oleh: Alex Ward
Hidayatullah.com | PRESIDEN Donald Trump mengklaim proposal ‘perdamaian’nya untuk ‘Israel’ dan Palestina akan terbukti sebagai kemenangan yang akan berlangsung selama 80 tahun ke depan. Namun tidak jelas apakah itu akan bertahan bahkan untuk selama 80 menit.
Hal tersebut dikarenakan banyak analis yang meyakini kesepakatan itu – bagian politik yang akhirnya dirilis pada Selasa – sudah mati saat kedatangannya.
“Itu benar-benar omong kosong,” seorang mantan pejabat Gedung Putih yang dekat dengan proses rencana perdamaian mengatakan pada Alex Ward, penulis kolom keamanan dan pertahanan internasional harian Vox mengatakan.
Dalam rencana yang tertulis dalam kira-kira 50 halaman, strategi politik pemerintah – yang direncanakan oleh menantu Trump dan penasihat senior Jared Kushner – bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah sulit yang menghambat pemerintahan Demokrat dan Republik selama berdekade.
Rencana itu menetapkan pemukiman masa depan ‘Israel’, bagaimana rakyat Palestina secara kondisional dapat membentuk negara, dan pandangan Amerika tentang segudang masalah keamanan ‘Israel’.
Yang tidak ada dalam rencana perdamaian itu adalah “hak kembali” rakyat Palestina yang terusir dari rumah leluhur mereka di wilayah yang diduduki dan dijajah ‘Israel’, memberikan ‘Negara Palestina Baru’ yang berdaulat untuk membentuk militer yang dapat digunakannya mengancam ‘Israel’ (atau melindungi dirinya sendiri dari ‘Israel’), atau memberikan Palestina bagian penting dari Jerusalem sebagai ibu kotanya.
Bahkan, pada dasarnya rencana itu mengabaikan semua keinginan utama rakyat Palestina, karena rencana itu dirancang tanpa masukan dari para pemimpin Palestina.
Peluncuran ‘perdamaian’, yang dihadiri Trump serta Perdana Menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu tetapi tanpa kehadiran satupun pemimpin Palestina, tidak akan memadamkan kekhawatiran. Beberapa pihak bahkan berpendapat bahwa peluncuran rencana itu lebih dimaksudkan untuk membantu Netanyahu memenangkan pemilu ketat pada Maret.
“Apa yang disebut Deal of The Century atau ‘Kesepakatan Abad Ini’ sama sekali bukan rencana perdamaian. Itu adalah rencana agar membuat Benjamin Netanyahu bias terpilih kembali,” Guy Ziv, pakar ‘Israel’ di American University mengatakan, “Jika rencana ini benar-benar bertujuan untuk memecahkan kebuntuan diplomatik, Palestina akan dikonsultasikan dalam perumusan rencana.” Dia melihat bahwa negosiator mereka menghentikan hubungan ketika tim Trump memutuskan memindahkan Kedutaan Besar AS di ‘Israel’ ke Yerusalem.
“Itu bukan rencana serius,” lanjut Ziv. “Itu tidak memuaskan aspirasi rakyat Palestina atau kebutuhan keamanan ‘Israel’.”
Tetapi untuk mendengar Trump mengatakannya, dia telah menjadi perantara terobosan-terobosan diplomatik paling penting tidak hanya dalam kepresidenannya tetapi juga dalam sejarah modern. “Ini telah menjadi proses yang panjang dan sangat sulit untuk tiba di momen ini,” Trump mengatakan dalam pidatonya di Gedung Putih pada Selasa, berdiri di sebelah Netanyahu yang tersenyum. “Semua pemerintahan sebelumnya dari Presiden Lyndon Johnson telah mencoba dan gagal total, namun saya tidak terpilih untuk melakukan hal-hal kecil atau menghindari masalah-masalah besar.”
Netanyahu, dalam bagiannya berbicara, sangat senang dengan hasilnya.
“Saya percaya bahwa selama beberapa dekade, dan mungkin selama berabad-abad, kita akan mengingat 28 Januari 2020, karena pada hari ini, anda menjadi pemimpin dunia pertama yang mengakui kedaulatan ‘Israel’ atas wilayah yang penting bagi keamanan kami dan pusat dari warisan kami,” perdana menteri itu mengatakan pada Trump.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah kuncinya. Tidak jelas apakah sekutu-sekutu Amerika di Timur Tengah dan Eropa akan mendukung strategi ini, dan para pemimpin Palestina sudah menolaknya. Netanyahu bertujuan untuk mendorong pemungutan suara pada Minggu untuk mencaplok 30 persen dari Tepi Barat dan sebagian lembah Jordan – yang jelas-jelas didukung oleh peluncuran rencana ini.
