Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Alhamdulillah, akhirnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Moh. Mahfud MD, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dr Ali Masykur Moesa, secara aklamasi terpilih memimpin Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (DPP ISNU) periode 2012-2017.
Mahfud MD menjadi Ketua Dewan Kehormatan dan Guru Besar (DKGB) DPP ISNU dalam Kongres pertama ISNU di Universitas Darul Ulum (UNISDA) Sukodadi, Lamongan, Jawa Timur, Sabtu malam (18/02/2012) kemarin.
Kongres I ISNU juga dimeriahkan dengan seminar nasional dan seminar pararel yang membahas 40 `call paper` para pakar yang dimuat dalam Jurnal ISNU. Sarasehan menghadirkan pembicara antara lain Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, ekonom Hendri Saparini, dan pengusaha Arifin Panigoro
Badan otonom ini berfungsi membantu kebijakan NU pada kelompok sarjana dan kaum intelektual. Kedudukannya sama dengan Muslimah NU, Fatayat, IPNU atau GP Anshor.
Hanya saja, jika melihat sejarah, saya juga ingatkan, organisasi seperti ini bukan hal baru, sebelumnya, pernah digagas di masa lalu, yakni berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di tahun 1990-an. Hanya bedanya, ketika itu yang menentang keras lahirnya ICMI justru dari NU, karena dipelopori almarhum Gus Dur.
Gus Dur menentang dengan keras bahkan menyebut ICMI sebagai organisasi “SEKTARIAN”. Dengan di back-up, kelompok nasionalis dan para jenderal, Gus Dur memberikan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi (Fordem), meski akhirnya tidak laku. Ghalibnya, penggoyangan terhadap gagasan mulia para cendekiawan Muslim itu dilakukan seorang tokoh NU dengan dukungan media-media besar seperti Kompas, Suara Pembaruan, Tempo dll.
Jika melihat ICMI dulu yang lebih banyak diwakili umat Islam (karena lebih banyak ormas Islam masuk menjadi representasinya) dibanding ISNU sekarang, maka, menurut saya, apa ISNU bukan lebih sektarian dibanding ICMI?
Pelajaran yang harus kita petik adalah, kita sering apriori dan sering sinis melihat kemajuan saudara Muslim. Bukan mendukung, justru sering menggembosi. Jika kita buka sejarah masa lalu kita semua, kita seharusnya merasa malu atas ketidak-dewasaan kita.
Sebagai masyarakat umum, saya pasti bangga perkembangan NU ini. Bagaimanapun kita harus maju bersama-sama, saling menghargai dan berlomba-lomba untuk kebaikan umat. Tidak lagi saling menonjolkan “keakuan” diri dan lembaga kita. Karena di depan Allah, hanya amal masing-masing yang akan kita pertanggung-jawabkan, bukan nama organisasi kita atau bendera kita. Wallahu al’lam bisshowab.*
Umiyati
Ibu Rumah Tangga
Tinggal di Bekasi