Oleh: Ady C. Effendy
SELASA (31/01/2017) lalu ruang publik nasional kembali digemparkan oleh berita dari persidangan kasus penodaan agama oleh Basuki ‘Ahok’ Purnama yang bertempat di Kantor Kementerian Pertanian.
Di dalam persidangan yang menghadirkan saksi Ketua MUI K.H. Ma’ruf Amin, Ahok mengkonfrontir kesaksian Kiai Ma’ruf dengan menyatakan bahwa sang Kiai tidak layak menjadi saksi karena dipandangnya memiliki konflik kepentingan (conflict of interest) hanya karena pernah menjadi Wantimpres Presiden ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono dan juga pernah bertemu dengan pasangan Cagub-Cawagub nomor urut satu.
Di dalam persidangan itu terungkap pula adanya bukti penyadapan terhadap percakapan Kiai Ma’ruf dan SBY pada tanggal 6 Oktober 2017 atau sehari sebelum Kiai Ma’ruf menerima pasangan cagub-cawagub di kantor PBNU pada tanggal 7 Oktober.
Sidang Kesembilan, Pihak Ahok Kembali Mempermasalahkan Saksi Ahli dari MUI
Rangkaian kasus yang membelit Ahok yang dimulai dengan ungkapan subjektifnya terhadap Al-Quran dan juga sikap merendahkan pemimpin tertinggi PBNU sekaligus Ketua MUI dapat dibaca sebagai peremehan bahkan penggembosan terhadap social and cultural capital (modal sosial-kultural) umat Islam Indonesia yang merupakan sumber daya moral dan nilai dalam memperjuangkan keberadaan tanah air hingga saat ini.
Dari sudut pandang ini, Al Quran sebagai kitab suci umat Islam dan KH. Ma’ruf Amin sebagai pemimpin ulama Indonesia merupakan dua simbol yang sakral dalam tatanan masyarakat Indonesia yang relijius. Penistaan terhadap keduanya tentulah berimplikasi negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dikarenakan umat Islam adalah ‘batu bata terbesar’ (baca: mayoritas mutlak) yang membentuk sebuah ‘bangunan megah’ bernama bangsa Indonesia.
Oleh karenanya, ketidakhormatan bahkan pelecehan terhadap keduanya dapat memicu ketidakharmonisan sosial pada level akar rumput masyarakat.
Konsep tentang cultural capital ini merupakan bagian dari studi yang dilakukan Pierre Bourdieu (1984) dimana menurutnya terdapat tiga kapital yakni ekonomi, sosial dan kultural. Modal ekonomi telah sama dimaklumi terkait dengan uang dan aset, sementara modal sosial berbentuk sumber daya sosial, koneksi dan dukungan dan modal kultural berupa sumber daya pengalaman dan pengetahuan yang keduanya menjadi prasyarat bagi keseimbangan dan keharmonisan dalam masyarakat yang harus dijaga. Modal ekonomi tidak serta merta menjamin seseorang dapat dengan ‘selaras dan klop’ masuk dalam masyarakat di tanah air seperti halnya ahok yang didukung modal ekonomi dan finansial yang tidak kecil tentunya.
Konsep kapital dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh Blunden (2004) dalam komentarnya terhadap Bourdieu: “Kapital adalah sumber daya, yang dengan penguasaannya, memungkinkan seseorang untuk menerapkan atau menolak dominasi dalam relasi sosial, atau dengan kata lain, (merupakan sumber daya) untuk menjaga sebuah posisi dalam hirarki status masyarakat, atau secara objektif, merupakan sebuah ‘prinsip yang berlaku’.” (para. 8)
Bola Salju Kasus Ahok, Haedar Nashir Sindir “Pendatang Baru Pembuat Gaduh”
Kasus Ahok yang berulang kali terjerembab dalam blunder dapat dilihat dalam kacamata analisa sosial ini. Tampak bahwa ia selalu gagal memahami, apalagi menjunjung dan menghormati, ‘norma’ atau ‘prinsip yang berlaku’ dalam masyarakat Indonesia yang agamis dan menjunjung nilai-nilai kesantunan yang berangkat dari agama Islam ini.
Tidak wise (bijak) nya seorang Ahok tampak dari rentetan ‘kebijakan’nya yang melarang kegiatan sosial keagamaan umat Islam ibukota, komentar negatif tentang ayat Al-Maidah 51, dan terakhir ancamannya terhadap KH Ma’ruf Amin, seorang ulama yang sangat sepuh, dalam ruang persidangan untuk memprosesnya secara hukum.
Selain sorotan masyarakat terhadap proses pengadilan yang tampak intimidatif ini sebagaimana diketahui dari media-media yang ada, nada ancaman dan intimidasi dalam pengadilan terhadap seorang Kiai dari organisasi sosial keagamaan terbesar di tanah air juga menggugah rasa keadilan masyarakat sampai sejauh manakah Ahok dapat dibiarkan tidak bertanggung jawab untuk sikapnya mengesampingkan norma kesopanan dan tatanan social-cultural masyarakat muslim Indonesia di tanah air.
Sikap sebagian pihak dari kalangan umat Islam yang malah membela Ahok dengan mengatasnamakan umat Islam justru semakin memperlihatkan ketidaklogisan tindakan mereka dengan sikap mayoritas umat Islam yang jelas terlukai dengan tindakan Ahok menciderai ‘norma’ atau prinsip yang seharusnya dijunjung dalam masyarakat relijius di tanah air yaitu penghormatan pada kesucian Al Quran dan ulama.*
Penulis To Be Successful Muslim Youth