Yang berarti sudah terlihat jelas pemerintahan Trump telah memperdalam krisis yang dijanjikan untuk diselesaikan. “Ancaman nyata bagi perdamaian adalah jika rencana itu berhasil,” Khaled Elgindy, penasihat kepemimpinan Palestina dari 2004 hingga 2009 dan sekarang di Middle East Institute di Washington, mengatakan.
Apa yang sebenarnya dikatakan rencana perdamaian baru itu?
Ada banyak hal dalam dokumen itu, tetapi ada empat komponen utama dari proposal politik baru yang perlu Anda ketahui: 1) ‘Israel’ menjadikan sebagian besar Yerusalem (Baitul Maqdis) sebagai ibu kotanya; 2) Rakyat Palestina tidak mendapatkan hak kembali ke tanah leluhurnya; 3) Ada penggambaran perbatasan baru antara ‘Israel’ dan Tepi Barat; 4) Tidak memperbolehkan Palestina membentuk kekuatan tempur untuk mempertahankan dirinya sendiri.
Yerusalem
Pertama, ‘Israel’ mendapatkan keseluruhan Jerusalem sebagai ibu kotanya. ‘Negara Palestina Baru’ bentukan AS dan ‘Israel’ ini akan mendapatkan beberapa lingkungan kecil di Yerusalem timur jauh.
Ini adalah keputusan besar. Untuk pertama kalinya dalam 20 tahun eksistensi ‘Israel’, Yerusalem terpisah. ‘Israel’ mengendalikan sebagian Yerusalem dan pinggirannya di dalam garis titik-titik merah di peta ini, sementara Jordania mengendalikan semua yang diluarnya (garis titik-titik biru memisahkan Yerusalem dari pinggiran kota):
Jordania mengendalikan Baitul Maqdis atau Temple Mount, sebuah bukit di bertanda coklat di peta. Bukit ini memiliki Tembok Barat atau Tembok Ratapan, yang diakui sebagai tembok dari kuil Yahudi kuno dan salah satu situs suci Yudaisme, dan kompleks Baitul Maqdis yang meliputi Masjidil Aqsha dan Dome of Rock. Yahudi ‘Israel’ tidak diperbolehkan memasuki wilayah itu ketika Jordania mengendalikannya. Dalam perang 1967, ‘Israel’ merebut kendali Jerusalem Timur.
‘Israel’ menyebut Yerusalem ibu kota sepenuhnya hari ini, tetapi hanya sedikit negara yang mengakuinya. Resolusi Dewan Keamanan PBB 478 mengecam keputusan ‘Israel’ yang mencaplok Jerusalem Timur sebagai pelanggaran hukum internasional menyerukan solusi kompromi.
Jadi bagi pemerintahan Trump pada dasarnya mengatakan, “Maaf, semua Yerusalem milik ‘Israel’,” sebuah langkah berani yang akan membuat para pemimpin ‘Israel’ senang namun membinasakan semua peluang untuk mengikutsertakan Palestina.
Presiden Erdogan Ogah Dukung ‘Perdamian Palestina Buatan Palestina’
Tidak ada “hak kembali” untuk pengungsi Palestina
Rencana tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa tidak akan ada “hak untuk kembali” jutaan warga Palestina yang dipaksa meninggalkan rumah leluhur mereka selama pendirian ‘Negara Israel’.
Perang 1948 mengusir 700.000 warga Palestina dari rumah mereka, menciptakan krisis pengungsi yang masih belum terselesaikan. Orang Palestina menyebut perebutan massal ini Nakba – bahasa Arab untuk “malapetaka” – dan warisannya masih menjadi salah satu masalah paling sulit diselesaikan dalam negosiasi damai yang sedang berlangsung.
Hari ini, ada lebih dari 7 juta pengungsi Palestina, yang didefinisikan sebagai orang terlantar pada tahun 1948 dan keturunan mereka. Tuntutan utama Palestina adalah keadilan bagi para pengungsi ini, umumnya dalam bentuk hak untuk kembali ke rumah-rumah yang ditinggalkan keluarga mereka pada waktu itu.
‘Israel’ tidak menerima hak untuk kembali tanpa mengabaikan identitas demokratis atau Yahudinya. Menambahkan 7 juta orang Arab ke populasi ‘Israel’ akan membuat Yahudi minoritas; populasi total ‘Israel’ sekitar 8 juta, jumlah itu sudah termasuk 1,5 juta Arab yang masih tinggal di sana. Jadi orang ‘Israel’ bahkan menolak untuk mempertimbangkan termasuk hak untuk kembali dalam kesepakatan status akhir – dan sekarang, tampaknya, Amerika setuju dengan pandangan itu.
