KETIKA kedua kubu kekuatan politik di Mesir (Islamis dan Liberal) sama-sama “ngotot” dengan pendirian mereka ditambah lagi sedikitnya delapan nyawa melayang sebagai dampak dari Dekrit Presiden pada 22 November lalu, semua pihak memprediksi bahwa negeri yang dikenal dengan julukan Ummud Dunya(ibu/pusat dunia) itu bakal kacau. Bahkan sebagian pengamat Arab menilai negeri itu sedang menuju ke haafatul hawiyah (tepi jurang keambrukan).
Di lain pihak publik Arab pada umumnya merasa was-was karena perubahan dekrit tersebut oleh Presiden Mohammad Mursi dengan menghapus pasal-pasal kontraversial tetap ditolak oposisi terutama yang tergabung dalam Front Penyelamatan Nasional. Front ini tetap ngotot agar dekrit dibatalkan, juga menolak pembentukan al-Majlis al-Ta`sisi (Dewan Pembuat Rancangan Konstitusi) dan akhirnya mengancam untuk memboikot referendum rancangan konstitusi tersebut.
“Permainan” media setempat dan media terkemuka Arab pada umumnya yang sebagian besar terkesan memihak kubu Liberal dan menghujat kubu Islamis ikut memperkeruh suasana sehingga sebagian warga negeri Lembah Nil itu, ikut terpengaruh. Saat melihat situasi yang mengkhawatirkan itu, penulis sebenarnya ikut was-was juga, namun tetap merasa yakin bahwa masih banyak para tokoh bijak dari kedua kubu yang siap “mati-matian” menengahi konflik elit itu.
Propaganda media yang demikian gencar memojokkan kubu tertentu dengan menyebarkan berbagai kecurigaan bahkan tuduhan tidak berdasar sangat mudah ditelan mentah oleh publik. Propaganda itu intinya sebagai bentuk ketakutan terhadap Islam politik (political Islam phobia) di satu sisi dan al-Ikhwan phobia di sisi lain.
Sebagian media setempat bahwa menyebarkan propaganda yang sangat keterlaluan sehingga memancing amarah pendukung kubu yang terpojokkan sehingga mereka melakukan unjukrasa di depan kota produksi media Mesir (EMPC: Egyptian Media Production City). Aksi tersebut kembali menuai reaksi dengan tuduhan bahwa kubu Islamis tidak menghargai kebebasan pers.
Presiden Mursi yang mendapat dukungan kubu Islamis dan sebagian kubu nasionalis kelihatannya tidak terpengaruh dengan aksi yang cenderung mengarah ke eskalasi tersebut. Referendum rancangan konstitusi tetap dilaksanakan sesuai jadwal semula yakni pada 15 Desember ini dan telah didahului tiga hari sebelumnya dengan referendum bagi warga Mesir di luar negeri.
Akhirnya keyakinan penulis bahwa situasi saat ini di negeri Piramida itu bakal dapat diatasi dengan damai, benar-benar terbukti pada Rabu (12/12/2012) berbarengan dengan dimulainya referendum bagi warga Mesir di luar negeri. Oposisi yang tergabung dalam Front Penyelamatan Nasional akhirnya bersedia ikutserta dalam referendum dengan menyerukan pendukungnya memilih “tidak/menolak” referendum, meskipun dengan mengedepankan sejumlah syarat.