Oleh: Karan Deep Singh | Suhasini Raj
Hidayatullah.com | SELAMA hampir dua tahun, Mamoni Rajkumari, pengacara, menghabiskan waktunya memutuskan siapa yang akan menjadi warga negara India dan siapa yang tidak, sebagai bagian dari pengadilan “warga negara” yang memeriksa orang di negara bagian Assam. Dia kemudian dipecat karena memutuskan sedikit Muslim sebagai bukan warga negara.
“Saya dihukum,” katanya.
Ibu Rajkumari, 54 tahun, mendapatkan dirinya berada di garis depan perang kewarganegaraan India. Selain pengadilan, negara bagian Assam juga baru-baru ini menyelesaikan peninjauan yang lebih luas dan terpisah dari setiap dokumen warga untuk menentukan apakah mereka warga negara.
Tinjauan itu menemukan bahwa hampir dua juta dari 33 juta penduduk Assam, banyak dari mereka yang sangat miskin, kemungkinan adalah orang asing. Sekarang kelompok ini – yang sebagian besar Muslim – berpotensi terancam tanpa kewarganegaraan.
Apa yang terjadi di Assam adalah tampilan dari yang mungkin akan datang ke India secara keseluruhan dimana Perdana Menteri Narendra Modi berusaha menjauhkan India – yang pondasi dasarnya sebagai sebuah negara sekuler, multi budaya– mengubahnya menjadi negara Hindu yang lebih terbuka.
Harian New York Times mewawancarai satu anggota aktif dan lima mantan anggota pengadilan yang meninjau mereka terduga orang asing. Mereka mengatakan merasa tertekan oleh pemerintah untuk mendeklarasikan Muslim sebagai bukan warga negara. Tiga dari mereka, termasuk Rajkumari, mengatakan mereka dipecat karena tidak melakukan itu.
Pejabat pemerintah negara bagian dan pusat menolak berkomentar.
Partai Bharatiya Janata (PBJ) mempunyai akar pada filosofi nasionalis Hindu, dan selama pemilihan nasional tahun lalu, para pemimpin partai bersumpah untuk menerapkan jenis pemeriksaan kewarganegaraan yang sama yang digunakan di Negara Bagian Assam ke seluruh India. Modi baru-baru ini menyangkal dia memiliki rencana semacam itu.
Seperti Assam, India mayoritas Hindu, dengan minoritas Muslim yang besar. Pada Desember, pemerintah nasional India mensahkan UU Amendemen Kewarganegaraan (CAB) yang memberikan jalur cepat kewarganegaraan kepada imigran gelap dari negara tetangga selama mereka beragama Hindu atau salah satu dari lima agama lain. Kecuali Islam.
Hal ini menyebabkan semua orang Hindu yang berada dalam daftar terduga bukan warga negara setelah peninjauan luasnya, atau setelah dideklarasikan pengadilan sebagai bukan warga negara, kemungkinan akan ditegaskan sebagai warga negara karena UU Kewarganegaraan tersebut. Sedangkan tidak bagi Muslim.
“Semakin lama, tampaknya umat Islam menjadi sasaran,” kata Binod Khadria, seorang pakar migrasi yang merupakan mantan profesor di Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi. “Itu adalah situasi yang dibebankan.”
Bahkan sebelum peninjauan kewarganegaraan, sebuah gerakan hak-hak kaum pribumi di Assam, di timur laut India yang berbatasan dengan Bangladesh, telah menghasut pemerintah untuk mengusir orang-orang asing.
Polisi – seringkali hanya merespon laporan dari warga negara tertentu – menyebut lebih dari 433.000 penduduk sebagai “diduga orang asing,” menurut dokumen parlemen, dan mengirim mereka ke pengadilan seperti yang dijabat oleh Rajkumari untuk menghasilkan dokumen atau saksi untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar orang India.
Sekarang, peninjauan kewarganegaraan (the citizenship review) telah menghasilkan 1,9 juta “orang asing yang dicurigai.” Jadi Assam menambahkan lebih banyak pengadilan asing untuk mengadili kasus mereka.
Proses keseluruhan pengadilan itu menggugah hati Rajkumari dan beberapa orang lainnya yang telah menjabat sebagai anggota pengadilan, umumnya mendengar secara langsung.
Banyak warga miskin India tidak memiliki dokumen yang diperlukan untuk membuktikan kewarganegaraan (citizenship), seperti catatan pemilu orang tua dan dokumen kepemilikan tanah yang telah disertifikasi oleh pihak berwenang.