Rencana Trump memberikan tiga pilihan bagi para pengungsi ini:
- Penyerapan ke Negara Palestina (tunduk pada batasan yang disediakan di bawah)
- Integrasi lokal di negara tuan rumah saat ini (tunduk pada persetujuan negara-negara itu); atau
- Penerimaan 5.000 pengungsi setiap tahun, hingga sepuluh tahun (total 50.000 pengungsi), di masing-masing negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang setuju untuk berpartisipasi dalam pemukiman kembali pengungsi Palestina (sesuai dengan kesepakatan masing-masing negara).
Penataan ulang perbatasan
Proposal ‘rencana damai’ itu menggeser perbatasan untuk secara efektif memberi ‘Israel’ lebih banyak tanah di Tepi Barat yang dikendalikan Palestina, dengan imbalan “pertukaran tanah” yang mencakup dua wilayah di Gurun Negev.
Ini “peta konsepsual” yang termasuk dalam proposal:
Seperti yang bisa Anda lihat, peta ini memberi ‘Israel’ bagian besar Tepi Barat di mana saat ini terdapat sejumlah pemukiman ilegal ‘Israel’. Pemukiman di wilayah Palestina yang diduduki ‘Israel’ ini ilegal di bawah hukum internasional dan tidak dianggap sebagai bagian dari ‘Israel’. Rencana Trump akan mengubah itu dengan memberikan ‘Israel’ bagian besar dari tanah yang telah mereka bangun di atasnya.
Peta ini juga menunjukkan bahwa ‘Israel’ akan mengendalikan Lembah Sungai Jordan. Itu janji yang dibuat Netanyahu kepada rakyatnya September lalu, dan itu sangat kontroversial.
Lembah Jordan membentang di sepanjang tepi timur Tepi Barat, wilayah padat penduduk Palestina yang direbut ‘Israel’ pada perang 1967, menandai perbatasannya dengan Jordania. Lembah itu memuat pusat-pusat populasi Palestina, seperti kota Jericho, dan sejumlah pemukiman ilegal ‘Israel’.
Argumen paling kredibel untuk ‘Israel’ secara resmi merebut kendali tanah ini pada dasarnya merupakan strategis. Sebelumnya ‘Israel’ pernah menghadapi invasi Jordania, dan kehadiran militer IDF di Lembah Jordan bisa dibilang penting untuk melindungi ‘Israel’ dari invasi hipotesis di masa depan.
Namun, tidak ada risiko dalam waktu dekat seperti invasi untuk membenarkan perebutan lahan segera. Dan ada banyak pengaturan di mana ‘Israel’ dapat melindungi kepentingan keamanan di Lembah Jordan tanpa langsung merebut tanah itu. Bisa dengan menempatkan beberapa pasukan di sana dengan izin dari negara Palestina, misalnya.
Demiliterisasi Negara Palestina secara permanen
Akhirnya, rencana tersebut menyerukan sebuah ‘Negara Palestina Baru’ yang tidak pernah bisa mengamankan dirinya sendiri.
“Negara Palestina (baru) tidak akan memiliki hak untuk membentuk perjanjian militer, intelejen atau keamanan dengan negara atau organisasi apapun yang berdampak buruk terhadap keamanan ‘Negara Israel’, sebagaimana ditentukan oleh ‘Negara Israel’,” dokumen itu terbaca. “Negara Palestina (baru) tidak akan dapat mengembangkan kemampuan militer atau paramiliter di dalam atau di luar Negara Palestina.”
Dengan kata lain, ‘Negara Palestina Baru’ versi AS tidak akan boleh menciptakan angkatan bersenjata untuk melindungi diri atau melawan orang lain. Ini akan membuat negara Palestina berada di bawah kekuasaan militer ‘Israel’ yang kuat, memberi ‘Israel’ kemampuan yang lebih besar untuk menekan tetangga masa depannya.
Komponen ekonomi dalam rencana Trump
Ini semua direncanakan untuk menambah porsi ekonomi dari rencana perdamaian yang dirilis pada Juni lalu.
Dijuluki “Perdamaian untuk Kesejahteraan,” rencana ekonomi itu diumumkan sebagai “visi untuk memberdayakan masyarakat Palestina yang makmur dan bersemangat.” Pemerintah AS mengklaim rencana tersebut memiliki “potensi untuk memfasilitasi lebih dari 50 miliar Dolar AS dalam investasi baru selama 10 tahun.”
