Hidayatullah.com–Dalam khazanah peradaban Islam, dikenal istilah mufti. Yakni ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat.
Salah satu mufti yang dikenal adalah Imam asy-Syafi’i. Karena interpretasi dan fatwanya, lahirlah Mazhab Syafi’i.
Mazhab Syafi’i adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam asy-Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah. Hal ini dijelaskan oleh Imam al-Mahalli dalam syarh beliau terhadap al-Minhaj ath-Thalibin. (Kanz ar-Raghibin serta Hasyiyata Qalyubi wa Umairah, 1/7).
Dengan definisi di atas, otomatis Mazhab Syafi’i –juga mazhab lainnya– tidak hanya mencakupi pendapat imam saja, namun juga pendapat para pengikutnya.
Nah, siapa saja pendapat yang diperhitungkan dalam mazhab-mazhab fiqih Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah? Hal ini terjawab dengan pemaparan tingkatan para mufti yang dianggap mu’tabar (terpercaya).
Para ulama membagi mufti menjadi beberapa tingkatan, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu:
- Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil (independen) adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam mazhab. Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid muthlaq. Artinya, tidak terikat dengan mazhab. Bahkan mujtahid inilah perintis mazhab. Dalam Mazhab Syafi’i, mufti mustaqil-nya adalah Imam asy-Syafi’i sendiri. (al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzdzab, 1/72).
Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuannya melahirkan metode yang dianut mazhabnya. Hal ini juga yang dimiliki para imam mazhab lainnya seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
2. Mujtahid Mazhab
Yakni mufti yang tidak taqlid kepada imamnya, baik dalam mazhab (pendapat) atau dalilnya, namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. (al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzdzab, 1/72).
Ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini antara lain Imam al-Muzani dan Imam al-Buwaithi, sebagaimana disebutkan oleh Nawawi al-Bantani. (Nihayah az-Zain, hal 7).
Mufti golongan ini relevan dengan perkataan Imam asy-Syafi’i yang melarang taqlid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya. Demikian penjelasan Imam an-Nawawi. (al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzdzab, 1/73).
Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam an-Nawawi yang berhak mengoreksi pendapat imam.. Misalnya ketika mereka mengetahui ada Hadits shahih yang bertentangan dengan pendapat imam.
Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan Hadits walaupun shahih dikarenakan telah manshukh (dihapus) atau di-takhsis (dikhususkan). Hal ini tidak akan diketahui kecuali oleh orang yang telah menelaah semua karya asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam an-Nawawi sekalipun. (al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzdzab, 1/99).
Dalam Mazhab Hanafi, ulama yang sampai pada tingkatan ini adalah Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Demikian dikatakan oleh al-Laknawi. (Syarh al-Jami’ ash-Shaghir, 1/7).
Sedangkan dalam Mazhab Maliki, ulama yang sampai pada derajat ini adalah Ibnu Qasim dan Asyhab. (Nailul-Ibtihaj, hal 441).
3. Ashab al-Wujuh
Yakni mereka yang taqlid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul, namun masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam. Misalnya dengan menyimpulkan dan meng-qiyas-kan (takhrij) dari pendapat imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzdzab, 1/73).
Dalam Mazhab Syafi’i, ulama yang mencapai derajat ini adalah al-Qaffal dan Abu Hamid. (Mukhtashar al-Fawaid al-Makkiyah, hal 53).
Sedangkan untuk Mazhab Hanafi, ulama yang sampai pada tingkatan ini antara lain Abu Bakr al-Jashshash. (Syarh al-Jami’ ash-Shaghir, 1/7).
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al-wujuh, namun menguasai mazhab imam dan dalilnya. Juga mampu melakukan tarjih (memilih dalil yang kuat) terhadap pendapat-pendapat dalam mazhab. (al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzdzab, 1/73).
Dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam mazhab sudah banyak terjadi ikhtilaf. Misalnya antara imam dengan mujtahid mazhab, juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al-wujuh terhadap pendapat imam. Di sinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk men-tarjih.
Dalam Mazhab Syafi’I, ulama yang berada dalam tingkatan ini adalah Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi. (al-Bughyah, hal 7).
Sedangkan dalam Mazhab Hanafi, ulama yang berada dalam derajat ini seperti Abu al-Hasan al-Quduri. (Syarh al-Jami’ ash-Shaghir, 1/8).
5. Mufti Muqallid
Mereka menguasai mazhab, baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit, namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Fatwa mufti pada tingkatan ini bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang mazhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid mazhab. (al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzdzab, 1/74).
Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam ar-Ramli termasuk kelompok ini, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (Bughyah al-Mustarsyidin, hal 7).
Jika tidak menemukan nukilan dalam mazhab, maka mufti muqallid tidak boleh mengeluarkan fatwa. Kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang ada pada nash mazhab, maka ia boleh meng-qiyas-kannya. Namun, menurut Imam al-Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzdzab, 1/73).
Mufti muqallid adalah tingkatan paling akhir dalam rujukan pendapat menurut suatu mazhab. Adapun mereka yang berada di bawah derajat itu, maka pendapatnya tidak diperhitungkan. Wallahu’alam
Tonton video 3 Pembenci Islam ini Akhirnya Masuk Islam klik di sini