Hidayatullah.com–Ahad siang (3 September 2017) saya meliput jumpa pers Amnesty International Indonesia di Jakarta. Mereka ingin menyampaikan sikap soal perkembangan terakhir krisis yang menimpa etnis minoritas Rohingya yang dizalami habis-habisan sipil dan militer Myanmar.
Pembicara utama acara itu, setidaknya narasumber utama bagi saya, sebenarnya Marzuki Darusman. Orang Indonesia yang diangkat sebagai ketua tim pencari fakta krisis Myanmar oleh PBB. Yakni United Nations Fact Finding Mission on Myanmar.
Namun sejak awal Marzuki bicara, saya sudah merasa kehilangan nilai signifikan acara itu. Karena, meskipun dia dan timnya mengaku telah melakukan pencarian fakta di Myanmar, dia tidak bersedia membeberkan hasil temuannya. Katanya, dia baru akan menyampaikan hasil kerjanya dalam Sidang PBB pada pertengahan September ini.
“Jadi sekarang kita diskusi saja tentang metode fact finding yang kita lakukan di Myanmar,” kata Marzuki.
Baca: has Kekerasan di Myanmar, Erdogan dan Menlu Turki Kontak Pemimpin Negara Muslim
Praktis, saya tidak mendapat satu pun kutipan yang kuat dari sang ketua TPF PBB soal krisis Rohingya itu. Kutipan dari Direktur Amnesty Internasional cabang Indonesia, Usman Hamid juga datar-datar saja. Syukurlah Amnesty masih mau protes dan “mendesak” pemerintah berbuat sesuatu untuk menyelesaikan krisis yang menimpa Rohingya.
Tapi satu hal yang menjadi catatan saya, momen Rohingya ini seolah dijadikan panggung bagi sebagian orang. Karena selain Marzuki tadi, Amnesty juga mengundang pihak dari CSIS, Kontras, Setara Institute, Komnas Perempuan, dan Laziz Muhammadiyah.
Kita skip Muhammadiyah, karena kiprah dan kepeduliannya sudah tidak diragukan lagi. Tapi, apa hubungannya CSIS dan Setara Institute di acara itu?
Pembicara dari CSIS, Philips J. Vermonte, peneliti senior lembaga think thank Era Orde baru yang dikenal sentimen terhadap gerakan Islam. Sejak awal bicara tidak info menarik dari dia soal Rohingya. Lebih dari dua kali dia mengatakan, “saya sepakat dengan Marzuki Usman”, yang berusaha menjelaskan keadaan negara Myanmar yang sedang mengalami masalah multidimensi, dan transisi yang tidak mulus dari rezim militer menuju pemerintahan sipil.
Baca: Korban Tewas di Rakhine Hampir 400 Orang,Erdogan: Ada Genosida di Myanmar
Ujung-ujangnya Philips menyimpulkan, yang terjadi atas etnis Rohingya adalah tirani mayoritas atas minoritas. “Kalau di Myanmar mayoritasnya Buddha, minoritasnya Muslim,” katanya.
Kata Philips, kalau di Indonesia mayoritasnya Muslim, minoritasnya agama-agama lain. Kemudian dia mengaitkan dengan Syiah di Sampang, Ahmadiyah, bahkan dia menyebut orang-orang yang “dipersekusi” karena menyatakan pendapatnya di medsos. Tepatnya para penghina Islam di medsos yang marak usai kekalahan Ahok di Pilgub DKI April lalu.
“Jadi, tiap negara punya Rohingya-Rohingya masing-masing,” kata Philips menyimpulkan.
Yang saya heran, bagaimana bisa dia menyamakan umat Islam Indonesia dengan kaum Buddhis Myanmar yang kesetanan membantai Rohingya tanpa ampun. Yang sampai bayi pun mereka siksa dan bunuh.
Apa dia tidak melihat fakta tidak ada satu pun vihara, biksu Buddha, orang china, dll yang disakiti oleh umat Islam karena balas dendam atas Muslim Rohingya? Apa dia tidak melihat jutaan Muslim berkumpul pada 2 Desember 2017 di kawasan Monas, yang jangankan non-Muslim / China, rumput dan pohon pun tidak disakiti?
Saat giliran pihak Setara Institute bicara, saya sudah tak berselera dan segera membuat laporan berita apa adanya. Karena memang state-statement acara itu memang apa adanya. Nothing special dari lembaga yang namanya ada pakai embel-embel internasional itu.
Alih-alih menunjukkan aksi nyata dan konklusif atas penderitaan etnis Rohingya, isu ini malah dijadikan panggung bagi orang-orang yang cuma mau tampil tanpa peduli konteks, apakah mereka relevan dan penting untuk berada di panggung itu. Wallahu a’lam.*
Abdullah | Jakarta