Hukum duduk di masjid bagi yang berhadast kecil masih diperselisihkan, namun bagi yang junub mayoritas ulama melarang berdiam kecuali hanya lewat hingga mandi
Hidayatullah.com | MASJID adalah tempat yang mulia dalam Islam. Karenanya, para ulama memberikan perhatian besar terhadap siapa saja yang boleh dan tidak boleh berada di dalamnya.
Salah satu pembahasan penting adalah hukum duduk di masjid bagi orang yang sedang berhadast kecil maupun besar (junub). Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Berikut penjelasan lengkapnya.
Pendapat pertama: Diperbolehkan. Sebagian besar ulama membolehkan orang yang berhadast kecil duduk di masjid. Sebagian menyebutkan bahwa hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan ulama).
Dalil yang digunakan adalah kondisi Ahlush Shuffah, yakni para sahabat miskin dari kalangan muhajirin yang tidak memiliki tempat tinggal. Mereka tinggal dan tidur di masjid Nabawi semasa Rasulullah ﷺ masih hidup.
Ini menunjukkan bahwa keberadaan orang yang tidak dalam kondisi suci dari hadas kecil di masjid dibolehkan selama tidak mengotori atau merusak kesucian masjid.
Pendapat Kedua: Dimakruhkan
Sebagian ulama lainnya memakruhkan duduk di masjid bagi yang berhadast kecil tanpa wudhu. Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah disebutkan bahwa Abu Sawwar tidak menyukai seseorang duduk-duduk di masjid jika belum berwudhu. Sa’id bin Al-Musayyib dan Al-Hasan Al-Bashri ketika ditanya tentang hal ini mengatakan, “Sebaiknya ia hanya lewat saja dan tidak duduk di dalamnya.”
Perlu dibedakan dengan kondisi orang mabuk. Al-Qur’an dengan tegas melarang orang mabuk mendekati shalat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisā’: 43)
Hukum Orang Junub Berdiam di Masjid
Masalah orang junub yang berdiam di masjid menjadi perdebatan klasik di antara para ulama. Berikut rincian dari berbagai pendapat.
Pendapat Pertama: Tidak Boleh Berdiam
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang junub tidak boleh berdiam di dalam masjid. Ini adalah pendapat dari kalangan madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan sebagian besar Hanbali.
Dalil utamanya adalah firman Allah:
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا
“Dan janganlah kamu (mendekati masjid) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisā’: 43)
Imam Asy-Syafi’i menafsirkan ayat ini sebagai larangan bagi orang junub mendekati tempat shalat (yaitu masjid), kecuali hanya sekadar melewatinya. Ini menunjukkan adanya pembatasan yang jelas.
Mayoritas ulama juga sepakat bahwa melewati masjid tanpa duduk atau berdiam masih diperbolehkan, berdasarkan bagian ayat “إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ”. Namun, Abu Hanifah berpendapat lebih ketat dan tidak membolehkan lewat sekalipun.
Pendapat Kedua: Boleh Jika Sudah Berwudhu
Madzhab Hanbali memberi keringanan. Menurut mereka, orang junub boleh berdiam di masjid selama ia telah berwudhu.
Dalilnya adalah riwayat dari ‘Aṭā’ bin Yasār yang berkata:
رَأَيْتُ أَقْوَامًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، يَجْلِسُونَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمْ جُنُبٌ، إِذَا تَوَضَّؤُوا كَوُضُوْءِ الصَّلَاةِ
“Aku melihat beberapa sahabat Rasulullah ﷺ duduk di masjid dalam keadaan junub, asalkan mereka telah berwudhu seperti wudhu untuk shalat.”
Perkataan yang sama juga diriwayatkan dari Zaid bin Aslam.
Pendapat Ketiga: Diperbolehkan Secara Mutlak
Madzhab Adz-Dhahiri memberikan pendapat yang paling longgar: boleh berdiam di masjid meskipun masih junub, tanpa syarat apa pun.
Mereka berdalil dengan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَقِيَهُ فِي بَعْضِ طُرُقِ الْمَدِينَةِ وَهُوَ جُنُبٌ، فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ، فَذَهَبْتُ فَاغْتَسَلْتُ، ثُمَّ جِئْتُ، فَقَالَ: أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: كُنْتُ جُنُبًا فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ، فَقَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ! إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ
“Nabi ﷺ bertemu denganku di salah satu jalan Madinah, sementara aku dalam keadaan junub. Aku pun menghindar, lalu mandi. Setelah itu aku kembali. Beliau bertanya: ‘Ke mana kamu tadi wahai Abu Hurairah?’ Aku menjawab: ‘Aku junub dan tidak ingin duduk bersamamu dalam keadaan tidak suci.’ Maka beliau bersabda: ‘Subhanallah! Sesungguhnya seorang Muslim itu tidak najis.'”(HR. Al-Bukhārī no. 274).
Mereka juga menambahkan bahwa seorang musyrik pun pernah tinggal di masjid, sebagaimana dalam kisah Tsumāmah bin Utsāl, yang diikat oleh Rasulullah ﷺ di tiang masjid selama beberapa hari.
Maka, menurut mereka, seorang Muslim yang junub tentu lebih layak untuk dibolehkan.
Tanggapan dan Koreksi Pendapat Ketiga
Pendapat ketiga ini ditolak oleh mayoritas ulama karena dua alasan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmū’ (2/160):
Syariat membedakan antara orang musyrik dan muslim yang junub. Tidak bisa disamakan, karena musyrik tidak memiliki kewajiban menjaga kehormatan masjid.
Orang musyrik tidak meyakini kehormatan masjid, maka syariat tidak membebaninya untuk menghormatinya. Berbeda dengan Muslim yang harus menjaga kehormatan masjid.
Sebagaimana contoh lainnya: jika seorang kafir merusak barang milik Muslim, ia tidak wajib mengganti. Tetapi jika seorang Muslim merusak barang saudaranya, ia wajib menggantinya. Ini menunjukkan adanya perbedaan tanggung jawab moral dan hukum.
Kesimpulan
Untuk orang yang berhadast kecil, duduk di masjid boleh, meskipun sebagian ulama memakruhkannya jika tanpa wudhu.
Untuk orang yang junub, tidak boleh berdiam di masjid, kecuali sekadar lewat. Pendapat yang membolehkan tetap ada, tapi tidak sekuat pendapat mayoritas ulama yang berdasar pada ayat Al-Qur’an dan penafsiran para sahabat.
Menjaga kesucian dan kehormatan masjid adalah bagian dari adab dan keimanan seorang Muslim. Maka, sebaiknya berusaha selalu dalam keadaan suci saat berada di rumah Allah.*/Dr Ahmad Zain an-Najah, Pusat Kajian Fikih (PUSKAFI)