Tetapi para kritikus mengecam proposal tersebut, menyamakannya dengan “brosur real estat” – lengkap dengan foto-foto promosi yang mengkilap dari program bantuan Palestina yang telah dipotong Trump.
Yang terpenting, rencana tersebut tidak memiliki rincian tentang solusi politik untuk konflik ‘Israel’-Palestina. Itu disengaja: Kushner memutuskan untuk mengeluarkan bagian ekonomi sebelum melepaskan bagian politik, mengatakan bahwa melepaskan bagian kecil ekonomi “lebih sedikit kontroversial.” Tapi tanpa bagian politik, proposal ekonomi pada dasarnya tidak ada artinya.
Sulit membayangkan siapapun berinvestasi miliaran dolar dalam proyek infrastruktur dan transporasi besar bagi warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza sementara pemerintah ‘Israel’ terus mencaplok wilayah yang pertama dan secara teratur mengebom yang terakhir. Pertanyaannya sekarang adalah apakah porsi politik memuaskan semua kekhawatiran itu, tetapi para ahli dengan suara bulat mengatakan itu tidak akan terjadi.
Tidak ada rencana yang akan sempurna. Pemerintahan sebelumnya, Republik dan Demokrat, gagal mewujudkan kesepakatan damai. Dengan demikian, rencana Trump kemungkinan akan bergabung dengan rencana mereka di tumpukan sampah sejarah diplomatik.
Tetapi upaya pemerintah ini berbeda dalam hal secara terus-menerus mengesampingkan kepentingan Palestina dan pemimpinnya sambil memprioritaskan kepentingan ‘Israel’. Itu kurang bisa disebut negosiasi, dan malah bisa disebut mempersenjatai yang kuat.
Hamas Kecam Negara Arab Hadiri Peluncuran ‘Kesepakatan Abad Ini’
Rencana ‘perdamaian’ melanjutkan dukungan Trump untuk sayap kanan ‘Israel’
Ciri khas pendekatan Trump ke Timur Tengah adalah hubungan pribadinya dengan Netanyahu dan dukungannya kepada pemerintahan sayap kanan yang dipimpin Netanyahu.
Persahabatan mereka, dan penasihat Trump yang sangat pro-’Israel’ – dari Wakil Presiden Mike Pence hingga Dubes AS untuk ‘Israel’ David Friedman hingga Kushner sendiri – memimpin pemerintahannya untuk mendukung banyak prioritas Netanyahu di kawasan itu, dalam beberapa kasus memutarbalikkan kebijakan asing AS berumur puluhan tahun dan menghancurkan kesempatan untuk melibatkan Palestina dalam prosesnya.
Misalnya, Trump memindahkan Kedutaan Besar AS di ‘Israel’ dari Tel Aviv ke Jerusalem pada Mei 2018, menindaklanjuti janjinya beberapa bulan sebelumnya.
Pada Maret 2019, AS mengakui Daratan Tinggi Golan sebagai bagian dari ‘Israel’, perubahan besar lainnya dalam kebijakan AS. Daratan Tinggi Golan, seperti yang ditulis Neri Zilber untuk Vox pada tahun 2018, adalah “area strategis dataran tinggi yang terletak di sepanjang perbatasan utara ‘Israel’ dengan Suriah. Selama beberapa dekade itu adalah bagian dari Suriah … [tetapi] ‘Israel’ menaklukkan wilayah itu selama perang 1967 dan kemudian mencaploknya dalam tindakan yang tidak diakui oleh masyarakat internasional. ”
Dan November lalu, Pompeo mengumumkan bahwa dia membalikkan opini hukum Departemen Luar Negeri lama yang menyebut pemukiman ‘Israel’ di Tepi Barat sebagai ilegal menurut hukum internasional. Posisi baru ini sangat bertentangan dengan interpretasi arus utama hukum, pendekatan historis AS terhadap konflik, dan pandangan masyarakat internasional yang lebih luas tentang situasi tersebut.
Pengumuman mengirim pesan yang jelas kepada pemukim ‘Israel’ dan pemerintahnya: Silakan dan terus pindah ke tanah yang diinginkan rakyat Palestina sebagai rumah bagi negara masa depan mereka.
Semua itu, bercampur dengan perintah Trump untuk menutup misi Palestina di Washington dan menghentikan bantuan bagi para pengungsi Palestina, menunjukkan betapa Trump menyukai visi Netanyahu untuk ‘Israel’ dan mengapa para pemimpin Palestina menyerah pada proses tersebut.
