Oleh: Adam John
“Tidakkah Anda tahu, kami di sini di bawah darurat militer,” kata seorang petugas militer Thailand kepada Faisal ketika ia menolak untuk menghapus foto-foto saat Faisal memotret gambar ketika petugas mengepung rumah seorang pria yang mereka tangkap sebelumnya itu.
Faisal ditangkap gara tidak menghapuskan foto. Para petugas menyita ponselnya, menghapus foto-foto dan membaca pesannya di akun media sosial Facebook dan Line-nya. Namun, aspek yang paling memprihatinkan dari semua ini bukanlah tindakan petugas tetapi fakta bahwa pelanggaran hak asasi manusia tersebut adalah sah menurut Undang-Undang Militer Thailand.
Warga Melayu dari wilayah Patani di Thailand selatan telah lama mendesak pihak berwenang memperlakukan mereka sebagai warga kelas dua. Empat belas tahun UU Darurat Militer di tiga provinsi Pattani, Yala dan Narathiwat – wilayah yang merupakan bekas Kerajaan Patani sebelum dianeksasi oleh Siam (sekarang Thailand) – hanya memperkuat perasaan di antara penduduk lokal Melayu memiliki hak kurang dari sisa Thailand.
Tentu saja, Thailand secara keseluruhan telah melihat perubahan semakin turun dalam praktik demokrasi dan perlindungan hak-hak individu warga sejak kudeta militer pada tahun 2014. Namun, penting untuk menunjukkan bahwa penduduk yang hidup di bawah Darurat Militer di wilayah Patani hidup di bawah sebuah rezim yang terpisah sama sekali dengan kurang menghormati HAM dan memungkinkan pihak berwenang untuk beroperasi dengan impunitas. Seperti, 382 kasus mencatat pembunuhan di luar hukum sejak 2004- 2017 di wilayah Patani,Thailand Selatan.[Duay Jai and HAP. 2018. Monitoring and fact finding situation in Deep South Thailand report 2016-2017]
Tidak satu pun pejabat keamanan yang pernah dihukum karena pembunuhan di luar hukum di pengadilan.
Baru-baru ini, Khaosod English menerbitkan sebuah laporan yang memberi tahu warga negara Thailand tentang hak-hak mereka jika diperiksa oleh petugas polisi, pada bulan Maret yang lalu.
Baca: Tentara Thailand Tembak Warga Patani saat Hari Raya Idul Fitri
Menurut artikel tersebut, petugas polisi memiliki hak untuk memerikasa orang dan properti. Namun, warga memiliki hak untuk memfilmkan atau mengambil foto polisi selama tidak mengganggu pekerjaan polisi. Tragisnya, bagi mereka yang hidup di bawah Darurat Militer di wilayah Patani, mengalami di bawah hukum yang sepenuhnya berbeda.
Faisal Daleng –sebagaimana dijelaskann dalam artikel saat penangkapannya yang diambil dari kesaksian dalam bahasa Thailand — seorang aktivis dan mantan koordinator PerMAS (Persatuan Mahasiswa dan Pemuda Patani) yang tinggal di Bangkok mengalami tantangan pertama ini. Ketika ia memutuskan untuk mendokumentasikan dan mengambil gambar petugas militer yang sedang mengawal rumah seorang pria yang sebelumnya mereka tahan.
Faisal telah tiba di kampung halamannya di Provinsi Yala pada bulan Desember 2017. Pada tanggal 22 Desember 2017, dia diberitahu tentang penyerbuan di sebuah rumah di Desa Bo Thong, Distrik Bannangsta di Yala yang berlangsung pada pukul 3:00 pagi. Seorang pria ditangkap oleh Pasukan Khusus (dikenal sebagai Chor Kor di Thailand). Faisal sempat berbicara dengan kepala desa pagi itu untuk mencari informasi tentang apa yang telah terjadi.
Pukul 8.00 pagi, Faisal menyaksikan para petugas militer kembali ke rumah bersama pria yang ditahan itu. Faisal mendokumentasikan acara tersebut dengan mengambil foto. Seorang petugas melihat Faisal memotret, berteriak padanya dan bertanya apa yang sedang dilakukannya. Petugas itu memerintahkan Faisal untuk menghapus foto-foto yang diambilnya.
“Tidakkah Anda tahu kami di sini di bawah Darurat Militer,” kata petugas militer tersebut.
