Hidayatullah.com-Mayor Jenderal Qassem Soleimani, Kepala Pasukan Quds dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran tewas terbunuh pada awal Jumat bersama enam lainnya setelah serangan udara AS di Bandara Internasional Baghdad seperti yang dilaporkan Al Jazeera pada Jumat 3 Desember 2019.
Gedung Putih dan Pentagon mengkonfirmasi pembunuhan Soleimani dengan mengatakan serangan itu dilakukan atas arahan Presiden AS Donald Trump.
Tujuan penyerangan itu untuk mencegah serangan di masa depan yang diduga sedang direncanakan oleh Iran.
Dia berperan penting dalam menyebarkan pengaruh Iran di Timur Tengah.
Pasukan Quds yang dipimpinnya, ditugaskan melakukan operasi di luar perbatasan Iran, menyediakan dukungan untuk rezim Presiden Bashar al-Assad ketika dia diambang kekalahan dalam perang sipil yang berkecamuk sejak 2011, dan juga membantu kelompok bersenjata mengalahkan ISIS.
Soleimani menjadi kepala IRGC pada tahun 1998 dan memperkuat hubungan Iran dengan milisi Syiah Hizbullah di Libanon, rezim keji Bashar al Assad di Suriah dan kelompok-kelompok milisi Syiah di Iraq.
Tangan-tangan Kekerasan di Iraq dan Suriah
Menyusul pembentukan kembali pemerintahan di Iraq pada tahun 2005, pengaruh Soleimani meluas ke dalam politik Iraq di bawah kepemimpinan mantan Perdana Menteri Ibrahim al-Jaafari dan Nouri al-Maliki.
Selama masa itu, Organisasi Badr, partai politik Syiah yang juga pasukan paramiliter telah digambarkan sebagai “proksi tertua Iran di Iraq”, menjadi perpanjangan tangan negara setelah kementrian transportasi dan dalam negeri di bawah kendali sayap politik kelompok bersenjata tersebut.
Menyusul pecahnya perang sipil di Suriah pada tahun 2011, Soleimani diketahui merupakan arsitek kekerasan di Suriah -yang telah membantai warga sipil dan mujahidin, mengerahkan ribuan milisi Syiah bersenjata dan penasihat militernya masuk ke dalam Suriah—guna melindungi pemerintah Bashar al Assad.

Selama perang melawan ISIS, Hashd al-Shaabi (Pasukan Mobilisasi Populer), sebuah organisasi payung paramiliter Syiah dukungan Iran, beberapa diantaranya berada di bawah kendali Soleimani ikut berperang bersama militer Iraq, yang diduga terlibat pembunuhan lebih dari 319 demonstrans anti-pemerintah Iraq.
Setelah AS menginvasi Irak pada tahun 2003 ia mulai mengarahkan kelompok-kelompok militan Syiah untuk melakukan serangan terhadap pasukan dan pangkalan AS, menewaskan ratusan.
Soleimani pernah dikabarkan tewas di beberapa kesempatan, temasuk dalam kecelakaan pesawat tahun 2006 yang menewaskan beberapa pejabat militer di barat laut Iran dan setelah pemboman 2012 di Damaskus yang menewaskan ajudan-ajudan top Presiden Bashar al-Assad.
Pada November 2015, beredar rumor bahwa Soleimani terbunuh atau terluka parah ketika memimpin pasukan yang setia kepada Assad dalam pertempuran di Aleppo, Suriah.
Selain itu berulangkali serangan udara terhadap markas-markas IRGC di Suriah dan pada Agustus Israel menuduh pasukannya merencanakan “serangan drone pembunuh” dan mengatakan serangan udaranya menunjukkan Teheran bahwa pasukannya rentan di manapun.
Osama Bin Javaid dari Al Jazeera, yang melaporkan dari Baghdad, mengatakan kematian tersebut adalah titik balik yang signifikan di Irak dan seluruh Timur Tengah.
