fasilitas minim namun beritanya berbobot, membaca berita jadi nutrisi bagi otak.
Masyarakat pintar, rakyat bersatu, pemimpin berwibawa. Pembaca dan media sevisi, menjadikan Indonesia merdeka, Indonesia bermartabat.
Kini media bicara bisnis, jadi sponsor maka dijamin pemberitaan positif. Media juga bernuansa politik, tergantung siapa yang diusung.
Lawan politik berarti jadi pesakitan di headnews. Kini, membaca berita rawan fitnah, bisa jadi perpecahan dimana-mana, pemimpin hilang wibawa.
Media tidak lagi peduli Negara ini babak belur. Sesederhana itu saja. Media sekarang ini secara kuantitas mengesankan, namun kualitas berada di titik nadir.
Jumlah media sehat dengan berita objektif tidak sebanding dengan media sakit yang subjektif.
Beberapa hari ke depan akan ramai diwarnai berbagai macam peristiwa yang isunya berhembus di media-media.
Dengan demikian akan semakin tampak pula keberpihakan masing-masing media.
Jadilah pembaca cerdas, jangan hanya membaca beritanya, namun baca juga bekingan medianya. Jangan ikut-ikutan sakit!*
Ema Syamsi | pegiat komunitas menulis PENA Malika