Terlebih lagi, pilihan siapa yang dicap sebagai orang asing tampaknya memiliki bias agama, dengan presentase Muslim yang dikirim ke pengadilan lebih tinggi daripada Hindu, menurut Ibu Rajkumari dan anggota pengadilan lain yang diwawancarai. Beberapa dari bekas anggota pengadilan maupun anggota pengadilan yang masih aktif menjabat berbicara dalam kondisi anonim karena mereka takut pembalasan dari pemerintah.
Meskipun pengadilan itu secara teknis bukanlah pengadilan, namun fungsi mereka hampir sama. Jika mereka menemukan bahwa seseorang tidak dapat membuktikan kewarganegaraannya, orang itu akan dikirim ke tahanan, seringkali ke dalam penjara.
Kartik Roy, seorang pengacara, mengatakan “sebagian referensi” yang dibuat petugas polisi yang melakukan penyelidikani orang asing “mengarah kepada Muslim.”
Dia mengatakan tekanannya jelas: “Anda harus mendeklarasikan ‘orang asing’ berarti Anda harus mendeklarasikan Muslim,” katanya. Rajkumari mengiyakan hal tersebut, mengatakan para pejabat “menganggap Muslim adalah orang asing.”
Dua mantan anggota lainnya mengatakan para pejabat di Home and Political Departmen Assam, yang sejak 2016 telah dikendalikan oleh partai politik Modi.
Nama Rajkumari dan Roy muncul di daftar ulasan dengan catatan yang menyebutkan nama mereka mungkin “akan dihentikan.”
Itulah yang kemudian terjadi. Masa jabatan Rajkumari dan Roy tidak lanjutkan pada tahun 2017.
Mereka berdua mengatakan bahwa karena sebagian besar orang di depan pengadilan adalah Muslim, harapannya adalah mereka akan mendeklarasikan Muslim sebagai orang asing, membuka jalan untuk mendeportasi mereka, memenjarakan mereka atau mengambil hak-hak dasar.
Direktur jenderal polisi di Assam dan pejabat negara lainnya menolak berkomentar. Modi dan pejabat tinggi di partainya membantah menargetkan Muslim di pemeriksaan kewarganegaraan Assam, mengatakan itu dimaksudkan semata-mata untuk mengidentifikasi migran ilegal.
Kementerian Dalam Negeri di New Delhi, yang pada akhirnya mengawasi kewarganegaraan dan peraturan kependudukan di India, juga menolak berkomentar, mengutip tuntutan krisis virus corona.
Sebagian besar imigran di Assam berasal dari Bangladesh, pada satu waktu atau yang lain. Banyak yang telah tinggal di Assam selama beberapa generasi, keturunan dari imigran ekonomi dari beberapa dekade lalu. Dan banyak yang buta huruf dan miskin, seringkali tanpa tahu bagaimana membaca surat-surat penting untuk membuktikan klaim kewarganegaraan, dan menjauhkan mereka dari penjara.
Banglades, sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim, dan salah satu negara termiskin dan paling padat penduduknya di dunia, telah menyatakan ke-tidak-antusiasan mereka dalam membawa imigran kembali.
Pengesahan UU Kewarganegaraan nasional memicu protes di Assam dan di seluruh negeri, dan mereka terus menyala sampai Modi memberlakukan lockdown virus corona di India pada akhir Maret.
Lusinan orang di Assam yang kewarganegaraan mereka dipertanyakan telah melakukan tindakan bunuh diri, menurut beberapa laporan media India. Sedangkan yang memiliki ketakutan diusir dari India atau dipenjara tidak terhitung jumlahnya.
Pemerintah Modi tampaknya tidak berencana untuk mendeportasi jutaan orang. Tetapi pemerintah memperluas kapasitasnya untuk memenjarakan orang asing; fasilitas penahanan besar sedang dalam pembangunan di distrik Goalpara di Assam, di mana hingga 3.000 orang kemungkinan akan ditahan.
Kompleks itu, yang akan dibuka dalam beberapa bulan, memiliki tembok tebal dan tinggi, menara pengawas di setiap sudut, bagian terpisah untuk pria dan wanita, dan rumah sakit.
Pada Juli 2017, Rajkumari, Roy dan 12 mantan anggota pengadilan lainnya menuntut pemerintah atas pemecatan yang salah. Ia membantah penilaian kinerja pemerintah terhadap pekerjaan mereka. Namun mereka kalah dalam kasus itu.
Rajkumari, yang terus bekerja di bidang hukum, mengatakan bahwa apa dilakukan pemerintah adalah tindakan salah. Beberapa minggu sebelum dia dipecat, dia ingat, dia mengunjungi ibunya.
“Ma, bagaimana aku bisa menyelesaikan tugas ini?” kenang Rajkumari bertanya pada ibunya, air mata mengalir di wajahnya. “Karena itu sangat ilegal.”*
Artikel dimuat di laman The New York Times