Dia mengatakan wilayah itu sudah “bergolak” sejak serangan AS terhadap pasukan PMF di dekat perbatasan Irak dengan Suriah, dan protes di Kedutaan Besar AS di Baghdad pada Selasa (31/12/2019).
“Ini merupakan tamparan besar pada hubungan antara Amerika Serikat dan pemerintah Irak. Ini adalah situasi yang sangat berbahaya,” kata bin Javaid.
Di Teheran, kematian Soleimani menimbulkan gelombang keguncangan di antara penduduk, yang baru saja terjaga dari tidurnya ketika berita itu diumumkan, menurut Dorsa Jabbari dari Al Jazeera, yang melaporkan dari ibukota Iran.
“Dengan berita pembunuhannya, ada sejumlah guncangan dan kemarahan luar biasa yang dapat terjadi, tidak hanya di Iran tetapi juga di wilayah Timur Tengah,” katanya.
“Namanya identik dengan kebanggaan nasional Iran, tidak peduli bagaimana dia dilabeli di luar negeri,” kata Jabbari, seraya menambahkan bahwa nyanyian dukacita sedang diputar di radio Iran untuk mengenang Soleimani.
Mantan perwira CIA John Maguire mengatakan kepada The New Yorker bahwa kematian Soleimani pada 3 Januari mengumumkan bahwa mereka telah melakukan operasi yang sukses untuk membunuhnya, atas arahan Presiden AS Donald Trump.
Menurut Trump, pembunuhan Soleimani untuk “menghentikan perang,” katanya hari Jumat.
Trump menuduh Qassem Soleimani merencanakan “serangan kejam terhadap diplomat Amerika dan personil militer,” tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut tentang tuduhan itu, mengatakan komandan itu “terjebak dalam tindakan itu,” kata kantor berita Turki Anadolu Agency mengutip Trump.
“Apa yang dilakukan Amerika Serikat kemarin (Jumat) seharusnya sudah lama dilakukan,” kata Trump di kediamannya di sebuah resor Florida, merujuk pada pembunuhan Soleimani. “Banyak nyawa yang harus diselamatkan.”
Berbicara pada konferensi pers di resor Mar-a-Lago di Florida, Trump mengatakan tentang serangan hari Jumat: “Militer Amerika Serikat melakukan serangan presisi tanpa cela yang menewaskan teroris nomor satu di mana saja di dunia, Qassem Soleimani.”
Locals in Ahvaz, SW #Iran dancing and celebrating the death of IRGC commander Soleimani. It's worth noting that the IRGC slaughtered 40-100 Arab-Iranian civilians in Mahshahr during Nov. 2019 #IranProtests. Many of them have yet to be identified. pic.twitter.com/DmDqFSu82T
— Iran News Wire (@IranNW) January 4, 2020
Disambut Gembira
Kematian Soleimani disambut gembira di beberapa tempat. Di wilayah yang kuasai oposisi Suriah dan di Jalur Gaza, masyarakat merayakan kematian Qassem Soleimani dengan berbai kue dan manisan.
Sementara di jalanan Iraq dan Tahrir Square, masyarakat berjoget dan bernyanyi sambil mengibarkan bendera kebangsaan Iraq.
“Warga Iraq di Basra sedang merayakan kematian Qassim Sulaimani #Iraq #Basra, Sulaimani dituduh memerintahkan penumpasan pengunjuk rasa (mengakibatkan 500+ kematian dan 20.000 pengunjuk rasa yang terluka selama 90 hari) #Baghdad #BaghdadAirport #QudsForce #Suleimani pic.twitter .com / gbK82SW567, kutip Steven nabil (@thestevennabil) dengan menyertakan sebuah video.
Soleimani dan Abu Mahdi al-Muhandis dianggap arsitek kekerasan yang menewaskan ratusan pengunjuk rasa Iraq dan ikut “mencengkram” kekuatan politik Iraq yang berujung gejolak. (CK)