Intelligence tapi tak pintar
Intelijen adalah ilmu penting yang dibutuhkan masyarakat semenjak dahulu. Sebagai kebutuhan masyarakat atau atas nama negara, pelaku intelijen tak hanya diharapkan mampu berbahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Tagalog, Thai, dan Vietnam sebagai layaknya materi wajib yang diajarkan di Institut Intelijen Negara. Atau sekedar teknik-teknik pengintaian, fotografi rahasia, keamanan teknologi informatika, penggunaan senjata-senjata kecil dalam ‘Sarana Latihan Khusus’ seperti yang dikelola BIN, yang ada di Pejaten dan Cipayung Jakarta atau International School of Intelligence yang ada di Batam. Intelijen yang sejati –tak sekedar teknik-teknik dan berbagai keahlian—tetapi berangkat dari akhlaq yang baik.
Intelijen sebenarnya diambil dari kata intelligence yang berarti kecerdasan. Tapi dalam prakteknya mereka benar-benar tak mencerminkan pengertian itu. Intelijen mengalami cidera dan stigma yang benar-benar negatif karena fungsinya tidak benar-benar diterapkan sesuai namanya.
Sudah lazim, jika dalam perkembangannya, intelijen diterapkan dan dikembangkan melalui tipu muslihat dan strategi politik. Cara-cara seperti; penggalangan, rekrutmen, pembinaan, penugasan dan pembinasaan terus diterapkan layaknya sebuah mesin kekejaman para penguasa. Cara-cara seperti itu pernah dipakai BAKIN untuk merekayasa terhadap kader-kader Masyumi dengan merekayasa adanya kebangkitan “Neo NII”.
Dengan kebijakan politik kooptasi, konspirasi dan kolaborasi rekayasa intelejen –galang, rekrut, bina, tugaskan dan binasakan—diterapkan pada gerakan NII sejak tahun 70-an bahkan berlanjut hingga kini.
Melalui cara kooptasi, Ali Murtopo kemudian merekrut Danu Moh. Hasan (mantan panglima divisi gerakan DI-TII). Danu kemudian dikaryakan di lembaga formal Bakin di Jalan Raden Saleh 24 Jakarta Pusat.
Para infiltran dan kader intelejen militer juga menyusup ke dalam gerakan ummat Islam Indonesia yang berlangsung sejak Orde Baru di bawah Soeharto. Melalui Ali Moertopo, intelijen melakukan gerakan pembusukan dalam tubuh gerakan-gerakan Islam. Maka muncullah kasus “Komando Jihad” (Komji) di Jawa Timur pada tahun 1977. Tahun 1981 BAKIN juga sukses menyusupkan salah satu anggota kehormatan intelnya (berbasis Yon Armed) bernama Najamuddin, ke dalam gerakan Jama’ah Imran yang kemudian lahir kasus “Imran”. Juga kasus-kasus rekayasa kejam intel seperti kasus “Woyla”.
Dalam konsep pertahanan keamanan (nasional maupun internasional), tugas badan intelijen secara umum adalah memberikan dukungan penuh kepada negara atau pemerintah untuk mengumpulkan informasi mengenai strategi musuh. Lembaga ini kemudian bertugas memberikan laporan mengenai keamanan nasional dan internasional, masalah sosial, politik, ekonomi, dan militer domestik maupun pihak asing. Baik dengan menggunakan berbagai teknik atau strategi informasi yang canggih dan kreatif.
Namun sayangnya, pekerjaan-pekerjaan intelijen sering paralel dengan nafsu penguasa hanya sekedar mempertahankan kekuasaannya. Karenanya, yang berkembang kemudian justru para petugas intelijen sibuk mengawasi musuh politik penguasa bahkan sibuk memata-matai rakyatnya sendiri. Meski mereka dibayar negara dari hasil pajak yang dikumpulkan dari rakyat. Untuk kekuasaan dan politik, mereka bisa menciduk, bahkan harus rela mengilangkan nyawa orang.
Di zaman Nazi Jerman, pencidukan dilakukan oleh Gestapo tidak tedeng aling-aling. Pintu digedor, manusianya diangkut ke tempat tahanan diinterograsi, digebuk, disetrom dan dipaksa mengaku meski tidak pernah melakukan. Di zaman Stalin, NKVD/KGB melakukan teror pada malam hari. Jika malam hari pintu rumah diketok orang, dan jika sang tamu sudah memperlihatkan kartu merah (tanda pengenal KBG) tanpa debat, orang tersebut diapit aparat menuju mobil hitam dan membawanya ke tempat tahanan. Biasanya, mereka yang dibawa KGB dan tidak akan pernah pulang kembali. Di Chili, perempuan yang diciduk tidak hanya disiksa tapi malah dalam keadaan tangan-tangan dan kaki-kaki diikat dibiarkan disetubuhi oleh anjing herder yang khusus terlatih.
Di kamp eksukusi Siberia, agen intelijen bisa menjadikan orang dan tahanan didomisilikan di rumah sakit gila, untuk dijadikan orang gila.
Kasus “Jama’ah Islamiyah” (JI) yang mampu menyeret nama Ustad Abubakar Ba’asyir menggoreskan nama penting anggota BAKIN, Abdul Haris, Lc, yang menyusup ke dalam anggota Mejelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Meski belum jelas bersalah apa tidak, cara kerja intelijen telah menyudutkan dan merugikan banyak kelompok orang dan berbagai organisasi. Cara-cara memperlakukan ‘tersangka’ tak pernah dipikirkan akibatnya. Apakah kelak nasib anak dan keluarganya atau sahabat-sahabatnya. Bahkan terkadang, hanya karena kenal dekat, orang bisa diciduk, dipenjarakan beberapa minggu, kalau perlu digebuki. Jika kemudian tak terbukti, terangksa dikembalikan dengan alasan, “tersangka hanya dikenakan beberapa pertanyaan”. Polisi tak pernah menjelaskan pada pers mereka tak bersalah. Sedangkan, anak dan keluarganya di rumah telah ‘dihukum’ masyarakat dengan cap buruk ‘teroris’ sepanjang hidupnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Intel-intel masa kini, tak pernah banyak mengerti agama. Memburu orang-orang yang dianggap merugikan banyak orang akibat tindakan ‘terorisme’ adalah perbuatan baik. Tetapi melukai perasaan orang dan keluarganya karena salah sasaran ‘terorisme’ justru dosa besar.
Rekayasa, adu domba, dan pembusukan, adalah kenangan buruk –khususnya terhadap umat Islam– terhadap cara kerja intelijen masa kini. Bahkan umumnya, dunia intelejen di zaman modern, dianggap sangat kejam, sadis, dan tak bermoral. Lebih kejam dari pelaku teror itu sendiri.
Ingat kasus Abu Jihad, seseorang yang telah mengabdikan diri kepada kepentingan intelejen Indonesia (BIN dan BAIS) justru bernasib tragis. Ia dieliminasi akhir Februari tahun 2003 di Ambon melalui sebuah eksekusi –yang kabarnya– oleh sebuah operasi intelejen, oleh lembaga yang telah merekrutnya. Kejam bukan?.*/bersambung “Intelijen tapi yang Berakhlaq..