Faisal menolak mengatakan bahwa itu adalah haknya untuk mendokumentasikan acara untuk keselamatan keluarga tersangka dan penduduk desa. Pasukan khusus ini, adalah salah satu kelompok militer yang terlibat dengan pembunuhan di luar proses hukum, pada (14/7/2017) yang lalu. 20 orang pasukan khusus militer ini, mengawal warga Patani yang disebutnya tersangka, bernama Paoyee Tasamoh. Dia telah ditahan dua hari sebelumnya. Ketika tersangka dikawal ke belakang rumahnya, para petugas menuduh dan mengklaimkan bahwa Paoyee berhasil membebaskan diri, mendapatkan pistol dan menembak dua tembakan ke arah petugas sebelum petugas menembaknya mati. [Duay Jai and HAP. 2018. Monitoring and fact finding situation in Deep South Thailand report 2016-2017]
Maka dapat dipahami, aktivis dan penduduk desa memiliki alasan yang sangat sah untuk mendokumentasikan operasi militer semacam itu.
Karena demikian itu, Faisal diancam akan ditangkap jika dia tidak mematuhi perintah petugas tetapi dia masih menolak. Akhirnya Faisal ditahan di Pusat Resimen Ranger Angkatan ke-33 di Banangsta, Yala. Dan meyita telepon Faisal. Begitu mereka tiba di Bannangsta, petugas mencari informasi di telepon Faisal termasuk akun Facebook dan LINE miliknya di depan Faisal. Faisal khawatir karena dia mendapat pesan dari aktivis lain di teleponnya.
Faisal dibebaskan pada hari yang sama pukul 12.30 malam. Sebelum dia dibebaskan, teleponnya dikembalikan kepadanya tetapi petugas itu mengatakan bahwa dia telah menghapus semua foto yang diambil Faisal hari itu. Faisal juga diberi selembar kertas kosong dan diperintahkan oleh petugas untuk menuliskan informasi tentang latar belakangnya termasuk rincian pendaftaran mobilnya dan bahkan informasi tentang teman-teman dekatnya.
Kendati Undang Darurat militer, penangkapan Faisal, perampasan teleponnya dan pembacaan melalui pesan pribadinya semuanya legal di Patani. Menurut Undang Bagian 8 dari Undang-undang Darurat Militer, “Otoritas militer akan memiliki kekuatan penuh penangkapan, permintaan wajib, larangan, penyitaan, cabut diri, penghancuran atau perubahan tempat dan keluar dari orang-orang”. Pada Pasal 9 dan 12 menyatakan bahwa barang-barang yang dapat dicari dan disita termasuk pesan, surat, telegraf, ,paket, buku, surat kabar dan bahkan puisi. Petugas juga dapat “mematikan, mencari, menangkap, dan menahan orang-orang tanpa harus membuat surat penggeledahan atau surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan”.
Jadi siapa pun dapat ditahan hingga tujuh hari tanpa surat perintah penangkapan karena sepenuhnya tergantung pada kebijaksanaan petugas keamanan.
Tentu saja, situasi di wilayah Patani tidak sama dengan daerah lain di Thailand. Ribuan warga sipil telah tewas dan terluka sejak letusan terakhir konflik di Patani yang dimulai pada tahun 2004, termasuk pembunuhan 136 guru dan 238 anak-anak. Meskipun pemerintah masih ingin menyangkalnya, situasi di Patani adalah konflik bersenjata internal menurut kelompok hak asasi manusia internasional seperti Amnesty International yang berarti harus tunduk pada hukum humaniter internasional.
Organisasi hak asasi sejak lama mengkritik penerapan undang-undang darurat. Karena aturan ini memberi militer kekuasaan dan kewenangan yang terlalu besar. Penerapan undang-undang darurat mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Sunai Pathak dari Human Rights Watch dengan tegas mengatakan, ”Sejak sembilan tahun terakhir ada berbagai kasus yang tidak tuntas tentang pembunuhan ilegal, penyiksaan dan penculikan. Banyak orang diculik dan menghilang. Tidak ada pelaku yang dikenai sanksi,” ujarnya dilansir Deutsche Welle.
Tindakan seperti itu justru dijadikan alasan oleh para gerakan bersenjata Patni yang terus melakukan aksi kekerasan. Akibatnya, militer bertindak lebih represif lagi.
Tindakan terhadap Faisal serta laporan lainnya tentang kasus diskriminasi warga setempat dan pembela hak asasi manusia di wilayah Patani tidak ada hubungannya dengan keamanan nasional. Undang-Undang Hukum Darurat adalah pelanggaran kewajiban Thailand di bawah hukum hak asasi manusia internasional dan hal itu menambah keluhan terhadap warga lokal di Patani, hanya menegaskan bahwa mereka benar adalah warga negara kelas dua.
Adam John warga Inggris yang tinggal di Swedia, merupakan pendukung non-violent poitical activism di Patani, Thailand Selatan. Artikel diambil dari https://prachatai.com dialihbahasakan oleh Johan Lamidin