Tetapi Trump juga memiliki alasan politik dalam negeri untuk melakukan semua ini: Partai Republik ingin presiden AS menunjukkan kepedulian yang pro-’Israel’.
Ada peningkatan luar biasa dalam sentimen pro-’Israel’ di kalangan Republik selama beberapa dekade terakhir. Polling Gallup menunjukkan bahwa pada tahun 1988, 47 persen dari Partai Republik dan 42 persen dari Demokrat memihak ‘Israel’ dalam konflik dengan Palestina. Pada Maret 2019, angka itu kira-kira sama untuk Demokrat (43 persen) tetapi secara dramatis lebih tinggi untuk Partai Republik (76 persen).
Oleh karenanya, ini demi kepentingan politik Trump untuk tetap berpihak pada Netanyahu.
“Daripada membangun di upaya sebelumnya, Gedung Putih Trump telah mengambil langkah-langkah, seperti mengakui kedaulatan ‘Israel’ di Yerusalem dan Dataran Tinggi Golan, dan menciptakan rencana yang melayani kepentingan Netanyahu, pemukim ‘Israel’, dan agenda komunitas evangelikal konservatif di AS – yang terakhir adalah bagian penting basis Trump, ”kata Ziv dari Universitas Amerika.
Dan itu membawa kita pada mengapa Trump ingin merilis rencana perdamaian sekarang.
Syeikh Ikrimah Sabri: “Kesepakatan Abad Ini’ Buatan AS telah Gagal
Rencana baru untuk kepentingan Netanyahu, bukan perdamaian
Netanyahu sedang berjuang melawan tuduhan korupsi dan penyuapan sambil secara bersamaan berkampanye untuk pemilihan kembali pada Maret 2020.
Dakwaan pada bulan November 2019 terhadap Netanyahu mencakup tiga kasus yang berbeda, dengan dugaan pelanggarannya termasuk penerimaan hadiah yang tidak pantas dari seorang miliarder dan pengaturan korup dengan tokoh media yang bertujuan untuk meningkatkan liputan persnya. Tuduhan teknisnya adalah suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan publik – suap menjadi yang paling serius di bawah hukum ‘Israel’.
Jumlah masa hukuman tidak perlu dipertanyakan: Mantan Perdana Menteri Ehud Olmert terlibat dalam skandal suap selama masa jabatannya di akhir tahun 2000-an dan akhirnya menjalani lebih dari satu tahun penjara.
Dakwaan datang pada saat yang kritis dalam politik ‘Israel’: setelah pemilihan yang tidak meyakinkan. Baik partai Likud sayap kanan Netanyahu maupun rival utamanya, partai sentris Biru dan Putih yang dipimpin oleh Benny Gantz, tidak dapat membentuk koalisi yang memerintah.
Partai-partai tersebut telah dalam pembicaraan dengan sekutu dan membentuk koalisi persatuan nasional, tetapi salah satu poin penting adalah Netanyahu sendiri. Dia ingin mempertahankan jabatan puncak dalam beberapa kapasitas, sementara para pemimpin Biru dan Putih dengan tegas menolak untuk mengizinkannya melakukan itu sementara sebuah dakwaan masih ada.
Itulah sebabnya ‘Israel’ akan melakukan pemilihan ketiganya dalam setahun untuk membentuk pemerintahan, dengan partai Netanyahu dan Gantz masih menjadi pemimpin. Krisis politik dan hukum ini telah menyebabkan Netanyahu mencengkeram kekuasaan. Masuklah ke Trump, yang dengan strategi ramah-sayap-kanan ini dapat memberikan dorongan kepada teman ‘Israel’nya.
“Waktu pembebasan rencana ini jelas diatur oleh Netanyahu dan para pendukungnya di Washington. Ini memberikan perdana menteri yang diperangi, yang tampaknya sedang dalam perjalanan keluar, dengan hadiah pra-pemilihan utama – mungkin rakit hidup, ”kata Ziv. “Ini menggeser fokus kampanye pemilihan ‘Israel’ dari perdana menteri yang didakwa yang mungkin menghadapi waktu penjara ke rencana yang digambarkan sebagai sangat menguntungkan bagi ‘Israel’.”
“Oleh karena itu, ini merupakan gangguan paling mencolok dalam urusan domestik ‘Israel’ yang telah kita lihat sampai saat ini,” pungkasnya.*
Alex Ward adalah seorang associate director di Pusat Keamanan Internasional Brent Scowcroft Dewan Atlantik. Tulisan ini dimuat Vox judul disesuaikan redaksi