HARI Ahad tanggal 4 Desember 2011 kira-kira kurang dari jam 5 sore tanpa sengaja saya menonton siaran ulangan acara Kick Andy dengan tema “Mengajar Ilmu Ke Pelosok Negeri”.
Pada saat menonton, ada seorang ibu guru berkerudung alumni Universitas Airlangga (Unair) bernama Ayu Kartika Dewi yang pernah ditempatkan di suatu daerah terpencil di Halmahera. Di sana kata sang ibu guru itu mengatakan, penduduknya 100% Muslim dan semua murid adalah Muslim.
Ayu Kartika Dewi, seorang wanita berjilbab yang yang bekerja di perusahaan ternama di Singapura lalu ikut menjadi relawan “Gerakan Indonesia Mengajar” (GIM) yang ditugaskan mengajar di Papaloang, Halmahera Utara.
Ayu Kartika pernah menjadi mahasiswi teladan dan peraih Grand dari Asian Development Bank. Meski berprestasi, maaf, ia masih kurang paham agama. Ia mengikuti GIB yang dibekali selama tujuh minggu di Ciawi yang setelah itu di tempatkan di pulau-pulau terpencil selama setahun, khususnya di pelosok yang kekurangan guru.
Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) merupakan sebuah program yang digagas oleh Anies Baswedan. Program ini memiliki tujuan ganda, pertama, untuk mengisi kekurangan guru berkualitas Sekolah Dasar di daerah terpencil. Kedua, untuk membekali pemuda terbaik yang berpotensi menjadi world class leader with grass root understanding, yaitu pemimpin yang memiliki visi kedepan namun memahami dan mengerti seluk beluk permasalahan rakyat di akar rumput. Para pemuda yang dikirim sebagai guru Sekolah Dasar (SD) ke daerah disebut sebagai Pengajar Muda.
Anies Baswedan adalah Ketua dari gerakan Indonesia Mengajar dan Rektor Universitas Paramadina, salah kampus yang ikut didirkan Dr Nurcholis Majid.
Alkisah, dalam wawawancara di Metro, Ayu mengatakan, saking tidak adanya kepercayaan lain selain Islam, mereka (anak-anak didik si ibu guru itu) sampai pernah bertanya, “Bu guru, apakah kalau ada atau ketemu orang Kristen boleh enggak dipegang?”
Mengetahui kondisi seperti itu, rupanya membuat ibu guru yang mengenakan berkerudung ini mengaku sangat “prihatin” sehingga dia berinisiatif untuk mengusulkan penggati dirinya nanti adalah harus seorang guru beragama Kristen!
Bahkan ia meminta dengan sengaja kepada GIM untuk dikirim penggantinya seorang non-Muslim.
Dasar pemikiran ibu guru berkerudung itu sederhana, dengan adanya seorang Kristen di tengah-tengah anak-anak Muslim yang masih sangat polos itu dia berharap anak-anak itu punya persepsi bahwa orang Kristen-pun adalah orang baik seperti mereka dengan demikian akan tumbuh toleransi.
“Karena jika anak-anak terus-menerus berinteraksi hanya kepada Muslim, mereka tidak akan bisa merasakan bagaimana sih seharusnya toleransi umat beragama? Jadi toleransi hanya ada di buku PPKN. Padahal seharusnya, toleransi itu harus dirasakan dan harus dialami, “ujarnya kepada Metro TV.
Ayu juga mengaku, lahir dari keluarga Kristen. Dan ia mengatakan, kepada murid-muridnya, tak selamanya orang Kristen buruk. Buktinya, neneknya juga baik. Untuk beberapa hal dia benar, tapi banyak hal lain dia sangat banyak keliru. Tapi ia tak sadar. Entah karena dari sananya sudah berpaham liberal atau karena keterbatasan ilmunya.
Ayu mengaku, “Akhirnya anak-anak di desa itu mengerti, baik dan tidaknya seseorang itu bukan agamanya, tetapi hatinya,” demikian kutip Ayu. Nah, di sinilah sebenarnya paham liberal itu diajarkan.
Terus terang saya sangat sedih dengan cara berpikir ibu guru berkerudung itu, dengan angan-angan kosongnya itu dia telah menyerahkan pengasuhan anak-anak Muslim yang polos itu ketangan seorang non Muslim.
Saya tidak tahu harus berkata apalagi atas tindakan bodoh dan konyol ibu guru berkerudung itu. Dia telah menyerahkan generasi muda Muslim yang masih murni itu ke tangan seorang non-Muslim untuk dididik, seperti anak-anak ayam yang dititipkan ibunya kepada seekor “serigala”. Bukan apa-apa, ini urusan akidah.
Masih banyak cara menjelaskan tentang toleransi. Bukankah dengan mengajak anak-anak bertamu ke gereja juga mengenalkan mereka akan agama lain? tanpa harus menjadikan guru Non-Muslim mengajar anak-anak Muslim. Maaf, tahu apa orang di luar Islam dengan agama Islam?
Saya tidak tahu juga, mengapa sang penggagas Anies Baswedan juga menuruti pengiriman seperti itu?
Dalam penjelasannya di Metro, Anies menjalaskan telah meng-couver 12 propinsi. Yang saya tanyakan, “apakah program ini seiring dengan gerakan “memaksakan program liberalisme” kepada anak-anak Muslim di daerah-daerah terpencil?
Sebenarnya untuk para “pejuang” pendidikan seperti ini jumlahnya jauh lebih banyak yang tak tersorot media.
Yang saya prihatin dan sedih adalah ada pendidikan titipan “liberalisme” ini. Untuk kaum Muslimin, tolonglah selamatkan aqidah anak-anak polos di Halmahera itu atau di propinsi lain dari kejahatan “pemaksaan” ideologi atau “pemurtadan” tersembunyi yang mungkin terjadi akibat tindakan tolol saudaranya sendiri itu!
Mudah-mudahan mereka masih bisa ditolong dan diperbaiki.
Mungkin kekhawatiran saya ini terlalu berlebihan tetapi itulah yang saya rasakan….
Dan marilah ini menjadi perhatian kita semua.
Saya percaya Hidayatullah atau ormas-ormas lain masih punya jaringan da’i-da’i yang tersebar hingga ke pelosok-pelosok negeri yang paling terpencil sekalipun yang jauh lebih ikhlas mendidik anak-anak mengenal Allah, bukan pemahaman campur-aduk dan batil.
Mudah-mudahan dengan begitu, anak-anak Muslim di Halmahera itu beserta keluarganya agar mereka tetap beriman dan berislam.
Akhirnya saya berdoa semoga kita semua selamat dari kesesatan dan yang menyesatkan dari orang-orang sesat dan dari orang-orang yang dimurkai.
Aaamiiiin…!
Fulana
(alamat dan email ada pada redaksi)